Berpotensi Disalahgunakan, WNA yang Miliki KTP-El Tetap Harus Dibedakan dari WNI

oleh -
Warga Negara Asing yang memiliki izin tetap tinggal diwajibkan memiliki KTP-Elektronik. (Foto: Ilustrasi)

Jakarta, JENDELANASIONAL.COM — Soal KTP-el WNA masuk DPT Pemilu 2019 menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Walau memang secara yuridis WNA yang sudah memiliki tempat tinggal tetap, diatur oleh beberapa instrumen hukum, salah satunya Pasal 63 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan menyebutkan, “Penduduk warga negara Indonesia dan orang asing yang memiliki izin tinggal tetap yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki e-KTP”.

Namun demikian mereka tetap tidak memiliki hak politik, khususnya hak pilih dan memilih dalam pemilu.

Peneliti 7 (Seven) Strategic Studies, Girindra Sandino kepada pers di Jakarta, Kamis (28/2/2019) mengatakan bahwa masuknya WNA dalam DPT jangan dianggap sesuatu yang sepele atau kasuistik. Tetap saja ini merupakan kewajiban penyelenggara mengkoreksi kembali DPT yang sudah ditetapkan.

“Jangan sampai kejadian Pemilu 2014 terjadi kembali, dimana DPT sudah ditetapkan, logistik surat suara sudah didistribusi, namun karena ada kesalahan administrasi jumlah DPT kembali mengalami perbaikan, sehingga dengan perbaikan tersebut jumlah DPT berkurang, maka yang terjadi di lapangan adalah kelebihan surat suara. Ini membuka potensi atau celah kecurangan (Electoral fraud) secara administrasi,” ujarnya.

“Saya kira tetap harus ada yang dibedakan dari WNA yang berhak punya KTP-el,” tambah Girindra.

Isu ini ramai karena memang dikhawatirkan WNA tersebut dapat dimobilisasi untuk dapat memilih. Memang mereka tidak mendapat hak pilih. Akan tetapi bagaimana dengan petugas atau jajaran penyelenggara di bawah seperti KPPS untuk bisa membedakan KTP WNA dan WNI? Maka kekhawatirannya adalah adanya mobilisasi pemilih WNA, yang mungkin kita tidak tahu jumlahnya, tidak tertutup kemungkinan ditakutkan jumlahnya banyak, sehingga signifikan dalam hal menentukan jumlah suara caleg atau capres tertentu.

“Tetap harus dibedakan WNA dan WNI, walau alasannya yuridis dan kemanusiaan,” ujarnya.

Khususnya menjelang pemilu, kata Girindra, KPU dan jajarannya harus melakukan supervisi dan koreksi terhadap DPT. Pun jajaran Bawaslu di bawah yang melakukan pengawasan melekat (Waskat) harus profesional, agar tidak terjadi kecolongan.

“Ini bukan soal rasisme, tapi dalam pemilu instrumen yang paling mendasar adalah DPT, juga tertib administrasi kependudukan dan menentukan kualitas pemilu 2019, sehingga dapat memenuhi standar pemilu demokratik. Khawatir ke depan ada WNA ikut memilih dan menjadi gugatan serius di Mahkamah Konstiutsi,” ujar Wakil Ketua KIPP Indonesia ini.

Alumnus FISIP UI ini mengatakan, dalam sisa waktu menuju  pemungutan suara yang sangat singkat, masyarakat berharap agar KPU lebih fokus dalam menjalankan tugas sebagai penyelenggara Pemilu. “KPU diharapkan untuk tidak menyia-nyiakan  waktu dengan  memproduksi gagasan-gagasan di luar ketentuan hukum,” pungkasnya. (Ryman)