90 Tahun Fransiskan Meraga di Nusantara

oleh -
90 tahun Fransiskan megara di Nusantara. (Foto: Ilustrasi)

P. Alforinus Gregorius Pontus, OFM

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Entah sebuah kebetulan atau bukan, ketika Fransiskan Indonesia, Provinsi St. Mikhael Agung merayakan 90 tahun kehadirannya di Indonesia dengan tema: 90 Tahun Meraga di Nusantara: Evaluasi, Refleksi dan Proyeksi Kehadiran Fransiskan di Indonesia, Paus Fransiskus juga menerbitkan kembali Surat Apostolik Maximum Illud,  dari Paus Benediktus XV sebagai perayaan 100 tahun dokumen ini pada tanggal 30 November 2019. Dokumen ini dapat membantu kita untuk merefleksikan dan mengevaluasi kehadiran Fransiskan di Indonesia bahkan sebagai proyeksi menyosong 100 tahun Fransiskan di nusantara.

Misi adalah tugas utama gereja. Dikatakan bahwa kodrat gereja adalah misi. Amanat agung Yesus sebelum naik ke surga sungguh jelas, “Pergilah dan jadikanlah semua bangsa muridKu…” (Mt. 28, 19). Fransiskus Assisi sendiri ketika mendengar seorang imam membaca Injil tentang jangan membawa apa-apa dalam mewartakan Kerajaan Allah dan pertobatan (Mt 10, 6-13), bersorak dalam Roh Allah, “Inilah yang saya inginkan”.  Inilah tugas setiap orang Kristen terutama pengikut Fransiskus.

 

Menelusuri Jejak Para Fransiskan di Bumi Nusantara

Walaupun kehadiran Fransiskan di bumi nusantara baru 90 tahun, namun jejak-jejak Fransiskan di bumi nusantara sudah dimulai sejak abad ke-16. Kehadiran mereka tentu saja tidak lepas dari para pedagang dan para penguasa Portugis saat itu. Jejak-jejak para Fansiskan itu dapat ditemukan dalam buku dari saudara, Edi Kristanto OFM, Krisna Mencari Raga.

Misi Fransiskan ke tanah Nusantara pertama terjadi di Kerajaan Blambangan (1585-1598), menyusul ke Maluku (1606-1666), Sulawesi Utara (1610-1624). Kedatangan VOC di Sulawesi Utara kegiatan evangelisasi  diambilalih oleh pemeluk agama Kristen Protestan. Terjadilah diskontinuitas dalam kegiatan misi para Fransiskan.

 

Anggur Baru Dalam Kantong Baru

Baru pada abad ke-20 para Fransiskan kembali lagi di bumi Nusantara. Pada 21 Desember 1929 lima Fransiskan Belanda tiba di Batavia yaitu Victorinus Beekman, Floribertus Schneider, Paskalis Heitkonig, Azarius de Kok dan Michael Lunter dan diterima oleh Mgr. A. van Velzen Gereja Katedral Maria Assumpta Jakarta.

Paroki Hati Kudus Kramat dan Panti Asuhan Vincentius adalah bukti kehadiran dan karya Fransiskan hingga kini. Perlu dicatat juga bahwa 7 Maret 1933 distrik Cicurug dilepaskan dari paroki Sukabumi dan diserahkan kepada Fransiskan. Floribertus Schneider ditugaskan untuk menyiapkan rumah retret dan biara Klaris di Cicurug. Menyusul tahun 1934 datang dari Belanda Benedictus Coenen, Oscara Cremers dan Hadelinus Ariaens untuk memperkuat misi di Nusantara.

Kehadiran para misionaris Fransiskan dari negeri Belanda menumbuhkan benih panggilan di bumi nusantara. Muncullah para fransiskan pribumi yakni Raymond J. Koesnan, Bonaventura Djasman Tjiprapranata, Antonius Soejitno Hadiatmadja, Augustinus Ismail Hardjowardowo dan Joseph Wahjosudibjo. Kegiatan evangelisasi para Fransiskan juga berkembang: diterbitkan majalah paroki Katholik Leven (Hidup Katolik, 1935), terlibat dalam mengisi siaran radio melalui Bataviiaasche Radio Vereniging, sekolah dan poliklinik di Kampung Sawah (1935), Vincentius Putri di Bidaracina (1938) bersama para suster Ursulin dan Majalah Penabur (1947)

Pater Paternus N. Geise (1938) yang mempelajari suku Badui, Ordo Saudara Dina menerima Misi Sukabumi dengan dibentuknya Missio sui juris, lalu misi Sukabumi diangkat menjadi Perfectura Apostolica (1940), dan  diangkatnya N. Geise menjadi Perfektur Apotolik di Sukabumi (17 Desember 1948) menegaskan para Fransiskan makin menanamkan kaki di bumi nusantara.

