Dekan UNPAR: UU KPK yang Baru Persulit Kerja Sama Internasional

oleh -
Dekan Fakultas Hukum Unpar yang juga Presidium Bidang Hukum ISKA, Liona Nanang Supriatna. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB Tentang Antikorupsi Tahun 2003 (United Nations Convention Against Corruption) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Karena itu, seharusnya undang-undang tersebut memperkuat kewenangan KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi, yang diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2019, yang merupakan Perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Namun, dalam UU baru ini justru memperlemah kewenangan KPK.

“Hal ini tentu saja akan mempersulit Indonesia melakukan kerjasama internasional dalam rangka pemberantasan korupsi,” ujar Dr.iur. Liona Nanang Supriatna, S.H., M.Hum, dalam acara Desiminasi Hasil Kegiatan Multilateral Dalam Penerapan United Nations Conventions Against Corruption di Indonesia, di Bandung, Rabu (27/11). Seminar tersebut terselenggara atas kerjasama KPK dan FISIP Universitas Parahyangan, Bandung.

Menurutnya, kejahatan korupsi adalah kejahatan transnasional dimana pelakunya bisa melarikan diri kemana saja dan uang hasil korupsi dapat disimpan atau disembunyikan dimanapun di dunia ini. Karena itu, untuk menanggulanginya membutuhkan kerjasama dengan negara-negara lain.

Ratifikasi terhadap Konvensi Anti Korupsi, kata Liona, bukanlah semata-mata tugas rutin pemerintah melainkan dilakukan dengan penuh pertimbangan yang serius atas komitmen politik luar negeri RI untuk ikut bekerja sama dengan bangsa lain mencegah dan memberantas korupsi.

“Korupsi seringkali melibatkan jumlah aset yang fantastis, sangat besar, yang bersumber pada anggaran belanja negara, sehingga sangat berpengaruh pada stabilitas negara. Oleh karena itu diperlukan kerjasama internasional untuk menanggulangi bahkan untuk saling memberikan informasi serta memberikan bantuan teknis,“ ujar Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan itu.

Alumnus Pendidikan Lemhannas RI Angkatan 58 itu mengatakan, Konvensi PBB Antikorupsi dengan tegas meminta seluruh negara agar mengawasi secara ketat transfer kekayaan yang diperoleh secara ilegal dan mengharuskan negara untuk memperkuat kerjasama internasional dalam mengembalikan asset tersebut namun dengan tetap menghormati proses hukum (due process of law) baik pidana, perdata, maupun administratif.

Konvensi menegaskan bahwa pencegahan dan pemberantasan korupsi adalah merupakan tanggung jawab seluruh negara, sehingga negara-negara harus melakukan kerjasama satu sama lainnya juga harus mendukung dan melibatkan masyarakat sipil, lembaga swadaya masyarakat, organisasi-organisasi berbasis masyarakat sehingga upaya tersebut dapat melibatkan partisipasi masyarakat serta sekaligus memiliki akses dalam memperoleh keadilan.

“Setiap negara harus menerapkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik untuk kepentingan publik berdasarkan kejujuran, tanggung jawab, persamaan di depan hukum, menjaga integritas, melakukan gerakan budaya penolakan korupsi (a culture of rejection of corrution),“ tegas Liona yang juga Pengurus Pusat ISKA.

Tujuan konvensi pada prinsipnya memuat peraturan tentang penguatan dan pemajuan upaya untuk mencegah dan memerangi korupsi agar lebih efektif dan efesien, memajukan, mempermudah dan mendukung kerjasama internasional dan bantuan teknis dalam mencegah dan memerangi korupsi termasuk pengembalian aset-aset, memajukan integritas dan akuntabilitas pengelolaan kekayaan negara dan kekayaan publik.

“Jadi Indonesia jangan sampai kehilangan muka di fora internasional atau bahkan kehilangan mitra negara-negara lain dalam pemberantasan korupsi dengan mengurangai kewenangan KPK yang dimiliki selama ini,“ pungkasnya.