Dekan Fakultas Hukum: Perpu KPK dan Impeachment Dua Hal Berbeda

oleh -
Dekan Fakultas Hukum Unpar yang juga Presidium Bidang Hukum ISKA, Liona Nanang Supriatna. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Saat ini muncul polemik terhadap perlu tidaknya Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perppu KPK. Hal ini sehubungan dengan desakan sekelompok orang, termasuk mahasiswa, agar Presiden Jokowi segera mengeluarkan Perppu KPK. Sementara itu, muncul pula pendapat dari para politisi, bahwa Presiden Jokowi tidak perlu mengeluarkan Perppu. Karena jika Perppu dikeluarkan maka Presiden Jokowi dihadapkan pada kemungkinan di-impeach.

Dekan Fakutas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Dr. iur. Liona Nanang Supriatna, S.H., M.Hum., mengatakan, Presiden Jokowi tidak boleh tunduk pada keinginan Partai. “Presiden Jokowi jangan takut di-impeachment,” ujarnya melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Selasa (8/10).

Liona menilai RUU KPK yang diajukan DPR justru tidak konsisten dengan pencegahan dan pemberantasan korupsi yang sudah menjadi endemik di Indonesia. Dikatakannya, Presiden berencana mengeluarkan Perppu KPK namun hal ini dikuatirkan mendapat ancaman dari DPR yang akan melakukan impeachment. Menurut Liona, Perpu KPK dan impeachment merupakan dua hal yang berbeda.

Pertama, jika kita mengacu pada Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, pengertian kegentingan yang memaksa tidak dimaknai sebatas hanya adanya keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945. Dan juga berdasarkan Pasal 22 ayat 1 UUD NRI 1945 keadaan bahaya bukanlah unsur tunggal penyebab lahirnya kegentingan yang memaksa.

Menurut Liona yang juga Pengurus Pusat ISKA itu, berdasarkan Putusan MK, kewenangan pembuatan Perppu adalah hak prerogatif Presiden, yakni hak istimewa yang dimiliki oleh Presiden tanpa meminta persetujuan lembaga lain. Artinya tergantung kepada penilaian subjektif Presiden.

Namun demikian, Alumnus Lemhannas RI Angkatan 58 ini mengatakan, dalam putusan MK itu dapat disimpulkan bahwa tidak berarti secara absolut tergantung kepada penilaian subjektif Presiden. Melainkan harus didasarkan kepada keadaan yang objektif, yakni jika Presiden menilai dalam situasi tertentu dibutuhkan adanya peraturan yang sangat mendesak untuk menyelesaikan persoalan kenegaraan yang dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.

“Hak Presiden untuk menetapkan Perppu sebagai upaya untuk menyelesaikan persoalan bangsa dan negara, persoalan korupsi inilah yang dimaksud persoalan bangsa dan negara yang mendesak,” ujar Liona.

Kedua, Presiden Jokowi tidak perlu takut di-impeachment oleh DPR, karena UUD NRI 1945 secara tegas mengatur tentang Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Liona berpendapat justru Presiden Jokowi ingin menegakkan hukum sesuai dengan amanat Undang-Undang dengan mempertahankan bahkan memperkuat kewenangan penindakan yang dilakukan KPK terhadap kejahatan korupsi. Karena itu, akan tidak masuk akal jika Presidennya ingin melaksanakan amanat konstitusinya lalu justru mendapat hambatan dari DPR.

Sedangkan terkait persoalan personil KPK yang bermasalah, merupakan hal yang lain. Presiden dapat saja meminta seluruh jajaran KPK agar secara bertahap di “Lemhannas”-kan.

“Lagi pula kalau kita melaksanakan tugas dan atau amanah rakyat dengan hati yang tulus dan jujur, kenapa harus takut dengan kewenangan yang dimiliki KPK? Kenapa harus kuatir dengan penyadapan yang dilakukan KPK?” pungkasnya. (Ryman)