Atasi Korupsi, Negara Harus Biayai Kandidat dalam Pilpres Maupun Pilkada

oleh -
Money politic. (Foto: Ilustrasi)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Corruption Perception Indeks (CPI) yang dikeluarkan Transparency International menilai Indonesia masih merah dalam indeks persepsi korupsi. Angkanya 37 dalam skala 0 sampai 100 (TII,2021), angka yang sangat rendah yang menunjukkan parahnya korupsi di Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK,2015) pernah melakukan riset, ditemukan data bahwa sejumlah 61,17 % kasus korupsi dilakukan oleh politikus.

Kasus yang masih hangat menjadi sorotan terkait tindak pidana korupsi adalah KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah.

Melihat fenomena korupsi di Indonesia Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang juga seorang budayawan Antonius Benny Susetyo ikut memberikan tanggapannya. Dirinya menjelaskan untuk menghentikan korupsi marak terjadi harus kembali ke demokrasi Pancasila.

“Jika kita ingin menghentikan korupsi harus mengubah sistem kembali kepada demokrasi Pancasila yang efesien dan mengurangi money politik,” jelas Benny seperti dikutip dari siaran pers, di Jakarta, Senin (1/3).

Selain itu, Benny menjelaskan hal lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi korupsi adalah merevisi undang-undang tentang Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang mana negara seharusnya membiayai proses calon kandidat dalam Pilpres dan Pilkada.

“Revisi UU Pilpres dan Pilkada untuk pembiayaan oleh negara dalam proses calon kandidat. Selain itu partai harus ada proses kaderisasi dan  jangan ada calo,” jelasnya.

Dalam sanksi terhadap koruptor, Benny dengan tegas mengatakan harus ada pemiskinan dan sanksi sosial terhadap para koruptor.

“Hukuman agar jera bagi koruptor adalah pemiskinan dan sanksi sosial harus diadakan untuk mengatasi masalah korupsi ini,” ujarnya.

Benny menambahkan korupsi hanya bisa dicegah adanya perubahan prilaku dari pengambil kebijakannya dan masyarakat. Hidup jujur adalah yang paling utama dan integritas. Penanam kejujuran dan integritas ini kurang dilakukan.

“Kejujuran itu sangat langka. Pada dasarnya manusia itu mekanisme sehingga harus percaya pada sistem bagaimana sistem tersebut menjaga seseorang. Oleh karena itu harus menciptakan sistem dan pengawasan,” jelas Benny.

Hal lain disampaikan oleh Koordinator Tim Pembela Demokrasi, Petrus Selestinus. Dirinya mengatakan bahwa pola korupsi di Indonesia itu saling melindungi.

“Secara umum saya melihat pola korupsi di Indonesia itu saling melindungi baik eksekutif atau legislatif,” ujarnya.

Petrus menjelaskan sinergitas antara Polri, Kejaksaan, dan KPK dirasa kurang berjalan dengan baik.

“Sinergintas antara Polri, Kejaksaan, dan KPK tidak berjalan dengan lancar. KPK seolah berjalan sendiri dengan kewenangannya yang begitu besar,” pungkasnya. (Ryman)