Bisa Jerumuskan Umat Jadi Intoleran, LPOI Himbau Agar Hati-hati Memilih Guru Agama

oleh -
Sekretaris Jenderal Lembaga Persahabatan Ormas Islam (Sekjen LPOI), H. Denny Sanusi, BA. (Foto: Humas PMD BNPT)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Mungkin kita tidak asing dengan istilah fanatik atau fanatisme. Fanatisme supporter sepak bola, fanatisme agama, fanatisme tokoh tertentu dan masih banyak lagi. Indonesia akhir-akhir ini dihadapkan pada fenomena adanya fanatisme berlebihan terhadap agama yang cenderung mengarah pada tindakan ekstrem, intoleransi, radikalisme hingga teror.

Fanatisme ini yang kemudian menjadi penyakit dan musuh agama. Bahkan dalam konteks bernegara, radikalisme menjadi musuh yang bisa menghantarkan sikap yang merugikan masyarakat dan negara.

Sekretaris Jenderal Lembaga Persahabatan Ormas Islam (Sekjen LPOI), H. Denny Sanusi, BA, menyoroti fenomena fanatisme ekstrem dalam beragama sebagai hal yang memprihatinkan.

Menurutnya fanatisme ekstrem yang demikian justru hanya membawa kemudaratan bagi umat, karena dapat memicu timbulnya sikap merasa paling benar, ingin menang sendiri bahkan prasangka-prasangka buruk antar masyarakat dan umat beragama.

“Fanatik kepada agama pada dasarnya fine saja. Memang kita harus fanatik dengan cermat, karena  ketika fanatik itu mulai menyalahkan orang lain yang berbeda agama atau keyakinan dan mulai berlaku ekstrem, itu yang tidak boleh,” ujar Denny Sanusi seperti dikutip dari siaran pers Pusat Media Damai (PMD) BNPT, di Jakarta, Jumat (24/9/2021).

Lebih lanjut dia juga menyoroti maraknya institusi pendidikan bahkan rumah ibadah yang kini mulai menunjukkan gerak-gerik adanya praktik intoleransi di dalamnya. Yang dikhawatirkan hal tersebut justru akan semakin memperburuk keadaan masyarakat yang kini mulai terpecah-belah.

“Saya mendapati dari penelitian, bahwa beberapa institusi pendidikan bahkan rumah ibadah sudah tidak lagi menjalankan rukun dakwah sebagaimana mestinya. Rukun dakwah itu sudah tidak dipakai lagi,” ucap pria yang pernah manjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (DPP PITI) ini.

Apalagi, saat ini ia melihat banyaknya masyarakat yang terjerumus pada radikalisme yang diakibatkan oleh keliru dalam memilih majelis dan guru-guru agama. Sehingga ia mengingatkan kepada masyarakat untuk senantiasa cermat dalam memilih baik intistusi pendidikan, majelis dan ulama.

“LPOI terus mengimbau untuk hati-hati karena jangan sampai kita salah guru yang akhirnya menjerusmuskan kita menjadi intoleran, harus cermat dan teliti jangan sampai terlanjur terjebak nantinya,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa masyarakat harus tahu akar, silsilah bahkan historis dari ‘tempat belajar’ kita. Sikap cermat dan teliti dalam memilih tersebut niscaya akan menghindarkan anak-anak kita dari doktrin radikal dan intoleransi.

“Sebenarnya ada faktor utama yang menyebabkan seseorang mudah terjerumus dalam radikal dan intoleransi yaitu rendahnya wawasan atau kebodohan,” ucap pria yang juga menjabat sebagai Sekjen Lembaga Persahabatan Ormas Keagamaan (LPOK) ini.

Lanjutnya, kurangnya wawasan akan membuat seseorang mudah sekali didoktrinasi, sebagaimana ia mempercayai bahwa kebodohan adalah pangkal dari segala sesuatu yang negatif. Maka dari itu disinilah peran ormas agama untuk ikut membantu memberi pemahaman agar masyarakat tidak mudah dijerumuskan.

“Saya merasa sangat penting sekali dengan ormas keagamaan bisa bermitra dengan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), karena ormas ini dapat memberikan pengertian bagaimana cara beragama yang baik, inilah fungsi ormas  untuk bisa menyentuh hingga ke bawah,” ungkap Pendiri Yayasan Pembinaan Muallaf AMOI ( Aku Menjadi Orang Islam) ini.

Dikatakan Denny, LPOI dan LPOK sebagai Lembaga yang bermitra dengan BNPT juga ikut berupaya dalam manangani fenomena radikalisme dan intoleransi salah satunya melalui Memorandum of Understanding (MoU) dengan beberapa stakeholder dalam hal pemberdayaan mantan napiter (narapidana terorisme) yang baru bebas. Dimana salah satunya  dengan program pelatihan, pemberian modal usaha dan pembekalan- pembekalan pada tahap reintegrasi sosial.

“Bahwasanya radikalisme ada pekerjaan rumah yang harus diberikan solusi pemecahannya, dan hal ini harus mendapat perhatian serius baik dari pemerintah dengan mengerahkan seluruh lapisan masyarakat termasuk ormas,” ujar pria kelahiran Jakarta, 21 Nopember 1962 ini.

Untuk itu Denny juga berpesan kepada pemerintah khususnya untuk terus meningkatkan perannya melalui program-program yang berkualitas dan berkelanjutan untuk menunjukkan keseriusan pemerintah untuk mencegah fenomena radikalisme dan intoleran ini berlarut-larut dan kian membesar nantinya.

”Langkah pemerintah saat ini dengan menggandeng tokoh agama dan tokoh masyarakat sangatlah tepat. Namun memang hal ini perlu untuk terus ditingkatkan misalnya dengan memberikan penguatan wawasan para tokoh-tokoh agama dan masyarakat, sosialisasi yang gencar menyasar hingga kebawah serta pembuatan kurikulum,” pungkasnya. ***