Apartur Negara Harus Jadi ‘Public Speaker’ Pembumian Pancasila

oleh -
Staf Khusus Dewan Pengarah BPIP Antonius Benny Susetyo. (Foto: ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP Romo Benny Susetyo menghadiri acara Pendidikan dan Pelatihan Teknik Publik Speaking yang diselenggarakan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan  Kementerian Komunikasi dan Informatika (22/9).

Benny menyatakan bahwa dalam dunia yang sedang mengalami era Industri 4.0 dibutuhkan public speaker yang efektif.

“Public speaker harus yang jujur serta berpatokan pada data dan fakta serta senantiasa menjaga nilai-nilai Pancasila dari sifat yang lebih mementingkan kecepatan dan kebombastisan informasi, dibanding konten positif dan bertujuan baik,” katanya di Jakarta.

Pada era digital seperti saat ini, kata Benny, ada perubahan paradigma  mengenai  informasi. Di era digital seperti saat ini, orang tidak lagi mengutamakan kualitas serta kedalaman narasi yang memiliki dampak baik bagi masyarakat, tetapi informasi yang lebih mengutamakan kecepatan informasi.

“Masuknya wacana pada masyarakat tanpa memandang benar atau salah maupun manfaat dari informasi tersebut. Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan sekaligus tantangan bagi para public speaker khususnya yang merupakan aparatur negara,” lanjut Benny.

Budayawan ini juga menegaskan bahwa dalam era revolusi industri 4.0 terjadi pergeseran paradigma komunikasi.

“Sekarang komunikasi lebih menitikberatkan kepada  alat digital yang canggih dan berteknologi tinggi. Di era ini kita sering lupa bahwa komunikasi tetaplah ada pada penyampaian informasi yaitu ketika informasi disampaikan, maka akan mendapat reaksi pada pihak yang menerima,” katanya.

Dalam era yang mengutamakan kecepatan dan informasi yang bombastis, aksi dan reaksi ini cenderung berjalan ke arah yang kasar, tidak sopan, dan tidak bertanggung jawab.

“Masyarakat terlalu dikendalikan oleh alat dan gadget sehingga tidak disadari manusia hanya menjadi manusia satu dimensi. Kita hanya pengguna dan tidak punya kebijakan literasi dan kekritisan terhadap gadget yang kita miliki. Maka dengan mudah hoaks menjadi standard berpikir dan bertindak dari masyarakat,” ujarnya.

Sedihnya konten arus utama masyarakat  Indonesia sekarang ini terjebak pada narasi bohong, sensasi dan hoaks. Hal ini terjadi karena konten tersebutlah yang dianggap menarik dan memiliki nilai tukar yang tinggi oleh media.

“Lingkaran setan media dan masyarakat inilah yang membuat narasi negatif, hoaks dan berita bohong sulit ditanggulangi di Indonesia,” ujar Benny.

Benny mengatakan diperlukan kemampuan dari pihak yang berwenang untuk dapat memberikan kontra narasi yang singkat, jelas, menarik dan berisi nilai-nilai positif. Sehingga dapat meredam konten bernuasa negatif yang berpotensi merusak persatuan dan kesatuan bangsa.

“Publik harus dapat dipengaruhi dengan baik hingga tidak lagi terjebak pada berita hoaks, narasi bohong dan konten yang tidak pantas di alam maya. Aparat pemerintah dan pemangku kebijakan juga dapat menjalin komunikasi  dengan para penggiat media sosial agar pemerintah dan pembuat kebijakan selalu memiliki pihak penetral yang dapat  mencegah miskomunikasi dalam sosialisasi kebijakan apalagi dalam masa revolusi Industri 4.0 yang lebih berprinsip pada kecepatan penyampaian informasi adalah raja, bukan isinya,” ujarnya.

Hal tersebut rentan menyebabkan misinterpretasi dan miskomunikasi tanpa menyadari bahwa pemberi dan penerima informasi masih manusia yang mungkin sekali terjebak dalam salah pengertian.

Karenanya aparat pemerintah sebagai publik speaker dari para pengambil kebijakan harus mulai lagi menggali nilai-nilai luhur yang telah ditanamkan para pendahulu bangsa ini dengan menjadikan Pancasila sebagai dasar kehidupan bangsa, dan bukan hanya sebatas jargon dan slogan.

“Pancasila harus jadi dasar kehidupan dan berperilaku bagi bangsa Indonesia, seperti pengamalan Sila Pertama yang menegaskan bahwa Kedaulatan ada di tangan Tuhan. Karena jika kita takut akan Tuhan maka kita akan menjaga integritas sebagai pengamalan nilai nilai Ketuhanan,” ujarnya.

Pada akhirnya untuk menjadi publik speaker yang efektif kita harus memiliki logos atau ilmu berkomunikasi yang efektif, pathos yaitu memahami apa dan siapa audience kita serta memiliki ethos yaitu memiliki nilai kerja dan profesionalisme. ***