Dekan Parahyangan: Demi Popularitas, Kepala Daerah Sering Abai Terhadap Toleransi Beragama

oleh -
Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Dr. iur. Liona Nanang Supriatna, S.H., M.Hum. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID – Masalah hak kewargaan yang paling hakiki untuk beribadah telah dijamin konstitusi. Namun norma hukum tertinggi itu seringkali berkelindan dengan budaya politik masyarakat, terlebih etika politik para pemimpin masyarakat terutama di daerah.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Dr. iur. Liona Nanang Supriatna, S.H., M.Hum. mengatakan, seringkali sikap politik para pemimpin daerah tersebut kontraproduktif dengan penghormatan terhadap keberagaman dan toleransi antar umat beragama.

Tentu saja hal ini, kata pakar hukum dan HAM itu, sangat berpengaruh besar pada masyarakatnya, yang sebenarnya sudah semakin toleran dan plural serta ramah terhadap agama lain.

“Namun demi kepentingan politik jangka pendek para pemimpin di daerah seringkali mengabaikan bonum commune atau kebaikan bersama,” ujar Dewan Penasihat DPP ISKA dan Lawyers Social Indonesia (Lysoi) itu melalui siaran pers kepada Jendela Nasional, di Jakarta, Jumat (3/3).

Sikap dan pandangan pemimpin daerah tersebut, katanya, sangat berpengaruh pada tingkat intoleransi dan diskriminasi agama dalam masyarakat.

“Karena itu para pemimpin daerah jangan hanya memprioritaskan kebutuhan ibadah agama tertentu dan mengabaikan kebutuhan agama lain serta melulu mengedepankan popularitas, pemimpin daerah bukan milik agama tertentu namun milik semua golongan dan agama,” tegas Alumni Fachbereich Rechtswissenschaft der Justus Liebig Universität Gießen, Jerman itu.

Regulasi di daerah, menurutnya, hendaknya juga memperhatikan serta mempertimbangkan kepentingan seluruh agama, terlebih bila ada pembangunan tempat ibadah yang dibiayai oleh anggaran negara atau anggaran Provinsi.

Dia mencontohkan, baru-baru ini Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil telah meresmikan Mesjid Raya Al Jabbar dengan biaya tembus Rp1 triliun. “Tentu pembangunan tempat ibadah itu harus kita dukung. Namun Gubernur juga harus memperhatikan umat lainnya, semisal di Kabupaten Bandung Barat jumlah umat Katolik kurang lebih 4500 umat namun belum memiliki rumah ibadah, sementara itu mereka sudah mengajukan IMB dengan melewati 3 periode Bupati, tapi sampai sekarang belum terbit. Inilah perlunya pemimpin memiliki kepekaan terhadap seluruh umatnya,” alumni Lemhannas RI Angkatan 58 itu.

Dengan sikap dan tindakan pemerintah daerah terkait dengan peristiwa intoleransi serta kebijakan yang diskriminatif, baik langsung maupun tidak langsung yang berakibat pada sulitnya menjalankan ibadah agama tersebut, maka sudah saatnya pengaturan IMB tempat ibadah diambil alih seluruhnya oleh Pemerintah Pusat.

“Hal ini sangat penting karena hak untuk menjalankan ibadah sesuai agamanya adalah hak yang tidak dapat dikesampingkan, tidak dapat ditunda apalagi dilarang oleh siapapun dan dengan alasan serta keadaan apapun,” ujarnya.

President The Best Lawyers Club Indonesia (BLCI) mengatkaan, heterogenitas keagamaan penduduk Indonesia menjadi dasar penting dalam pembangunan di berbagai bidang.

“Misalnya kita bisa ambil contoh di setiap rest area tol dari Banten sampai Jawa Timur ternyata hanya ada rumah ibadah agama tertentu saja. Ini merupakan contoh betapa kita tidak ramah terhadap budaya keberagaman agama di Indonesia. Padahal, semua umat beragama memerlukan saat teduh di tempat ibadah di setiap peristirahatan dalam perjalanannya,” pungkas Liona.