Demokrasi: Kedaulatan Rakyat Atau Martabat Wakil Rakyat

oleh -
Ferlansius Pangalila, Komisioner KPU Kabupaten Tomohon, dan DPC Ikatan Sarjana Katolik (ISKA) Tomohon. (Foto: Ist)

Oleh: Ferlansius Pangalila

Belum lama ini, negara kita dihebohkan dengan UU MD3, dimana sandiwara politik menghiasi panggung demokrasi di Republik Indonesia. UU yang akhirnya diminta oleh DPR kepada presiden untuk ditetapkan (dengan cara: menandatanganinya), tetapi karena alasan yang entah apa Presiden Jokowi tidak menandatanganinya. Memang ketentuan perundang-undangan kita cukup (bukan lebih) bijak mengatur bahwa apabila Undang-Undang yang telah ditetapkan oleh DPR dalam waktu 30 hari tidak ditandatangani oleh Presiden maka Undang-Undang tersebut tetap berlaku.

Soalnya sederhana, selain kursi pimpinan lembaga wakil rakyat yang bertambah, ada masalah yang lebih substansial yang diperdebatkan, yakni “Martabat Wakil Rakyat”. Wakil rakyat bukanlah rakyat itu sendiri, hanya karena demokrasi tidak langsung, kedaulatan yang berada ditangan rakyat dimandatkan sebagian (tidak seluruhnya) kepada sekelompok orang yang disebut “wakil rakyat”.

Jabatan “wakil rakyat” ini sangat prestise dan ongkosnya sangat mahal. Prestisenya dapat dilihat pada kewenangan yang dimiliki oleh lembaga ini. Dia punya kuasa untuk menentukan sendiri jumlah kursi pimpinan dan anggota lembaganya, menentukan sendiri mekanisme kerja dan pertanggungjawabannya, bahkan menentukan sendiri biaya dan gaji atau pendapatannya masing-masing.

Dalam acara kenegaraan sampai acara yang tak ada hubungan sama sekali dengan pekerjaannya, Protokoler tetap berlaku bagi para wakil rakyat yang terhormat ini, harus ada kursi yang deretannya di depan, pokoknya dapat dilihat atau diperhatikan oleh rakyat yang diwakilinya.

Prestisenya ini sungguh luar biasa, mengapa? karena harganya mahal. Untuk menjadi wakil rakyat, negara harus mengeluarkan uang triliunan rupiah untuk menyelenggarakan pemilihan umum. Belum lagi pengeluaran pribadi yang bersangkutan untuk memperoleh suara rakyat dalam pemilu. Konon tak sedikit suara rakyat itu dijual sendiri oleh pemiliknya dengan harga yang tidak murahan kepada kandidat wakil rakyat.

Jika demikian wajarlah wakil rakyat kita ini menuntut hal-hal-hal seperti dalam UU MD3 ini, Siapapun dan Rakyat yang diwakilinya sekalipun Wajib menghormati harkat dan martabat lembaga dan bahkan harkat dan martabat orang per orang wakil rakyat ini. Lagipula menghormati dan memperlakukan wakil rakyat karena jabatan prestise ini tokh sesuai dengan norma sopan santun/adat istiadat ketimuran kita.

Lebih jauh dari itu, mengkritisi apalagi mempertanyakan kinerja wakil rakyat ini dianggap tabu dan ilegal, bisa dihukum pidana karena menghina lembaga dan wakil rakyat yang terhormat. Demonstrasi memang bukanlah demokrasi, apalagi diartikan sebagai partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, karena isinya bukan opini melainkan luapan emosi yang dirasionalisasi.

Lantas, apakah UU MD3 ini demokratis? Artinya sesuai dengan kehendak rakyat?  Mari kita lihat penerapannya di kemudian hari, akan ada berapa banyak anak negeri ini yang nantinya dikriminalisasi demi tegaknya martabat wakil rakyat? Atau barangkali akan ada banyak pula wakil rakyat yang hak imunitasnya makin tebal hingga tak tembus oleh berbagai macam pasal hukum yang bisa menjeratnya ke penjara, sekalipun itu sekaliber KPK.

Demokrasi itu Kedaulatan Rakyat. Martabat Wakil Rakyat terlihat pada Prestasinya bukan pada prestisenya apalagi pada protokoler keangkuhannya. Mari Sukseskan Pemilu Serentak 2019. Pilihlah wakil rakyat yang berprestasi dan berkomitmen kuat kepada kepentingan dan kehendak rakyat, bukan lebih mementingkan prestise apalagi protokoler. Pastikan kita di data sebagai Pemilih oleh Petugas Pemuktahiran Data Pemilih (Pantarlih) di lingkungan kita masing-masing.

Suara kita menentukan nasib Bangsa Indonesia.