Agama Harus Menjadi Sumber Inspirasi Perdamaian dan Anti Kekerasan  

oleh -
Dosen Pascasarjana bidang Program Studi Magister Pendidikan Agama Islam dari Universitas Nahdatul Ulama (UNU) Surakarta, Dr. H. Amir Mahmud, M. Ag. (Foto: Ist)

Surakarta, JENDELANASIONAL.ID — Perang dan konflik yang terjadi di berbagai negara hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat Indonesia tentang mahalnya harga sebuah perdamaian. Sebagai bangsa religius yang menjunjung tinggi nilai agama, sudah sepatutnya agama dijadikan sumber inspirasi menyemai perdamaian, bukan dipolitisir untuk menghalalkan kekerasan.

Dosen Pascasarjana bidang Program Studi Magister Pendidikan Agama Islam dari Universitas Nahdatul Ulama (UNU) Surakarta, Dr. H. Amir Mahmud, M. Ag menerangkan bagaimana seharusnya agama berperan menjadi sumber inspirasi bagi perdamaian dan anti terhadap kekerasan ditengah bangsa Indonesia yang beragam.

”Sebagai orang yang beragama, tentunya harus cinta kepada kedamaian dan menjauhkan dari segala macam hal-hal yang bisa mendatangkan kepada pertikaian perpecahan dan sebagainya,” ujarnya di Surakarta, Rabu (2/3/2022).

Ia melanjutkan, semua agama yang ada di dunia ini membawa pesan perdamaian dan anti-kekerasan, sehingga sudah semestinya masyakat Indonesia yang beragama dan relijius ini dapat menjadikan agama sebagai pedoman perdamaian.

”Kita semua seluruh umat beragama mengetahui bahwa semua agama yang ada di dunia ini memiliki pesan perdamaian dan anti terhadap kekerasan,” kata Amir.

Sebagai orang yang pernah hidup di daerah konflik yaitu di Afghanistan, Amir Mahmud yang juga lulusan Akademi Militer Afghanistan ini membagikan pengalaman berharganya tentang betapa berharganya hidup di tengah bangsa yang damai.

”Begitu sulitnya kita sebagai manusia untuk melakukan komunikasi dan untuk beraktivitas di dalam kehidupan bermasyarakat (ditengah konflik). Selalu ada rasa ketakutan, rasa ketidaknyamanan bahkan permusuhan terhadap satu sama lainnya,” terang Direktur Amir Mahmud Center yang bergerak dalam bidang kajian Kontra Narasi dan Idiologi dari paham Radikal Terorisme ini.

Menurutnya, konflik-konflik yang menyeruak di berbagai negara banyak dipicu oleh kepentingan politis dan kurangnya rasa menghargai terhadap perbedaan. Dan kondisi seperti itulah yang seringkali berujung pada kehancuran dan kerugian bagi diri sendiri dan masyarakat luas.

“Masyarakat kita harus banyak belajar dari berbagai konflik yang ada di berbagai negara. Jangan sampai masyarakat kita ini mudah diadu domba dan dipecah belah oleh kepentingan politis dan juga perbedaan yang dapat menimbulkan konflik,” ujar pria lulusan S2 bidang Sosiologi Agama dari Universitas Muhamadiyah Surakarta ini.

Karena di era post-truth dan media sosial saat ini, ia menilai masyarakat ini cenderung sering terlibat kepada perselisihan dan praktik intoleransi yang kerap menimbulkan kegaduhan ditengah masyarakat.

“Persoalan bangsa kita, mereka ini saling menghujat, saling mengklaim hingga di media massa dan media sosial. Tentunya  ini adalah satu sikap bujur dari kepentingan kelompok lebih utama daripada kepentingan kehidupan berbangsa dan bernegara,” jelas peraih Doktoral bidang Studi Islam dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.

Untuk itu, perlu ada cara efektif untuk menyadarkan masyarakat betapa berbahayanya merawat egoisme demi kepentingan kelompok maupun politis agar tidak mudah terprovokasi maupun diadu domba oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.

“Seluruh komponen harus dapat mengontrol dirinya. Jangan mudah terprovokasi ataupun adu domba yang dihembuskan oleh kelompok-kelompok yang tidak suka adanya perdamaian yang ingin menghancurkan bangsa ini,” ujarnya.

Peraih Doktoral bidang Studi Islam dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini juga menambahkan pentingnya peran aparat negara dan penegak hukum untuk memberikan tindakan tegas kepada oknum yang dinilai kerap melakukan provokasi di masyarakat.

”Kami memohon kepada pihak-pihak aparat keamanan untuk menindak tegas terhadap siapapun orang ataupun kelompok yang melakukan perbuatan provokasi di masyarakat, terlebih ada juga pihak yang ber- ‘sumbu pendek’,” imbuhnya.

Disamping pentingnya self-control dan peran aparat penegak hukum, Amir menilai tanggungjawab menciptakan perdamaian merupakan tanggungjawab semua pihak, terutama para tokoh agama dan juga tokoh masyarakat sebagai ujung tombak kekuatan yang ada di masyarakat.

”Negara ini bisa hancur kalau para tokohnya tidak bisa memberikan pengertian kepada masyarakatnya bahwa segala macam perbedaan yang ada itu merupakan sunnatullah atau keniscayaan,” ungkap pria kelahiran Jakarta, 1 Desember 1965.

Pasalnya, di tengah kondisi sosial masyarakat yang plural ini, perbedaan doktrin, ibadah, dan simbol keagamaan idealnya tidak dipahami sebagai tembok pemisah apalagi alat untuk mendeskreditkan kelompok agama lain.

”Dengan  begitu, maka agama akan menjadi inspirasi persatuan dan perdamaian, alih-alih sumber konflik dan kekerasan,” ujarnya.

Terakhir, Amir Mahmud menyampaikan pesannya kepada masyarakat agar senantiasa menjaga perdamaian tanpa adanya perang dan kekerasan di negeri yang penuh keragaman.

”Ketika ada perbedaan, tentunya  untuk senantiasa saling bisa menerima berlapang dada atas perbedaan yang Allah berikan kepada negara Republik Indonesia yang kita cintai ini,” ujarnya mengakhiri. ***