Industri Hilirisasi Batubara sebagai Substitusi Impor Bahan Baku Dipacu

oleh -
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto bersama Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri ESDM Ignasius Jonan serta Direktur Utama PT. Bukit Asam Tbk Arviyan Arifin meresmikan Pencanangan Industri Hilirisasi Batubara di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, Minggu (3/3). (Foto:Ist)

Muara Enim, JENDELANASIONAL.COM — Kementerian Perindustrian terus mendorong tumbuhnya industri hilirisasi batubara agar dapat menghasilkan produk bernilai tambah tinggi dan substistusi impor seperti urea, Dimethyl Ether (DME), serta polypropylene. Langkah strategis ini dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku pembuatan pupuk, bahan bakar, dan plastik yang akan digunakan di dalam negeri hingga mengisi permintaan pasar ekspor.

“Undang-Undang No 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian mengamanatkan, pengembangan industri pengolahan difokuskan pada penguatan rantai pasok untuk menjamin ketersediaan bahan baku dan energi yang berkesinambungan dan terjangkau,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto pada Pencanangan Industri Hilirisasi Batubara di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, Minggu (3/3).

Kegiatan pencanangan ini, turut pula dihadiri Menteri BUMN Rini Soemarno dan Menteri ESDM Ignasius Jonan. Dalam rangkaian acara, Menteri Airlangga juga berkesempatan menandatangani prasasti pencanangan Bukit Asam Coal Based Special Economic Zone (BACBSEZ).

“Sektor industri inilah yang sekarang diperlukan sesuai dengan arahan Presiden, karena merupakan substitusi impor dan dapat memperkuat cadangan devisa kita. Maka itu, klaster Tanjung Enim dengan luas 300 hektare ini akan menjadi kawasan industri baru yang terintegrasi,” tutur Airlangga.

Menperin memberikan apresiasi kepada PT. Bukit Asam Tbk, PT. Pertamina (Persero), PT. Pupuk Indonesia (Persero), dan PT. Chandra Asri Petrochemical Tbk yang sedang mengembangkan industri hilirisasi batubara di mulut tambang Tanjung Enim. Pada Desember 2017, keempat perusahaan tersebut telah menandatangani perjanjian kerja sama untuk mengolah batubara kalori rendah dengan teknologi gasifikasi sehingga menghasilkan produk akhir yang memiliki nilai jual lebih tinggi.

“Teknologi gasifikasi memungkinkan konversi batubara kalori rendah menjadi synthetic gas (syngas) yang merupakan bahan baku untuk diproses lebih lanjut menjadi DME sebagai bahan bakar dan substitusi impor LPG, urea sebagai pupuk, serta polypropylene sebagai bahan baku plastik,” paparnya.

Pembangunan pabrik pengolahan gasifikasi batubara yang nilai investasinya diperkirakan mencapai USD1,2 miliar dan menciptakan lapangan kerja sebanyak 1.400 orang ini akan mulai beroperasi pada November tahun 2022. “Produksinya nanti dapat memenuhi kebutuhan sebesar 500 ribu ton urea per tahun, 400 ribu ton DME per tahun, dan 450 ton polypropylene per tahun,” ungkap Airlangga.

Dengan target pemenuhan pasar tersebut, diproyeksi kebutuhan batubara sebagai bahan baku sebesar 7-9 juta ton per tahun, termasuk untuk mendukung kebutuhan batubara bagi pembangkit listrik. Hilirisasi yang akan dilakukan ini diperkuat dengan total sumber daya batubara sebesar 8,3 miliar ton dan total cadangan batubara sebesar 3,3 miliar ton.

Menurut Airlangga, industri hilirisasi batubara ini sangat penting untuk memperkuat struktur industri dan optimalisasi perolehan nilai tambah dalam rangka peningkatan daya saing sektor manufaktur, termasuk dalam penguatan kemandirian industri petrokimia di Indonesia.

“Adanya keterkaitan yang luas dengan sektor industri lain tak pelak menjadikan sektor industri petrokimia sebagai tolok ukur tingkat kemajuan suatu negara, selain industri baja. Tak heran jika keberadaan industri petrokimia sering menjadi backbone dari sebagian besar sektor industri di dunia,” terangnya.

Berdasarkan peta jalan Making Indonesia 4.0, industri kimia merupakan satu dari lima sektor manufaktur yang sedang mendapat prioritas pengembangan dan akan menjadi pionir dalam penerapan industri 4.0.

“Untuk sektor industri pionir ini, sebetulnya pemerintah sudah memfasilitasi pemberian tax holiday dan nanti juga kami akan usahakan untuk menjadikan kawasan ekonomi khusus. Dengan demkian, semua kemudahan ini ditumpahkan di Tunjung Enim,” imbuhnya.

Menperin pun menghitung nilai tambah yang akan dihasilkan di Tanjung Enim, apabila kebutuhan batubara dalam proyek ini mencapai 9 juta ton per tahun dengan harga komoditasnya USD30 per ton, maka baru menghasilkan senilai USD270 juta tanpa pengolahan.

“Tetapi apabila ada satu pabrik polypropylene dengan kapasitas 450 ribu ton per tahun, itu bisa menghasilkan USD4,5 miliar. Apalagi, akan ada pabrik pupuk dan DME itu minimal mencapai USD7 miliar devisa yang bisa kita hemat. Jadi, bukan hanya menggali, tetapi ada nilai tambah,” tegasnya.

Selain berperan penting dalam mendukung rantai pasok sektor penggunanya, industri kimia juga turut memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian nasional. Kemenperin mencatat pada tahun 2018, investasi di sektor industri kimia dan farmasi mencapai Rp39,31 triliun. Selain itu, kelompok industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia menorehkan nilai ekspor sebesar USD13,93 miliar.

Direktur Utama PT. Bukit Asam Tbk Arviyan Arifin menyampaikan, pihaknya berkomitmen untuk menciptakan nilai tambah dan mentransformasi batubara menjadi ke arah hilir dengan teknologi gasifikasi. “Selain itu, diharapkan dengan kerja sama ini juga dapat meningkatkan sinergi antar BUMN, dan mampu menciptakan efisiensi dalam industri batubara, gas, pupuk dan kimia,” ujarnya. (Ryman)