Dampak Pandemi COVID-19 dan Agenda Pemulihan Ekonomi ke Depan

oleh -
Webinar yang diselenggarakan Paramadina Public Policy Institute (PPPI) bertajuk “Dampak Pandemi COVID-19 terhadap Fondasi Ekonomi & Agenda Pembangunan di Indonesia” yang dipandu oleh dosen Universitas Paramadina, Ika Karlina Idris, Ph.D., Jumat (13/8/2021). (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Pandemi Covid-19 menimbulkan berbagai masalah baik yang menimpa sektor pendidikan, sosial budaya maupun ekonomi.

Rektor Universitas Paramadina Prof. Dr. Didik J. Rachbini mengatakan setidaknya ada lima masalah yang menimpa sektor ekonomi di negara kita sebagai dampak pandemi.

Pertama yaitu masalah fiskal yang rapuh dan utang besar. Bahkan sebelum krisis, pemerintah Indonesia cenderung menggenjot utang untuk membangun.

“Setelah covid, pemerintah memutuskan utang setiap tahun sangat tinggi, sekitar 1225 trilyun rupiah tahun lalu dan lebih tinggi lagi tahun ini. Ini akan menjadi warisan dan jebakan berbahaya bagi presiden berikutnya,” kata Didik dalam webinar yang diselenggarakan Paramadina Public Policy Institute (PPPI) bertajuk “Dampak Pandemi COVID-19 terhadap Fondasi Ekonomi & Agenda Pembangunan di Indonesia” yang dipandu oleh dosen Universitas Paramadina, Ika Karlina Idris, Ph.D., Jumat (13/8/2021).

Masalah kedua, katanya, adalah kepemimpinan dan kebijakan yang tidak memadai dalam mengatasi Covid-19. “Kepemimpinan diuji saat krisis. Dengan hasil seperti ini kepemimpinan dalam penanganan covid jauh dari memadai,” katanya.

Masalah ketiga, Indonesia jatuh menjadi negara menengah bawah karena pertumbuhan rendah.  “Jika ekonomi terus tumbuh rendah saat ini dan masa mendatang, maka Indonesia potensial masuk ke dalam jebakan kelas menengah (middle  income trap,” ujarnya.

Keempat, ketergantungan ekonomi dan politik terhadap Cina sangat tinggi. “Indonesia mengalami defisit sangat besar dalam neraca perdagangan dengan Cina. Defisit turun sedikit karena Covid dan tidak bisa impor maksimal tetapi defisit ini bersifat laten dan akan melemahkan sektor ekonomi luar negeri Indonesia. Nilai tukar rupiah akan selamanya lemah, apalagi dirundung defisit jasa, yang juga laten,” ungkapnya.

Kelima, Indonesia sekarang secara politik kehilangan prinsip bebas aktif. Politik luar negerinya sangat lemah, jauh dibandingkan di masa lalu.  “Saya melihat bahwa kepemimpinan Indonesia di dalam masyarakat internasional terutama ASEAN saja itu jauh sekali dibandingkan dengan masa-masa Ali Alatas walaupun income waktu itu sangat rendah, belum terlalu tinggi,” ucap Didik.

Managing Director PPPI, A. Khoirul Umam mengungkapkan bahwa isu ekonomi ini menjadi hal yang cukup krusial dalam konteks penataan pasca pandemi. “Beberapa aspek menjadi sensitif. Pemerintah meng-highlight dan di blow-up secara serius lompatan angka 7,07% sementara ekonomi rumah tangga tidak menggembirakan,” ujarnya.

Ia juga menyinggung skema strategi pembangunan di Indonesia dari basis optimisme. “Dulu pemerintahan Jokowi mencoba menggenjot aspek infratruktur. Investasi infrastruktur dilakukan secara cukup eksesif dan diharapkan mampu mengakselerasi. Tetapi sementara waktu berjalan impact-nya belum signifikan bahkan sekarang dalam  situasi pandemi menjadi bumerang bagi indonesia dalam konteks ekonomi yang makin tersendat,” katanya.

 

Pandemi Membuka Kotak Pandora

Ekonom Senior, Faisal Basri mengungkapkan jika krisis sebelumnya, termasuk Depresi Besar 1929-1939 dipicu oleh sektor keuangan maka krisis dewasa ini dipicu krisis kesehatan.

