Al Washliyah Siap Jadi Benteng Umat Islam dari Paham Radikalisme

oleh -
Lokakarya yang digelar oleh Pengurus Wilayah Al Jam’iyatul Washliyah Provinsi Jawa Barat bekerjasama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). (Foto: Pusat Media Damai)

Bogor, JENDELANASIONAL.ID —– Pada awalnya radikalisme muncul dari kebencian dan kekerasan. Bahkan kelompok radikal ini bersifat  intoleran. Untuk itu diperlukan kelompok moderat, baik para pensiunan ASN, maupun TNI/POLRI, untuk menjaga masjid agar tidak ‘diselundupan’ ideologi-ideologi yang merusak agama.

Hal tersebut dikatakan Ketua bidang Kerukunan Antar-Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Yusnar Yusuf Rangkuti, M.Sc, Ph.D saat menjadi narasumber lokakarya yang digelar oleh Pengurus Wilayah Al Jam’iyatul Washliyah Provinsi Jawa Barat bekerjasama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Acara yang mengambil tema “Komunikasi Informasi Edukasi Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan Yang Mengarah pada Terorisme” ini digelar di New Panjang Jiwo Syariah Resort, Kabupaten Bogor, Rabu (13/10/2021).

Dengan materi bertema “Moderasi Beragama Dalam Menjaga Keutuhan NKRI”, KH Yusnar Yusuf Rangkuti mengatakan bahwa Islam masuk di Indonesia sudah termasuk salah satu dari moderasi. Namun harus dipahami bahwa semua agama adalah moderasi, dimana konsep awal yang mendasari bahwa mencari moderasi pasti ada dalam semua agama. Di dalam Islam berdakwah itu diharuskan, tetapi saat sekarang ini banyak sekali tantangan dalam berdakwa.

“Padahal dengan dakwah kita sekarang tentunya akan berdampak kepada generasi berikutnya. Agama juga masuk ke Indonesia dengan damai dengan harapan Al Washliyah di Jawa Barat ini bisa melakukan pendakwahnya untuk masyarakat. Dan itu harus dilakukan sampai akhir hayat agar bisa menjadi benteng untuk umat dari paham radikal terorisme,” ujar KH Yusnar Yusuf Rangkuti.

Dalam kesempatan tersebut Kasubdit Bina Masyarakat BNPT, Kolonel Sus. Drs. Solihuddin Nasution yang juga hadir sebagai narasumber dengan tema “Wawasan Kebangsaan dan Nasionalisme” mengatakan bahwa penyebaran atau penyusupan paham radikalisme dan terorisme ini dilakukan melalui media masa meliputi internet, buku, majalah.

Selain itu kelompok radikal terorisme ini juga biasa melakukan komunikasi langsung dalam bentuk dakwah, diskusi atau bedah buku dan melalui pertemanan. Selain itu kelompok tersebut juga biasa melakukan pendekatan dan menjalin hubungan kekeluargaan dengan bentuk pernikahan, kekerabatan dan juga pendidikan baik itu di sekolah, pesantren dan perguruan tinggi.

“Dulu kelompok radikal tersebut menyebarkan pahamnya menyasar pada keluarga, pertemanan, pertokohan, lembaga keagamaan dan pastinya melakukan rekrutmen bersifat tertutup yang berujung pada pembantaian. Jika dibandingkan dengan sekarang kelompok radikal saat ini merambah pada website, media sosial. Mereka melakukan rekrutmen secara terbuka dan pembantaian bukan berupa nyawa saja tetapi mempengaruhi psikis melalui media social,” ujar. Kolonel Sus. Solihuddin Nasution.

 

Beberapa Faktor Pra Radikalisasi

Dikatakannya ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang menjadi radikal yang dinamakan pra radikalisasi yang mencakup pada fanatisme, ekstrimisme, mempunyai hubungan sosial dan jaringan yang mengaitkan diri mereka kepada orang yang sudah terpapar sebelumnya. Selain itu adanya perubahan sikap sosial dan pandangan politiknya.

