ASEAN Harus Bersiap Hadapi Kolaborasi Kejahatan Narkotika dan Terorisme

oleh -
Pudiastuti Citra Adi (tengah), saat mengisi kuliah tamu virtual yang diselenggarakan Paramadina Graduate School of Diplomacy (PGSD), Universitas Paramadina, Jakarta, Sabtu (12/6). (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Bentuk ancaman terorisme di kawasan Asia Tenggara diprediksi akan terus berkembang. Tidak menutup kemungkinan adanya kolaborasi antara organisasi kejahatan narkotika internasional dengan kelompok terorisme. Untuk itu, ASEAN diminta menyiapkan diri.

“Perkembangan kejahatan terorisme di kawasan menjadi narkoterorisme jelas tidak tertutup kemungkinan untuk terjadi,” jelas Pudiastuti Citra Adi, saat mengisi kuliah tamu virtual yang diselenggarakan Paramadina Graduate School of Diplomacy (PGSD), Universitas Paramadina, Jakarta, Sabtu (12/6).

Kuliah tamu ini bertajuk ‘Dynamics of Counterterrorism in ASEAN’. Dalam kegiatan ini, Dosen PGSD yang juga merupakan ahli studi keamanan, Anton Aliabbas bertindak sebagai pembahas diskusi. Kegiatan ini turut dihadiri Direktur PGSD, Shiskha Prabawaningtyas dan Ketua Prodi S1 Hubungan Internasional, Tatok Djoko Sudiarto. Acara ini dimoderatori Benni Yusriza, dosen PGSD.

Citra yang berprofesi sebagai Jaksa di Kejaksaan Agung ini menguraikan kegiatan terorisme membutuhkan sumber pendanaan yang besar. Sementara, bisnis narkotika menghasilkan keuntungan fantastis. Terlebih, di Asia Tenggara terdapat pusat keberadaan sindikat narkoba yang berada di wilayah ‘Golden Triangle’, yakni perbatasan Laos, Myanmar, dan Thailand.

“Sekalipun belum banyak disadari, sudah semestinya kita memberi perhatian terhadap kemungkinan menguatnya sindikat narkoterorisme di kawasan,” kata Citra.

Mantan Kepala Bagian Hukum dan Humas BNPT ini menjelaskan kelompok terorisme memanfaatkan kemajuan teknologi dalam memperluas jejaringnya. Perekrutan secara terbuka berbasis website dan media sosial. Dengan kata lain, kelompok teroris menjadi kian peka terkait semakin kaburnya batas tradisional negara akibat perkembangan teknologi.

“Terorisme yang terjadi saat ini tidak ada lagi kaitannya dengan isu agama karena memang sudah banyak motif yang melatarbelakangi gerakan mereka,” ujar Citra yang pernah bertugas sebagai Jaksa Satgas Tindak Pidana Terorisme dan Tindak Pidana Lintas Negara Kejagung ini.

Selanjutnya, Anton mengatakan sifat multidimensi terorisme telah menjadikan kejahatan transnasional ini menjadi sulit ditangani. Mengingat, kelompok terorisme selalu terus berkembang seiring zaman. “Karena terorisme adalah label politik, mau tidak mau akan selalu ada tantangan bagi pemerintah termasuk juga dalam hal kerja sama regional dan internasional,” ujar Anton.

Dirinya mengingatkan kerja sama regional ‘ASEAN Our Eyes Initiatives’ (AOEI) hendaknya dapat mengantisipasi dinamika internal negara. Sebab, setiap negara mempunyai pendekatan beragam dalam mengatasi terorisme termasuk juga organisasi yang menjadi leading sector anti terorisme.

“Informasi yang akan dibagi dalam AOEI kan sifatnya rahasia, sementara itu harus dibagi juga ke negara lain. Tanpa ada perbaikan dan atensi terkait penguatan kerja sama antar aktor keamanan di dalam negara anggota ASEAN maka inisiatif ini akan banyak mengalami tantangan untuk dijalankan secara optimal,” ujar Anton.

Saat membuka kegiatan, Shiskha menjelaskan tantangan komunikasi dan koordinasi dalam kerja sama regional terkait masalah terorisme cukup tinggi. Apalagi terdapat perbedaan yurisdiksi dan kapasitas negara termasuk kapasitas internal negara.

“Membuka lebih banyak ruang komunikasi antara pemangku kepentingan dalam mengeksplorasi dan menemukan kepentingan dan prioritas bersama sudah sepatutnya menjadi perhatian bersama di ASEAN,” pungkas Shiskha. (Ryman)