“Saving live is saving the economy. Yang terjadi bukan semata disrupsi ekonomi dan kesehatan, melainkan meliputi hampir semua aspek kehidupan sosial, budaya, politik dan pertahanan. Penyembuhan harus dengan pola pikir baru, lintas disiplin dan melibatkan semua pemangku kepentingan,” kata Faisal.

Lebih lanjut ia memaparkan strategi mengendalikan pandemi. Menurutnya, pemerintah harus kembali ke basic, yaitu pada kaidah kesehatan dengan memutus mata rantai penularan.

“Prioritas utama adalah menyelamatkan nyawa manusia, jangan dikomersialisasikan, kepemimpinan nasional yang tangguh dan pengorganisasian yang apik, komunikasi publik yang efektif. Ini 5 prinsip dasar yang kurang atau tidak dijumpai di kita,” katanya.

Pandemi ini diakui pemerintah lebih sulit dari perang konvensional. Tapi kita tidak pernah declare bahwa ada kedaruratan menghadapi covid. “Menghadapi Covid sebagai business as usual, dengan menggunakan UU yang ada. Sehingga muncullah piutang rumah sakit kepada Pemerintah 40 triliun, nakes tidak dibayar honorariumnya,“ kata Faisal Basri.

Pada kesempatan yang sama Faisal mengibaratkan pandemi ini seperti membuka kotak pandora. “Struktur ekonomi Indonesia rapuh. Mayoritas penduduk masih tergolong insecure dan ketimpangan cenderung meningkat. Value extraction kian dominan ketimbang value creation, menyebabkan pertumbuhan produktivitas (total factor productivity) melambat bahkan mengalami penurunan. Lebih mengandalkan otot dan keringat (perspiration) ketimbang otak (aspiration),” katanya.

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menyatakan bahwa krisis itu sebenarnya bisa menjadi turning point kalau dimanfaatkan dengan baik. Atau bisa jadi krisis itu membuat ekonomi suatu negara menjadi semakin terseok.

“Dalam banyak kasus sebenarnya krisis itu merupakan suatu momentum untuk melakukan turn around. Dalam kondisi normal beberapa kesalahan sulit untuk dibetulkan, karena pasti status quo mengharapkan sesuatu as it is. Krisis ini membuat apa yang selama ini dijustifikasi status quo itu sedikit berubah dan transformasi merupakan suatu yang tak bisa dihindari,” kata Wijayanto.

Ia juga menganalogikan kondisi perekonomian Indonesia seperti orang yang terinveksi Covid-19 namun dengan penyakit komorbid. Menurutnya, komorbid utama perekonomian Indonesia yaitu (1) tingkat hutang pemerintah, korporasi dan rumah tangga yang tinggi; (2) Kapasitas Fiskal Pemerintah yang terus melemah; (3) Current Account Deficit yang terus meningkat; (4) Ketimpangan pendapatan, kekayaan dan penguasaan tanah; (5) Tingkat pengangguran yang tinggi dengan kualitas pekerjaan yang rendah; (6) Regulatory uncertainty dan inconsistency.

 

Syarat Pertumbuhan Ekonomi yang Efektif

Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal menyatakan bahwa sebelum pandemi, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tertahan di angka 5% menunjukkan gejala inersia.

“Suatu kondisi dimana perekonomian bergerak dengan kecepatan yang relatif konstan dan tidak memiliki daya dorong yang cukup untuk bergerak lebih cepat. Pandemi semakin memperumit usaha untuk melakukan akselerasi ekonomi dan meningkatkan risiko Indonesia masuk ke dalam jebakan kelas menengah,” ujarnya.

Ia juga menyinggung bahwa pemulihan ekonomi tidak akan efektif tanpa disertai penguatan kapasitas kelembagaan dan pengawasan terhadap praktik good governance, termasuk dalam penggunaan dana PEN.

“Transformasi ekonomi dibutuhkan agar dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Yang kita butuhkan minimal 7-8 persen per tahun dan mampu bertahan pada level tersebut selama beberapa dasawarsa,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama ia juga menyatakan bahwa salah satu transformasi ekonomi yang perlu diambil yaitu melakukan revitalisasi industri manufaktur, serta mendorong peningkatan nilai tambah pada sektor-sektor unggulan dan strategis, khususnya dalam pemanfaatan sumber daya alam yang melimpah. (*)