Cegah Kemunduran Demokrasi dengan Konsensus Masyarakat Sipil

oleh -
Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menggelar diskusi tentang kemunduran demokrasi dan intervensi negara kepada civil society di Jakarta, Rabu (9/6). (Foto; Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menggelar diskusi tentang kemunduran demokrasi dan intervensi negara kepada civil society di Jakarta, Rabu (9/6).

Topik ini menarik dibahas terutama karena tren kemunduran demokrasi yang kini tengah terjadi yang diakibatkan oleh intervensi negara terhadap berbagai jenis masyarakat sipil, mulai dari sektor swasta hingga warga negara.

Hadir sebagai pembicara dalam diskusi ini yaitu Direktur Center for Media and Democracy LP3ES, Wijayanto, Direktur Corporate Affairs di Asian Agri Group, Fadhil Hasan, dan Hurriyah dari Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia. Diskusi dipandu oleh Gita N. Elsitra, Peneliti dari LP3ES.

Wijayanto mengatakan bahwa Indonesia kini menganut praktik otoriter yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Bahkan tidak juga di negara lain yang mengalami kemunduran demokrasi seperti Singapura atau Amerika. “Praktik tersebut ialah politisasi ilmu pengetahuan dan ancaman terhadap kebebasan akademik,” ujarnya.

Praktik ini, katanya, tercermin dari banyak kasus. Pertama, dari pembentukan BRIN yang meleburkan empat lembaga riset nasional seperti: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), dan Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN).

Wijayanto juga menegaskan bahwa pelajar dan mahasiswa pun memperoleh represi ketika terlibat dalam aksi demonstrasi. Hal ini ditemukan melalui banyaknya kasus mahasiswa dan pelajar yang mengalami berbagai jenis tekanan, baik secara digital maupun secara offline.

Selain itu, peneliti atau pun dosen juga dihadang oleh persyaratan birokratis yang rumit, serta pendanaan yang minim.

“Praktik otoriter yang menekan berkembangnya ilmu pengetahuan dan kebebasan akademik ini menunjukkan bagaimana seriusnya pemerintah atau dalam hal ini, elite penguasa, untuk memperlebar cakupan konsolidasinya,” katanya.

Tetapi, tidak hanya berhenti di situ. Dia mengatakan bahwa upaya tersebut juga diikuti oleh nuansa anti-science yang tercermin dari kebijakan pemerintah dan respon mereka terhadap berbagai hal, seperti Pandemi dan bencana antropogenik yang semakin marak terjadi.

 

Empat Penyebab Kemunduran Demokrasi

Fadhil Hasan mempertegas hubungan kemunduran demokrasi dengan korupsi dan dampaknya dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Ia menelaah empat penyebab dari kemunduran demokrasi yang kini terjadi di Indonesia.

Pertama, terkait dengan upaya untuk meningkatkan efektivitas pemerintah terutama di masa sulit akibat Pandemi Covid-19.  “Hal ini yang kemudian menyebabkan negara dapat berperilaku layaknya negara otoriter,” kata Fadhil.

Kedua, over-reacting agent yang dilakukan untuk merespons beberapa isu, di antaranya terhadap kasus penembakan FPI di akhir tahun 2020, kasus baliho oleh Kodam Jaya, penangkapan aktivis oleh polisi  di sosial media.  Alasan kedua ini yang pada akhirnya berpotensi membawa bangsa ini ke dalam situasi yang mendukung anarki aparat.

Ketiga, alasan kemunduran demokrasi disebabkan oleh persaingan elite deep state. Dengan kata lain, perang proxy antar-elite di lingkungan kekuasaan. Hal ini dicerminkan oleh kasus penangkapan Djoko Tjandra dan kasus belum terungkapnya pembakaran kantor Jaksa Agung.

Hal ini, katanya, berpotensi untuk memunculkan chaos (kekacauan) dalam pengambilan keputusan atas suatu kebijakan.

Keempat, terkait dengan keberlanjutan oligarki kekuasaan yang pada akhirnya mengakibatkan ketimpangan dan kemiskinan dalam suatu negara.

Untuk menjawab permasalahan yang diakibatkan oleh kemunduran demokrasi, maka konsolidasi masyarakat harus lebih konsisten dan kuat, diiringi oleh penyadaran yang berkelanjutan dari segi pemikiran.

Sementara Hurriyah menekankan bahwa situasi kemunduran demokrasi yang terjadi di Indonesia sebenarnya juga terjadi di negara lain, bahkan Amerika sekali pun.

Penyempitan yang terjadi dalam ruang sipil ini juga diikuti oleh penyempitan dalam konteks kebebasan politik, terlihat dari adanya ketimpangan dalam kesempatan berpartisipasi dan upaya melanggengkan kekuasaan oligarki.

“Untuk itu, faktor kemampuan masyarakat untuk menggunakan new media menjadi salah satu kunci atas permasalahan ini. Di sisi lain, masyarakat harus setuju pada satu konsensus, tidak terpecah-pecah, agar proses konsolidasi masyarakat sipil dapat diwujudkan,” ujarnya. (Ryman)