Dalam Keadaan Darurat, Menjaga Jiwa Jauh Lebih Tinggi Nilainya daripada Menjaga Agama

oleh -
Imam Besar Masjid Al Markas Al Islami, Makassar, Sulawesi Selatan, Dr. KH. Muammar Bakry, Lc, MA., (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Menjaga jiwa pada dasarnya merupakan bagian terpenting yang asasi atau pokok dalam syariat Islam. Menjaga jiwa ini nilainya sama halnya dengan menjaga agama, menjaga akal pikiran, harta dan juga  keturunan. Kelima hal inilah yang biasa disebut dengan maqasidh syariat atau visi misi syariah.

Imam Besar Masjid Al Markas Al Islami, Makassar, Sulawesi Selatan, Dr. KH. Muammar Bakry, Lc, MA., mengatakan dalam konteks kebijakan pemerintah dalam menerapkan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat PPKM) Darurat yang salah satunya mengatur pembatasan penggunaan rumah ibadah pada kondisi pandemi Covid-19. Langkah ini sama halnya dengan menjaga jiwa seluruh umat dari penyebaran virus tersebut.

“Dalam konsep maqasidh syariat biasa disebut dengan dharuriyat al-khams (lima hal utama keberadaan syariat), sehingga menjaga jiwa ini  kadang bisa lebih tinggi nilainya dari menjaga agama ketika dalam keadaan darurat atau khusus seperti sekarang ini,” ujar KH Muammar Bakry di Makassar, Kamis (8/7/2021)

Menurutnya, dalam pandangan syariat jika seseorang dihadapkan pada situasi genting yang dapat membahayakan jiwa atau nyawa maka perkara agama seperti shalat bisa ditinggalkan untuk menyelamatkan jiwa. Karena ketika kondisi tersebut menjadi urutan kepentingan, maka agama menjadi sekunder. Sedangkan menjaga jiwa menjadi primer atau prioritas.

“Misalnya shalat Jum’at berjamaah yang hukumnya wajib, itu kemudian boleh ditinggalkan apabila dikhawatirkan ketika kita keluar berada di kerumunan tidak ada jaminan terbebas dari virus Covid-19, maka seseorang boleh meninggalkan hal yang wajib tersebut,” terang Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar ini seperti dikutip dari siaran pers Pusat Media Damai (PMD) BNPT di Jakarta.

Lebih lanjut kiai yang juga Dosen Fiqih di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar ini mengatakan,  kewajiban umat untuk menjaga jiwa ini adalah bagian dari syariat Islam. Dan hal ini harus dijelaskan dengan baik agar masyarakat tercerahkan pemikirannya sehingga tidak muncul mispersepsi di tengah masyarakat yang beragam dalam kondisi seperti sekarang ini.

“Selain itu juga harus diperkuat dengan pandangan ulama dan juga dalil-dalil, baik itu ayat maupun hadis supaya masyarakat memahami betul kalau keputusan pemerintah dalam menerapkan PPKM darurat ini bukan hanya kepentingan politis, namun kebijakan tersebut juga mengandung perintah agama untuk menyelamatkan jiwa,” ujarnya.

Muammar juga mengingatkan peran aktif dari para tokoh agama yang dinilanya sangat penting. Menurutnya, dengan adanya peran para tokoh agama, diharapkan imbauan pemerintah mengenai pembatasan ibadah di masjid dan tempat ibadah lainnya bisa dipahami dengan baik oleh masyarakat agar terhidar dari penyebaran wabah Covid-19.

”Kalau sudah ada imbauan dari para tokoh agama, maka kami juga berharap kepada seluruh lapisan masyarakat hendaknya patuh dan taat pada ulama, tokoh agamanya dan umara’ yang senantiasa telah mendahulukan dan memikirkan kemaslahatan umat ini,” tuturnya.

Terlebih menurut kiai kelahiran Makassar, 22 November 1973 ini,  dalam kondisi genting pandemi Covid-19 yang melanda berbagai daerah di Indonesia bahkan di seluruh dunia, seharusnya ulama, umat dan umara justru harus saling membantu untuk mengatasi situasi pandemi ini.

“Kita selaku umat Islam, tentu harus merujuk pada fatwa ulama disamping itu sebagai warga Indonesia kita juga harus taat pada ulil amri (pemerintah) sebagaimana perintah di dalam agama, sehingga kita bisa berdosa jika tidak taat pada keduanya.” pungkasnya. (Ryman)