Dosen IPB: Harga Daging Sapi Akan Turun Seiring Kenaikan Produksi Sapi Dunia

oleh -
Ekonom IPB University, Dr Sahara. (Foto: Ist)

Bogor, JENDELANASIONAL.ID — Selama beberapa hari terakhir, pemberitaan dihangatkan dengan isu naiknya harga daging sapi yang signifikan. Polemik harga daging sapi yang meroket itu, turut menjadi perhatian Ekonom IPB University, Dr Sahara.

Ia mengungkapkan kenaikan lonjakan harga daging sapi dikarenakan ketergantungan Indonesia terhadap daging sapi impor sangat tinggi. Sehingga perubahan harga yang terjadi di negara-negara produsen sapi di tingkat dunia akan berdampak terhadap harga daging sapi di Indonesia.

“Seperti yang diketahui bahwa wabah COVID-19 menyebabkan guncangan, baik pada sisi supply maupun demand pada semua komoditas termasuk daging sapi. Dari sisi supply, situasi pandemi dan kondisi cuaca menyebabkan terganggunya produksi, distribusi dan pengolahan komoditas sapi, terutama di negara-negara produsen sapi dunia,” ujar Ketua Departemen Ilmu Ekonomi IPB University melalui siaran pers yang diterima redaksi di Jakarta, Kamis (21/1).

Ia mencontohkan, di Australia, produksi daging sapi mengalami penurunan karena kekeringan panjang pada tahun 2019. Hal tersebut memicu kenaikan harga. Pada 2020, peternak-peternak di Australia melakukan restocking sehingga mereka mengurangi penjualan sapi.

Di negara lain, Amerika Serikat misalnya, restriksi karena COVID-19 juga berdampak pada produksi dan processor, termasuk tempat-tempat pemotongan di negara-negara produsen utama tersebut. Sapi-sapi hidup banyak mengalami penumpukan di tempat pemotongan karena rumah pemotongan kekurangan tenaga kerja akibat dampak pandemi.

“Guncangan supply dan kondisi cuaca tersebut yang menjadi penyebab kenaikan harga daging sapi di negara-negara produsen sapi dan trend kenaikan harga tersebut semakin terasa di akhir tahun 2020 dan berlangsung hingga sekarang,” ungkapnya.

Sahara kemudian melakukan analisis terhadap data harian harga daging sapi di Indonesia. Hasilnya, kenaikan harga daging sapi masih akan berlangsung. Terlebih, ia ungkapkan, saat ini terjadi kenaikan permintaan terhadap live cattle (sapi hidup) dari negara lain seperti di Vietnam dan China.

“Di China sendiri wabah COVID-19 menyebabkan turunnya produksi daging babi sehingga mereka beralih ke daging sapi dan meningkatkan permintaan China terhadap daging sapi. Jadi importir Indonesia harus bersaing untuk mendapatkan daging sapi dari Australia dan negara-negara produsen sapi lainnya,” terangnya.

Faktor lainnya, lanjut Sahara, penguatan dolar Australia terhadap rupiah juga berpengaruh terhadap kenaikan harga daging sapi di Indonesia. Seperti yang diketahui, impor sapi Indonesia dari Australia sangat besar, sehingga fluktuasi exchange rate tersebut berpengaruh terhadap harga daging sapi di Indonesia.

“Namun demikian, saya membaca bahwa akan adanya kenaikan produksi di Amerika Serikat dan Australia. Karena kondisi cuaca sudah mulai bagus di tahun ini memberikan harapan terhadap penurunan harga sapi di tingkat dunia,” ujarnya.

Sahara menyarankan perlunya upaya peningkatan produksi daging sapi dalam negeri dalam jangka panjang. Salah satunya dengan cara meningkatkan skala usaha peternak sapi lokal. Ia menyadari, untuk memenuhi kebutuhan sapi 100 persen dari dalam negeri sangat sulit, tetapi setidaknya melalui upaya peningkatan produksi tersebut maka ketergantungan Indonesia terhadap sapi impor bisa dikurangi.

“Seperti yang kita ketahui produksi sapi di dalam negeri didominasi oleh peternak skala kecil. Padahal untuk peternakan sapi agar efisien, diperlukan bisnis skala besar. Maka salah satu upaya dari sekian banyak upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah terkait peningkatan produksi daging sapi adalah dengan meningkatkan skala usaha,” tuturnya.

Namun demikian, ia menekankan bahwa bisnis sapi skala besar yang dikembangkan di Indonesia bukan berarti memindahkan bisnisnya dari peternak ke konglomerat. Akan tetapi, kata Sahara, skala pengelolaan bisnisnya-lah yang diperbesar. Hal itu dilakukan dengan mengubah dari pemeliharaan ternak secara individu menjadi kelompok besar dengan menggunakan format koperasi dan food estate.

“Melalui peningkatan skala usaha tersebut maka para peternak yang terlibat dapat meningkatkan posisi tawarnya dalam pembelian input terutama pakan dan juga meningkatkan posisi tawar peternak dalam memasarkan ternaknya,” tutupnya. (Ryman)