Rizal Ramli Sebut Pajakin Rakyat yang Pakai Pulsa dan Token Listrik Bukan Cara Kreatif

oleh -
Rizal Ramli ekonom senior. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID – Ekonom senior Rizal Ramli mengeritik keras kebijakan pemerintah terkait pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan (PPh) untuk penjualan pulsa, voucer, kartu perdana dan token listrik, mulai 1 Februari 2021. Dia mengatakan, kebijakan tersebut ulah “ngutang ugal-ugalan” yang dilakukan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.

“Ngutang ugal-ugalan dgn bunga kemahalan, neraca primer negatif selama 6 tahun; akhirnya kepepet, Menkeu Terbalik, Sing Printil akhirnya pajakin rakyat kecil yg pakai token listrik dan pulsa,” ujar mantan Menko Perekonomian itu di Jakarta, Jumat (29/1).

Mantan Menko Kemaritiman itu mengatakan, cara yang dilakukan Menkeu dengan menarik pajak tersebut bukan merupakan cara kreatif. Bahkan, dia mengatakan, kebijakan tersebut membuat Presiden Joko Widodo “terpeleset” bersama Menteri Keuangan tersebut.

“Mbok kreatif dikit kek 😄 @jokowi akan kepleset bersama Menkeu Terbalik. Udah ndak ngerti,, dengerin mediocre,” ujar bang RR, sapaan Rizal Ramli.

Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (IndefBima Yudistira mengatakan kebijakan tersebut kontraproduktif dengan pemberian stimulus kepada masyarakat maupun pengusaha di era resesi dan pandemi seperti saat ini.

“Padahal, saat ini pemerintah meminta masyarakat untuk menggunakan internet dan bekerja dari rumah (Work From Home) sehingga membutuhkan banyak banyak pulsa data atau nomor perdana. Karena itu, kebijakan ini dianggap merupakan beban baru bagi masyarakat,” ujarnya di Jakarta, Jumat (29/1).

Menurut Bima, beban 10 persen tersebut tidak mungkin hanya ditanggung pihak penyelenggara, namun juga akan dibebankan kepada masyarakat atau konsumen dengan cara menaikkan harga. Karena itu, hal tersebut, katanya, akan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat.

“Artinya masyarakat harus dipaksa terus menggunakan internet atau telekomunikasi dan dengan kenaikan harga itu dia akan mengurangi pemakaian atau konsumsi barang-barang yang lain. Sehingga ini menjadi beban bagi masyarakat,” ujarnya.

Selain itu, kata Bima, selama ini masyarakat juga sudah dibebankan dengan kenaikan materai. Maka ditambah dengan kenaikan harga PPN ini beban masyarakat tersebut pasti akan bertambah.

Di negara lain, katanya, pemerintahannya besar-besaran memberi subsidi kepada rakyatnya. Di negara kita, justru hal tersebut berbanding terbalik. “Di negara lain pemerintahannya memberi subsidi kepada perusahaan telekomunikasi sehingga mereka bisa menambah jaringan untuk daerah terpencil dan terluar. Namun di negara kita justru yang dilakukan adalah kebalikannya,” ujarnya.

Karena itu, kata Bima, kebijakan ini justru akan menghambat proses digitalisasi dan transformasi digital yang digembar-gemborkan pemerintah selama ini. “Kebijakan ini justru akan menghambat proses digitalisasi dan transformasi digital dengan pemberlakukan PPN terhadap pembelian pulsa maupun voucer tersebut,” pungkasnya.

Seperti diketahui, keputusan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6/PMK.03/2021 tentang penghitungan dan pemungutan PPN serta PPh atas penyerahan/penghasilan sehubungan dengan penjualan pulsa, kartu perdana, token dan voucer.

“Kegiatan pemungutan PPN dan PPh atas pulsa, kartu perdana, token dan voucer perlu mendapat kepastian hukum,” demikian bunyi PMK Nomor 6/PMK.03/2021 itu seperti dikutip di Jakarta, Jumat (29/1).

PMK tersebut ditandatangani Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan diundangkan pada 22 Januari 2021.

Menurut Sri Mulyani, pertimbangan lain dalam menerapkan regulasi baru itu adalah untuk menyederhanakan administrasi dan mekanisme pemungutan PPN atas penyerahan pulsa oleh penyelenggara distribusi pulsa.

Penghitungan dan pemungutan PPN atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) berupa pulsa dan kartu perdana yang dapat berbentuk voucer fisik atau elektronik oleh pengusaha penyelenggara jasa telekomunikasi dan penyelenggara distribusi.

Selain itu, penyerahan BKP berupa token oleh penyedia tenaga listrik juga dikenai PPN.

PPN dikenakan atas penyerahan BKP berupa pulsa dan kartu perdana oleh pengusaha penyelenggara jasa telekomunikasi kepada penyelenggara distribusi tingkat pertama dan atau pelanggan telekomunikasi.

Kemudian, penyelenggara distribusi tingkat pertama kepada penyelenggara distribusi tingkat kedua dan atau pelanggan telekomunikasi.

Penyelenggara distribusi tingkat kedua kepada pelanggan telekomunikasi melalui penyelenggara distribusi tingkat selanjutnya atau pelanggan secara langsug dan penyelenggara distribusi tingkat selanjutnya.

Dalam pasal 4 ayat 4 disebutkan pemungutan PPN sesuai contoh yang tercantum pada lampiran dalam PMK itu yakni sebesar 10 persen.

Sementara itu, terkait penghitungan dan pemungutan PPh atas penjualan pulsa dan kartu perdana oleh penyelenggara distribusi tingkat kedua yang merupakan pemungut PPh pasal 22, dipungut PPh pasal 22.

Pemungut PPh melakukan pemungutan sebesar 0,5 persen dari nilai yang ditagih oleh penyelenggara distribusi tingkat kedua kepada distribusi tingkat selanjutnya atau harga jual atas penjualan kepada pelanggan secara langsung.

Apabila wajib pajak tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) maka besarnya tarif pemungutan PPh pasal 22 lebih tinggi 100 persen dari tarif 0,5 persen. (Ryman)