“Dan yang terakhir karena rendahnya pengetahuan mengenai agama yang mereka miliki. Sekarang ini orang yang terjerumus pada paham ini bukan karena faktor ekonomi saja tetapi juga faktor sosial, politik dan ada dorongan secara pribadi,” ujar alumni Sepa PK TNI tahun 1995 ini.

Untuk itu menurutnya, BNPT hadir dalam melakukan strategi pencegahan paham radikal terorisme di dunia maya. Sebagai contoh BNPT membentuk Duta Damai di Dunia Maya yyang ada di 13 provinsi di Indonesia. Dimana Duta Damai Dunia Maya ini berisikan para generasi muda pegiat dunia maya. Dimana Duta Damai ini bertugas untuk membanjiri dunia maya dengan konten konten perdamaian.

“Dimana dengan adanya konten perdamaian yang dibuat Duta Damai ini sebagai upaya untuk membentengi para generasi muda agar tidak mudah terpengaruh narasi kekerasan melalui dunia maya,” ujarnya.  

Sesuai dengan Undang-Undang No.5 Tahun 2018 tentang Penanggulangan Terorisme, BNPT, upaya pencegahan terorisme dilakukan dengan tiga aspek, yaitu Kesiapsiagaan Nasional, Kontra Radikalisasi dan Deradikalisasi. Salah satu contoh kongret yaitu Kontra Radikalisasi sebagai upaya  membentengi masyarakat agar memiliki imunitas dan daya tangkal dari pengaruh paham yang menyimpang seperti pada acara lokakarya itu.

“Dimana masyarakat harus diingatkan kembali pada sejarah perjuangan para pejuang dimasa lampau. Kemudian masyarakat harus ditanamkan wawasan kebangsaan, masyarakat harus dilibatkan dan diberikan peran dalam menyelamatkan generasi sebaya dengan cara dan bahasa kekekinian,” ujarnya.

Sementara itu Ketua Pengurus Wilayah Al Jam’iyatul Washliyah Provinsi Jawa Barat, KH. Ahmad Aldin Tamim yang juga bertindak sebagai narasumber dengan paparan bertema “Pancasila Sebagai Titik Temu Agama di Indonesia” menjelaskan bahwa, berbicara mengenai penyebaran radikalisme pastinya berkaitan dengan kebutuhan manusia yang harus dipenuhi seperti sandang, pandang, papan. Dimana pada permasalahan ini negara harus hadir bukan hanya jasmani tetapi juga rohani, apalagi di tengah-tengah pandemi.

“Manusia adalah makhluk sosial, setiap individu tercipta dengan keistimewaannya masing-masing. Itu makanya kita dilarang merendahkan satu dengan yang lain. Oleh karena itu maka hak individu untuk mengembangkan dirinya menjadi versi terbaik dan teristimewa harus dijamin oleh negara karena ini adalah hak asasi. Hak mengembangkan pendidikan, mengembangkan bakat dan kemampuan, hak mengemukakan pendapat dan lain-lain harus dijamin oleh negara dan ini sudah tertuang dalam undang-undang,” kata KH. Ahmad Aldin Tamim.

Disinilah menurutnya, agama mengambil peran yang sangat penting dan strategis. Karena pada aspek kehidupan sosial dan kemanusiaan, sesungguhnya semua agama memiliki pandangan yang sama, yakni menebar kebaikan, menciptakan kedamaian dengan tujuan hadirnya kesejahteraan baik kesejahteraan individu ataupun kolektif.

“Tak ada satu agamapun yang mengajarkan kekerasan, keberingasan, intoleran ataupun menciptakan teror di tengah-tengah masyarakat. Pada titik ini, semua agama memiliki pandangan yang sama,” ucapnya.

Namun demikian menurutnya bukan berarti semua agama itu sama, apalagi dikatakan agama itu sama dalam pandangan Tuhan. Karena setiap agama memiliki keyakinan terhadap Tuhannya masing-masing yang berbeda antara satu agama dengan lainnya.

“Semua agama mengajarkan kearifan dan kedamaian yang menuju pada kesejahteraan individual atau kolektif. Maka kalaupun ada bentrok atau kekerasan antar penganut satu agama, sesungguhnya itu bukan merupakan ajaran agama itu sendiri.” pungkasnya. ***