Butuh Kekritisan Berpikir dalam Menangkal Pengaruh Radikalisme

oleh -
bedah buku “Ancaman Radikalisme Dalam Negara Pancasila”, yang merupakan bunga rampai (kumpulan tulisan dari sejumlah penulis) di ISKA Center, Jakarta, Jum`at (16/8/2019). (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Paham radikalisme di Indonesia kian tak terbendung. Jumlah orang terpapar paham ini bertambah dari waktu ke waktu dan menyasar hampir seluruh lapisan masyarakat. Masifnya pengaruh dan ruang gerak paham ini di Indonesia mengakibatkan nilai-nilai Pancasila kian terpinggirkan dalam praktik kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.

Hal ini menjadi ancaman serius bagi perjalanan bangsa ini yang oleh founding father telah meletakan Pancasila sebagai fondasi dasar berbangsa dan bernegara dalam menyatukan realitas perbedaan bangsa ini yakni perbedaan suku, agama, ras dan golongan.

Menyikapi situasi ini, Presidium Pusat ISKA merasa terpanggil untuk menyelenggarakan bedah buku “Ancaman Radikalisme Dalam Negara Pancasila”, yang merupakan bunga rampai (kumpulan tulisan dari sejumlah penulis) di ISKA Center, Jakarta, Jum`at (16/8/2019).

Hadir dalam acara ini sebagai pembahas di antaranya Ketua Perkumpulan Profesional Katolik Sumber Daya Rasuli (SUDARA), A.M. Lilik Agung, Anggota Departemen Pertahanan dan Keamanan Pimpinan Pusat ISKA, Siprianus Edi Hardum, Pengajar Kajian Strategik dan Global Universitas Indonesia (UI), Puspitasari.

Lilik mengatakan elit politik perlu menerapkan Pancasila antara lain tidak membiarkan ucapan atau kotbah tokoh-tokoh agama yang cendrung merendahkan Pancasila dan agama orang lain serta meniadakan keberagaman suku adat istiadat di Nusantara yang menjadi kekuatan Indonesia. Sehingga, para elit tidak terkesan justru membiarkan dan mengafirmasi apa yang dikatakan oleh para tokoh dan pemuka agama itu.

Menurut Lilik, para pegiat radikalisme di Indonesia sangat gencar dan terus menerus menyebarkan pahamnya untuk menyasar target yang dikehendaki. Oleh karenanya, demikian Lilik melanjutkan, Pancasila juga harus gencar dan terus menerus diajarkan kepada anak-anak sejak dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.

Lebih jauh, Lilik berharap agar di zaman milenial ini akan bermunculan para tokoh-tokoh muda Katolik yang menjadi agen perubahan seperti yang dibuktikan pada tahun 1998. Lilik yakin, sekarang ini pun sebenarnya sangat bisa. Karena pada intinya kita punya musuh bersama yakni radikalisme.

Sementara itu, Siprianus Edi Hardum, salah satu penulis buku bunga Rampai “Ancaman Radikalisme di Negara Pancasila” menjelaskan akar dari terorisme adalah radikalisme agama. Radikalisme agama di Indonesia jelasnya, memiliki tujuan politik yakni mendirikan negara Islam dengan sistem pemerintahan khilafah.

Edi menambahkan, gerakan ini pelan namun masif dan sistematis. Merambat mulai dari keluarga, pendidikan formal maupun nonformal mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Bahkan institusi pertahanan pemerintah seperti TNI dan Polri hingga BUMN.

Lebih jauh, Anggota Departemen Pertahanan dan Keamanan Pimpinan Pusat ISKA ini menjelaskan bahwa radikalisme lahir dari Pancasila yang tidak mampu memenuhi cita-citanya yakni gagal memberikan kesejahteraan menyeluruh bagi seluruh rakyat Indonesia.

“Ideologi Pancasila itu sendiri, oleh pejuang khilafah menilai belum final, korupsi yang merajalela serta peredaran narkoba yang masif. Semua ini menyebabkan kesenjangan yang cukup signifikan di masyarakat,” jelas Alumnus UGM ini.

Menurut Edi, para pejuang khilafah atau mereka-mereka yang mempersoalkan Pancasila, menjadikan korupsi dan peredaran narkoba sebagai alasan untuk menolak Pancasila sebagai ideologi yang cocok untuk bangsa ini.

Sementara itu, menurut Puspitari, saat ini, kondisi bangsa Indonesia sangat mengkwatirkan, di mana ideologi Pancasila mulai digeser jauh dengan paham radikalisme yang sudah merambat masuk dalam instansi pemerintah seperti TNI dan Polri serta BUMN. Semua ini lanjut Puspitasari, sengaja dibiarkan oleh Pemerintah. Contohnya video yang diunggah oleh pendakwah Youtube, Ustad Somad yang sengaja melecehkan Salib dengan nada-nada sinis dan penuh ejekan.

Puspitasari menambahkan bahwa perlu kekritisan berpikir (kesadaran publik) dalam menangkal pengaruhnya. Kita lihat, lanjut Pengajar Ketahanan dan Strategik UI ini, Pancasila semakin tidak punya ruang karena kesadaran publik digiring masuk dalam kerangka berpikir binary code yakni kerangka berpikir berbasis polarisasi baik-buruk, siang-malam.

“Contohnya, mana menurutmu yang lebih baik: Pancasila atau Al`Qur`an? Negara Islam atau Negara Pancasila?” jelas Puspitasari.

Oleh karena itu, pertanyaan-pertanyaan seperti itu perlu diperdebatkan dengan argumen-argumen serta data-data yang relevan. Bentuk lain kekritisan, lanjut dosen di Sekolah Tinggi Ketahanan ini, yakni berupa memposting kegusaran, kecemasan kita di media sosial terkait isu yang dihembuskan.

“Kita harus menyuarakan kegusaran, kecemasan, ketakutan kita di sosial media kita masing-masing. Contohnya video Ustad Somad yang menghina Salib, yang bagi umat Kristen salib dilihat sebagai simbol yang sangat sakral,” ujarnya.

Diskusi ini diikuti oleh Ketua Presidium Pusat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) periode 2017 – 2021, Hargo Mandirahardjo, anggota DPP ISKA, dan para undangan. (Rikardo)