Para fransiskan mulai merambah jauh ke timur Indonesia: Flores (1951), Timor Timur (1985) dan Timor Barat (1999); lalu ke Barat Indonesia: Lampung (2013), Sintang (2016) and Banjarmasin (2018). Tak ketinggalan misi keluar Indonesia juga dirambah: Tanah Suci (1997), Thailand (1999), Myanmar (2007) and Turkey (2015). Dan dua yang terkahir di akhir dekade ini adalah Badau, Keuskupan Sintang (2016) dan Magalau, Keuskupan Banjarmasin (2018). Keputusan kapitel (pertemuan orod) provinsi September 2019 memutuskan untuk merambah ke New Zeland, Keuskupan Maliana di Timor Leste dan Keuskupan Pangkal Pinang.

Bagaimana peran para Fransiskan dalam misi di Indonesia terlihat dari karya-karya baik yang dipercayakan oleh gereja kepada mereka maupun karya para fransiskan sendiri. Para Fransiskan bekerja di 17 paroki (di 9 keuskupan), dua panti asuhan, sekolah  dan karya-karya interen lainya terutama lewat karya JPIC yang membuat Fransiskan dikenal.

Kehadiran, misi dan karya para Fransiskan Santo Mikhael Agung Indonesia memberikan pesona tersendiri sehingga membuat beberapa uskup mengharapkan kehadiran para Fransikan di keusukupan mereka. Tak ketinggalan beberapa provinsi OFM dari negara lain juga masih mengharapkan kehadiran Fransiskan Indonesia.

Tuhan juga menganugerahkan panggilan yang masih cukup subur sehingga untuk menerima karya-karya baru masih memungkinkan. Hingga September 2019 tercatat 119 saudara yang berkaul kekal, 58 saudara yang berkaul sementara, dan 19 novis. Jumlah ini belum termasuk  14 saudara yang berkaul kekal, dan 29 yang berkaul sementara, dan 4 novis yang tinggal di Fondasi Timor Leste.

 

Depok dan Fansiskan

Banyak hal bisa direfleksikan dari sejarah Fransiskan dalam kurun waktu 90 tahun di bumi Nusantara ini terutama lewat karya-karya pelayanan. Salah satu karya pelayanan yang masih ditangani oleh para Fransiskan adalah paroki Santo Paulus Depok. Mengapa paroki ini masih dipercayakan kepada para Fransiskan patut ditanyakan.

Sejak tahun 1951 para Fransiskan mendirikan sebuah biara di Cicurug yang juga sebuah seminari. Seminari itu kemudian dipindahkan ke Bogor. Biara Cicurug kemudian dijual dan pendidikan bagi para calon Fransiskan kemudian dipindahkan ke Jakarta dan Yogyakarta. Pada tahun 1980 Novisiat OFM yang tadinya berada di Yogyakarta dipindahkan ke Depok yang hingga saat ini disebut Novisiat Transitus. Umat paroki Paulus dan sekitarnya tentu saja tidak asing karena sudah menetaskan banyak fransiskan Indonesia saat ini.

Demikian juga karya persekolah, panti asuhan dan panti, dengan berkembangnya  imam-imam projo akhirnya satu per satu diserahkan ke tangan para imam projo. Dari paroki-paroki yang ada di keuskupan Bogor yang masih dipertahankan dan ditangani oleh para Fransiskan adalah Paroki Santo Paulus Depok karena keberadaan Novisiat Transitus, Paroki Ratu Para Malaikat Cipanas karena keberadaan Suster Klaris dan Paroki Santo Petrus Cianjur karena untuk menjalin hubungan dan dialog dengan agama Islam.

Makanya menjadi jelas bagi kita umat paroki Paulus bahwa Novisiat Transitus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari karya paroki para Fransiskan.  Dari sanalah benih-benih awal para fransiskan awal ditaburkan dan diharapkan akan ikut mengambil bagian dalam karya-karya para Fransiskan di manapun. Dari Depoklah muncul tunas-tunas muda fransiskan. Kita berharap agar Depok bukan saja menjadi tempat semaian saja tetapi tetapi juga benih-benih yang ikut menumbuhkan dan mengisi raga para fransiskan dengan orang-orangnya.

 

Akhir Kata

Perjalanan 90 tahun Fransiskan Indonesia lebih tepat Provinsi St. Mikhael Indonesia Meraga Nusantara sungguh mengagumkan. Kesulitan bisa menjadi berkat. Hambatan bisa menjadi kesempatan untuk berkarya. Kiprah para misionaris awal dengan berbagai cerita suka dan duka menjadi guru yang baik untuk langkah kita saat ini dan selanjutnya. Apa yang telah ditanamkan oleh para misionaris awal tidak lepas dari mewartakan perintah agung Yesus, ‘pergilah dan wartakanlah Injil ke seluruh penjuru dunia’ dan jawaban atas ‘inilah’ Fransiskus sehingga menggerakkannya untuk mulai melakukan pertobatan dan karya misinya, menjadi motivasi atas perjalanan karya misi kita.

Tanpa mengabaikan tugas pewartaan yang diberikan Yesus kepada kita, hendaklah karya penginjilan dan misi dihayati sebagai bagian dari ‘melakukan pertobatan’. Anjuran Fransiskus dalam AngTBul 16 tentang cara bermisi hendaklah selalu diingat: Proclaim the Gospe at all time, use the words if it is necessary.

*) Penulis adalah Pastor di Paroki Santo Paulus Depok