DKPP: Penegak Marwah Penyelenggara Pemilu

oleh -
Pemilihan Umum

Jakarta – Analis Hukum Tata Negara Benny Sabdo memberikan apresiasi kapada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang telah berkiprah selama enam tahun dalam menegakkan kode etik bagi penyelenggara pemilu (12 Juni 2012-12 Juni 2018). Ia berharap DKPP terus konsisten menegakkan kode etik bagi penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu).

“Saya juga mendorong masyarakat untuk melaporkan pelanggaran etika penyelenggara pemilu kepada DKPP supaya terwujud pemilu yang berintegritas dan bermartabat,” tegasnya kepada wartawan di Jakarta.

Benny menjelaskan DKPP sejak 2012 telah memproses 1.047 perkara. Sebanyak 3.982 orang teradu yang diputus. Ada 2.145 orang penyelenggara pemilu tidak terbukti bersalah, sedangkan 1.650 orang penyelenggara pemilu terbukti bersalah. Dalam kiprahnya DKPP menjadi institusi penegak kode etik yang efektif dan efisien.

“Selama dua periode ketua DKPP dijabat oleh mantan hakim Mahkamah Konstitusi, periode pertama dipimpin Prof Jimly Asshiddiqie (Ketua MK) dan periode kedua dipimpin Dr Harjono (Wakil Ketua MK). Hal ini memberikan warna terhadap putusan-putusan DKPP yang lebih berkeadilan dan progresif,” ungkap Pengajar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta itu.

Benny menegaskan DKPP memiliki peran yang penting dan strategis dalam mewujudkan penyelenggara pemilu yang mandiri, berintegritas dan bermartabat. Ia menyoroti kasus suap ketua Panwas Kabupaten Garut, Jawa Barat Hasan Basri dan komisioner KPU Garut Ade Sudrajat yang dicokok oleh Tim Satgas Anti Money Politic Bareskrim Mabes Polri bersama Satgasda Polda Jawa Barat pada 24 Maret 2018.

Selanjutnya, pada 13 Juni 2018 terjadi bentrokan hingga menelan korban jiwa antar pendukung paslon pilkada di Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan (Sumsel) diduga karena ketidaknetralan KPU dan Panwas. Bahkan, Kapolda Sumsel Irjen Pol Zulkarnain Adinegara meminta KPU dan Bawaslu Sumsel agar mengambilalih penyelenggaraan pilkada di Empat Lawang.

“Kemudian, belum lagi dalam beberapa kasus proses rekrutmen penyelengara pemilu baik KPU maupun Bawaslu diduga terdapat kolusi, nepotisme dan transaksional jual beli jabatan,” kritiknya.

Ia berharap DKPP ke depan harus lebih progresif dan kreatif dalam menegakkan marwah penyelenggara pemilu. DKPP sudah harus memanfaatkan kecanggihan teknologi komunikasi.

Misalnya, pengaduan dapat dilakukan secara online dan offline. Semua netizen juga dapat mengakses proses persidangan dengan melalui teknologi media sosial.

“Selanjutnya, dengan adanya UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur sekretariat DKPP terpisah dari Bawaslu. Karena itu, perlu ada struktur sistem kerja yang baru untuk merevitalisasi tugas, fungsi dan wewenang seluruh stakeholders DKPP, termasuk tim pemeriksa daerah,” pungkas alumni Program Pascasarjana Fakultas Hukum UI itu.