Emrus Sihombing: Pati Polisi Jadi Plt Gubernur Sesuai Dengan UU

oleh -
Direktur Eksekutif Lembaga EmrusCorner, Emrus Sihombing

JAKARTA-Heboh penunjukan perwira tinggi (pati) Polri menjadi pelaksana tugas (plt) gubernur di Jawa Barat dan Sumatra Utara masih terus berlanjut.

Namun Direktur Eksekutif Lembaga EmrusCorner, Emrus Sihombing menegaskan Pelaksana Tugas (PlT) Gubernur harus sesuai dengan UU.

UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada Pasal 201 menyebutkan, untuk mengisi kekosangan jabatan gubernur, diangkat pejabat gubernur yang berasal dari dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan gubernur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. “Jadi, PLT gubernur dari Pati Polri, sangat sesuai dengan UU,” ujar Emrus di Jakarta, Selasa (30/1).

Isu pencalonan dua perwira tinggi Polri sebagai penjabat gubernur ini menjadi polemik sejak pekan lalu.

Dua pati tersebut adalah Asisten Operasi (Asops) Kapolri Irjen Pol M. Iriawan dan Kadiv Propam Polri Irjen Pol Martuani Sormin.

Iriawan rencananya akan ditunjuk sebagai pelaksana tugas Gubernur Jawa Barat menggantikan Ahmad Heryawan. Sementara Martuani bakal ditunjuk sebagai pelaksana tugas Gubernur Sumatera Utara menggantikan Tengku Erry Nuradi.

Nantinya mereka akan menjabat sebagai pelaksana tugas gubernur hingga rangkaian Pilkada Serentak 2018 selesai.

Menurut Emrus, polemik tentang PlT Gubernur dari Perwira Tingi (Pati) Polri sudah tergiring ke ranah kepentingan politik pragmatis dengan bangunan argumentasi yang tampak logis. Mereka yang menolaknya tidak lepas dari agenda politik  dan bisa saja berada pada posisi dari paslon cagub-cawagub tertentu yang boleh jadi merasa tidak diuntungkan bila mana PlT itu dari Pati Polri.

Sebab dialektika semacam ini acapkali muncul ketika ada kontestasi politik dalam rangka memperoleh, dan atau mempertahankan dan atau memperluas kekuasaan.

Untuk itu, pemerintah dalam hal ini, Kemendagri sudah sangat tepat mengajukan PLT gubernur dari Pati Polri.

Terdapat empat argementasi terkait penunjukan Pati Polri:

Pertama, potensi gangguan keamanan pada setiap proses proses dan pasca hasil Pilkada. Bila hasil analisis beberapa lembaga pemilu dan pemerintah, memang menunjukan ada potensi gangguan keamanan di suata daerah propinsi tertentu, misalnya, maka negara dalam hal ini pemerintah harus melakukan langkah-langkah antisipatif dan taktis.

“Tidak boleh sejenakpun bisa terjadi kerawan sosial di setiap jenggkal bumi pertiwi,” ujarnya.

Kedua, PLT gubernur harus sesuai dengan UU. Menurut catatannya, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada Pasal 201 menyebutkan, untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat pejabat gubernur yang berasal dari dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan gubernur sesuai dengan ketentuan perundan-undangan yang berlaku.

“Jadi, PLT gubernur dari Pati Polri, sangat sesusi dengan UU,” imbuhnya.

Ketiga, PLT gubernur di daerah sudah pernah dari aparat, karena pertibangan keamanan. Sulbar dan Aceh pernah dipimpin PLT berpangkat Irjen dan Mayjen.

Keempat, PLT dari instansi  yang lebih netral dipastikan lebih netral. Dalam konteks proses dan hasil Pilkada, instansi TNI dan Polri pasti lebih netral dibanding dengan PLT dari pejabat kementerian mapun dari pejabat daerah. Sebab, relasi sosial antara PLT dari pejabat kementerian atau pejabat daerah dengan gubernur terpilih dipastikan lebih dekat daripada dari PLT dari intansi Polri atau TNI.

“Berangkat dari empat argumentasi di atas, tidak ada salahnya presiden mengeluarkan Kepres pengangkatan PLT gubernur dari Pati Polri. Tentu lebih cepat lebih baik, sekaligus menghentikan polemik yang tidak produktif tersebut,” pungkasnya.