Buka Ruang Ketidakpastian Hukum, KPU dan Bawaslu Tidak Boleh Tolak Putusan DKPP

oleh -
Jeiiry Sumampow, TEPI Indonesia. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) harus menjadi tanggung jawab KPU dan Bawaslu. Itulah substansi kehadiran KPU dan Bawaslu sebagai ex-officio di DKPP. Tanggung jawab ini tidak semata-mata untuk menindaklanjuti sebuah putusan, tapi juga bertanggung jawab terhadap substansi putusan.

Dalam kerangka ini maka KPU dan Bawaslu tidak boleh berupaya secara aktif untuk menegasikan putusan DKPP dan apalagi menolaknya.

“Meski secara teknis sering mereka tak ikutan dalam sidang terkait kasus anggota mereka sendiri, itu tak boleh membuat kedua lembaga ini mengambil posisi tak mau ikut bertanggung jawab dengan putusan itu. Hal ini penting untuk ditegaskan melihat dinamika yang tak sehat dan tak baik dalam beberapa kasus terakhir, terkait putusan DKPP,” ujar Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampow dalam diskusi di Jakarta, Minggu (18/7).

Seperti diketahui, Gerakan untuk Indonesia Adil dan Demokratis (GIAD) menggelar diskusi di Jakarta pada Minggu, kemarin. Diskusi bertema “DKPP di Ujung Tanduk” itu menyikapi upaya para pihak untuk mendelegitimasi putusan DKPP dengan berbagai cara.

“Tidak adanya mekanisme untuk mempersoalkan putusan DKPP, jika dirasa tak adil sebab adanya norma ‘final dan mengikat’, sebagaimana diatur UU Pemilu No.7/2017, saya kira kurang tepat jika dipersoalkan saat ini. Sebab UU Pemilu No.7/2017 tegas mengatakan bahwa putusan DKPP ‘final & mengikat’. Dan itu sudah diperkuat oleh MK dengan mengatakan bahwa sifat final & mengikat dalam putusan DKPP bagi Presiden, KPU & Bawaslu. Sudah cukup jelas mestinya,” ujar Jeirry melalui siaran pers.

Karena itu, kata Jeirry, meski secara hukum bisa saja dilakukan, namun secara etis kurang baik mempersoalkan sebuah norma yang sudah dipahami selama ini setelah yang bersangkutan mendapatkan sangsi.

“Mengapa tak dipersoalkan dan digugat ke MK sejak awal ketika UU itu dibuat? Sebab yang sekarang terjadi sudah masuk kategori merusak sistem yang ada dan membuka ruang ketidakpastian hukum,” ujarnya.

PKPU No.4/2021 yang dikeluarkan KPU tertanggal 8 Juli 2021 pasal 130A, kata Jeirry, jelas bertentangan dengan UU Pemilu No.7/2021, khusus terkait frasa “final & mengikat”. Singkatnya, dalam pasal 130A itu KPU mau mengatakan bahwa Putusan DKPP belum final dan mengikat selama masih ada proses peradilan yang berlangsung. Dan putusan peradilan bisa saja membuat KPU tak wajib menindaklanjuti Putusan DKPP terkait sangsi bagi anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota.

PKPU itu, kata Jeiryy, merupakan wujud bahwa KPU seolah mau lepas tanggung jawab terhadap Putusan DKPP dan dengan sendirinya menegasikan substansi putusan DKPP dan eksistensi kelembagaan DKPP. “Jelas ini situasi yang nggak sehat, karena itu harus dihentikan,” katanya.

KPU merupakan lembaga utama pembuat peraturan turunan UU Pemilu. Karena itu pula, akan repot ke depan jika KPU dengan sengaja membuat PKPU yang bertentangan dengan UU Pemilu.

DKPP memang bukan lembaga yang sempurna dan mungkin juga banyak kekurangannya. Tapi masukan dan perbaikan perlu untuk dilakukan dan disampaikan secara objektif kepada DKPP.

“Tapi selama posisinya masih seperti sekarang, saya kira harus kita hargai dan hormati. Meskipun banyak putusan yang tak mengenakkan dan tak bisa kita terima. Kalau ada kritik sebaiknya kita sampaikan secara terbuka dan proporsional. Bebas saja. Justru itu penting sebagai masukan pada pembuat UU untuk memperbaiki kelembagaan DKPP dan memperkuatnya melakukan fungsi penekan etik itu,” pungkasnya. (*)