Butuh Pahlawan Baru untuk Melawan Penjajahan Politik Identitas

oleh -
Plt Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Haryono. (Foto: CNNIndonesia)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Akhir-akhir ini ruang publik semakin banyak dipenuhi dengan permainan politik identitas yang mengumbar kebanggaan primordial. Lambat tapi pasti suasana ini membawa sesuatu yang tidak produktif dalam pergaulan bermasyarakat dan bernegara. Dalam konteks inilah, bangsa ini butuh sosok pahlawan-pahlawan baru yang melawan kerasnya penjajahan politik identitas yang dapat merusak perdamaian bangsa.

Penguatan pemahaman Pancasila sebagai ideologi bangsa menjadi solusi dalam menghadirkan pahlawan perdamaian. Dengan Pancasila, beragam perbedaan bangsa bisa melebur menjadi satu kekuatan.

“Karena itu Pancasila harus terus disosialisasikan dan ditanamkan sebagai ideologi bangsa,” ujar Plt Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Haryono di Jakarta, Selasa (5/11/2019).

Ia menegaskan, ideologi itu bukanlah warisan biologis. Ideologi adalah warisan kultural yag harus dirawat, dibina dan disosialisasikan secara terus menerus. Pasalnya, tidak ada jaminan bila ada orang tua yang anti Pancasila lalu anaknya juga anti Pancasila.

“Dengan proses edukasi dan sosialisasi kita bisa mengubah semua itu,” kata Hariyono.

Karena itu, lanjutnya, Pancasila sangat ideal sebagai bekal dan inspirasi, terutama dalam membangun generasi bangsa menjadi pahlawan-pahlawan baru, terutama dalam menghadapi berbagai ancaman seperti intoleransi, radikalisme dan terorisme.

Menurutnya, radikalisme dan terorisme berkembang karena pengaruh ideologi kekerasan yang menyebar begitu masif. Baik anak muda sampai orang tua bisa terpapar. Pancasila sebagai ideologi negara bisa hadir sebagai penetralisir terhadap ideologi-ideologi yang membahayakan tersebut.

“Indonesia lahir dari bangsa yang terjajah mental inlander menjadi bangsa yang merdeka, bangsa yang berpikir merdeka. Sedangkan terorisme itu sebenarnya bagian dari orang-orang yang tidak merdeka dalam berpikir. Seperti yang kita lihat di Suriah, di Irak, peradaban-peradaban besar manusia hancur karena pikiran yang tidak merdeka sehingga mereka saling meneror,” ujar Hariyono.

Untuk mengatasi masalah itu, kerjasama antar lembaga perlu terus diperkuat dan lebih komprehensif. Seperti antara BPIP dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang telah melakukan Memorandum of Outstanding (MoU), Jumat (1/11/2019).

“BPIP memiliki Pusat Studi Pancasila (PSP) di kampus-kampus dan BNPT memiliki Forum Koordinasi Penanggulangan Terorisme (FKPT) di daerah-daerah. Saya harap kedepan PSP dan FKPT ini bisa saling bersinergi menanggulangi masalah ini,” ungkap Hariyono.

Dia berharap kerjasama BNPT-BPIP bisa untuk memasok materi bagi para pengajar Pancasila dan pahlawan perdamaian untuk memberikan pemahaman kepada siswa, mahasiswa, dan masyarakat.

“Dengan adanya materi terkait radikalisme bisa dijadikan bahan materi dan diskusi oleh para pengajar Pancasila untuk menyadarkan mahasiswa dan muridnya bahwa ancaman itu sudah ada di sekitar kita. Dan untuk melawannya tentu harus dengan merubah cara pandang dan pola pikir kita,” tutur Hariyono

Hariyono menyampaikan bahwa era globalisasi sekarang ini harus kita terima dengan terbuka tetapi tetap dengan penuh kewaspadaan dan kehati-hatian. Karena Para Pahlawan dan pendiri bangsa telah memberi contoh bagaimana menghadapi globalisasi dahulu kala.

“Kita tidak boleh menyesali era globalisasi, karena nasionalisme kita bukanlah nasionalisme yang sempit ataupun nasionalis yang chauvinis. Tetapi nasionalisme kita adalah nasionalisme yang bisa hidup di taman sari internasionalisme. Karena seperti apa yang disampaikan Bung Hatta, kita harus bergaul dengan dunia luar. Tetapi dalam bergaul dengan dunia luar diperlukan kewaspadaan dan kecerdasan. Karena itu globalisasi dan perkembangan teknologi informasi tidak perlu kita takuti,” ungkap Hariyono. (Ryman)