Pernyataan Akhir Tahun DPD ISKA Sulsel

oleh -

MAKASSAR-Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Sarjana Katolik Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan (DPD ISKA Sulsel) berusaha mengamati dan memahami berbagai masalah bangsa sebagai tantangan yang seharusnya direspon bersama, antara lain:

Pertama. Berbagai perbedaan, seperti perbedaan peta geografis kepulauan nusantara, perbedaan etnis, perbedaan agama atau penghayatan kepercayaan, dan perbedaan budaya, tak jarang hakikat maknanya dieksplotasi menjadi makna yang sama dengan pertentangan yang merenggangkan hubungan harmonis dan akrab di antara sesama warga sebangsa dan setanah air.

Kedua. Semakin terasa merebaknya suasana saling curiga, saling berburuk sangka, saling hujat, dan bahkan saling fitnah yang disertai penyebaran hoaks yang merusak saling percaya di antara sesama kelompok yang berbeda-beda;

Ketiga. Daya tarik kepentingan politik oleh pilkada-pilkada 2018 dan Pemilu yang mencakup Pileg dan Pilres 2019 menimbulkan polarisasi berbagai kekuatan sosial dan politik dari masyarakat menjadi kelompok-kelompok yang saling berhadapan sebagai lawan yang dicurigai atau sebagai lawan tanding.

Keempat. Percaturan politik untuk merebut porsi kekuasaan oleh para elite bangsa cenderung mengutamakan kepentingan dirinya atau pihak pedukungnya sehingga memperlebar jurang pemisah persatuan sosial dan nasional.

Kelima. Gaya hidup masyarakat, terutama masyarakat the haves yang materialistis, berdampak lanjut pada gaya hidup masyarakat luas yang konsumtivistis dan hedonistis, meski gaya dukung ekonominya lemah, yang menyeret sebagian warga untuk melakukan kejahatan korupsi dan narkoba untuk memenuhi hasrat kehidupan yang penuh rangsangan yang buas dan liar.

Keenam. Peran agama belum dijalankan secara maksimal dan optimal untuk memuliakan manusia, tapi masih sebatas formalisme yang memperindah kulit luar moralitas dan kesalehan manusia, dan bukan inner-beauty-nya.

Menghadapi sejumlah tantangan di atas, maka DPD ISKA Sulsel menyampaikan kepada pemerintah, kekuatan-kekuatan politik, dan masyarakat luas untuk menemukan ikhtiar dan jalan yang benar, adil, dan terarah untuk menjawab tantangan-tantangan di atas:

Pertama. Berbagai perbedaan seperti perbedaan peta geografis, etnis, agama, dan budaya serta kepercayaan sebagai agama budaya suku ditanah air haruslah diterima sebagai kekuatan bangsa yang harus dilindungi, dirawat dan diberdayakan untuk kemajuan dan kemuliaan serta kejayaan bangsa. Bukan me-agamakan Indonesia, bukan me-sukukan Indonesia, bukan mengkelompokkan Indonesia, tetapi Mengindonesiakan Indonesia.

Kedua. Kesuburan, kemakmuan, dan kesejahteraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang sudah diraih, seharusnya disterilkan dari peracunan dan penggerogotan oleh hujatan, hoaks, dan sihir kebencian, yang memecah belah dan mengurangi kekuatan bersama yang bertumpu di atas saling percaya dan setia dalam saling menaruh harapan. Persaudaraan tidak harus bersaudara kandung. Bersatu tidak harus berkumpul.

Ketiga. Pilkada dan pemilu harus diyakini benar-benar sebagai stepping-stone bangsa ini untuk meloncat jauh ke masa depan secara teratur dan terarah dengan memilih para pemimpin yang jujur dan berintegritas karena cinta bangsanya yang majemuk (multikultural), cinta NKRI, dan cinta tanah air Indonesia, berdasarkan Pancasila sebagai sebagai fondasi ideal dan moral, serta UUD 1945 sebagai sumber dan dasar hukum bagi bangsa ini. Tidak terlalu penting kampanye kandidat, namun realitas masa lalu calon itu lebih penting, bagaimana dia sebelumnya?

Keempat. Para pemimpin bangsa saat ini atau para pemimpin yang akan hadir dari hasil pilkada dan pemilu mendatang supaya menghadirkan diri sebagai tokoh ideal paripurna dalam tindak tanduk kepemimpinannya, meski terbatas, agar bisa dipercaya, diharap, dan dicinta sehingga didukung oleh rakyat.

Kelima. Gaya hidup materialistis harus dijawab dengan cara menjalani hidup yang lebih bersahaja, manusiawi, mampu merasakan penderitaan sesama dan menolong sesama, akseptan atau toleran dengan menerima setiap orang sebagai sesamanya, dan bukan sebagai orang lain, apa lagi sebagai musuh.

Keenam. Agama sepatutnya dan sepantasnya dijadikan kekuatan pemecah masalah bangsa, dan bukan menjadi bagian dari masalah yang menjadi beban berat bagi bangsa. Keberdayaan agama dapat ditunjang atau didukung oleh pemberdayaan budaya-budaya luhur nusantara.