Catatan Terhadap Proses dan Hasil Pembahasan UU Pemilu

oleh -
Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). (Foto: Ist)

Oleh: Titi Anggraini*)

PEMBAHASAN UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum adalah salah satu pembahasan UU yang paling menyita perhatian publik paling tidak selama 1 tahun lebih. Sejak mulai diserahkan oleh Presiden kepada DPR untuk dibahas pada 20 Oktober 2016, perdebatan panjang sudah mulai mewarnai pembahasan UU Pemilu ini.

Dalam proses awal pembahasan UU Pemilu, Panitia Khusus (Pansus) UU Pemilu mengundang banyak pihak untuk didengar masukan dan tanggapannya terhadap RUU Pemilu yang diserahkan oleh pemerintah kala itu. Banyak kelompok yang diundang. Hal ini tentu bisa diapresiasi dalam proses awal. Namun, proses selanjutnya, dalam mengambil beberapa keputusan penting, seperti penambahan kursi DPR, alokasi penambahan kursi DPR, alasan perubahan jumlah penyelenggara pemilu, pilihan sistem pemilu, justru tidak hadir di tengah publik. Pengambilan keputusan dan polarisasi isu krusial pemilu justru lebih banyak dari dalam ruang rapat tertutup, atau proses kesepakatan lobi politik tertutup.

Terhadap empat pengelompokan besar sebuah penyelenggaraan pemilu, sistem pemilu, aktor pemilu, manajemen pemilu, dan penegakan hukum pemilu, terdapat beberapa catatan penting yang harus diberikan kepada UU Pemilu kali ini. Sistem pemilu misalnya,  model pemilu serentak saat ini, tanpa penataan jadwal pemilu yang rasional, hanya akan menghasilkan pemilih yang semakin bingung, dan penguatan sistem presidensial dari pemerintahan hasil pemilu sulit untuk bisa didapat. Belum lagi pilihan sistem pencalonan presiden yang disepakati masih menggunakan ambang batas pencalonan presiden. Sesuatu yang sangat potensial bertentangan dengan konstitusi, bahkan bisa dikatakan tak rasional ketika mengambil hasil Pemilu Legislatif 2014 sebagai prasyarat pencalonan presiden.

Termasuk juga di dalam bagian aktor pemilu. Untuk penyelenggara, reformulasi jumlah penyelenggara, baik KPU dan Bawaslu, sepertinya tak didahului dengan kajian yang mendalam, terkait dengan beban tugas, fungsi, dan kewenangan yang dihadapi oleh penyelenggara pemilu selama ini. Akhirnya, beragamnya jumlah anggota KPU dan Bawaslu, ada yang lima ada yang tiga, justru menyisakan pekerjaan rumah kepada penyelenggara untuk menyesuaikan diri lagi, padahal tahapan pelaksanaan pemilu sudah berjalan dan bersamaan juga dengan tahapan Pilkada 2018. Sebuah tantangan yang tidak mudah tentunya.

Masih terkait penyelenggara, masih adanya kewajiban untuk melakukan konsultasi dalam menyusun Peraturan KPU dan Bawaslu dalam forum Rapat Dengar Pendapat (RDP) telah nyata menghambat pengesahan Peraturan KPU dan Bawaslu. Khusus Peraturan Bawaslu misalnya, menjadi terlambat untuk disahkan karena menunggu sangat lama jadwal untuk melaksanakan konsultasi dengan Komisi II DPR dan Pemerintah. Seharusnya, proses konsultasi tidak mesti diwajibkan dilaksanakan dalam forum RDP, toh kapanpun Komisi II DPR dapat mengundang KPU dan Bawaslu dalam menjalankan fungsi pengawasan.

Terkait dengan manajemen pelaksanaan pemilu juga terlihat beberapa kebijakan di dalam pembuatan UU yang terasa kontraproduktif dengan tantangan pelaksanaan pemilu serentak. Salah satunya, jumlah Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dikurangi dari lima orang menjadi tiga orang. Padahal, tantangan yang akan dihadapi bertambah berat, karena terdapat satu jenis surat suara lagi yang akan dihitiung bersamaan dengan pemilihan DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, yakni kertas suara pemilihan presiden.

Dalam konteks isu penegakan hukum pemilu, terdapat beberapa bagian perbaikan, paling tidak adanya keterangan yang jauh lebih jelas terhadap pelanggaran administrasi pemilu, berikut dengan jenis sanksinya. Sesuatu yang tidak ditemukan di dalam dua UU Pemilu sebelumnya. Selain itu, juga sudah ada ditemukan sanksi diskualifikasi terhadap peserta pemilu yang melakukan pelanggaran berat, tanpa mesti menunggu proses pidananya berjalan. Ini patut diapresiasi. Tetapi, dalam konteks lain, dalam proses penanganan pelanggaran pidana pemilu, sanksi pidana pemilu, hampir tidak ada yang diperbaiki, jika dibandingkan dengan UU Pemilu yang lama. Termasuk juga soal isu sengketa proses pemilu, UU No. 7 Tahun 2017 justru memberikan ruang yang begitu luas kepada pengawas pemilu tingkat kabupaten/kota dalam menyelesaikan sengketa proses pemilu. Sesuatu yang paling tidak dalam pelaksanaan pilkada menjadi persoalan penting dalam hal supervisi, kepastian hukum, dan tertib acara penyelesaian sengketa oleh Bawaslu RI.

Karena semakin banyak aktor dan tingkatan penyelesaian sengketa proses pemilu, akan semakin tinggi potensi disparitas putusan, berpotensi menganggu tahapan, dan mendekatkan titik konflik dengan proses penyelesaian sengketa. Sengketa hasil pemilu pun juga tidak ada yang diperbaiki. Salah satu hal kecil saja adalah waktu pengajuan permohonan 3 hari yang disebutkan sangat singkat, tidak diperbaiki dan tidak diperpanjang.

Tetapi lepas dari semua itu, langkah pembentuk UU, untuk membentuk sebuah kodifikasi hukum pemilu adalah langkah yang patut diapresiasi.

*) Penulis adalah Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)