Demokrasi Sehat Harus Dibangun Melalui Kecakapan Berpolitik

oleh -
Guru Besar Psikologi Politik dari Universitas Indonesia Prof Dr. Hamdi Muluk, M.Si. (Foto: Ist)

Jakarta,  JENDELANASIONAL.ID – Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang sejatinya hanya alat untuk mencapai kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih demokratis dan bermartabat. Karena itu setiap langkah dari prosesi Pilpres 2024 diharapkan tidak sampai merusak kohesi dan harmoni kebangsaan.

Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia, Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si, mengatakan bahwa tak bisa dipungkiri pesta demokrasi tidak akan pernah lepas dari politik identitas. Namun iklim demokrasi sehat, yang jauh dari narasi ujaran kebencian, hoaks, adu domba dan SARA tetap harus diwujudkan dan dijunjung oleh seluruh anak bangsa. Karena itu, dibutuhkan adanya kecakapan berpolitik.

“Setiap orang yang mau berkontestasi, harus cakap secara politik. Artinya punya kepemimpinan, mengerti isu-isu publik, bisa mengatur manajemen pemerintahan dan sebagainya. Seperti sesuatu yang rasional,” ujar Hamdi Muluk di Jakarta, Senin (13/2/2023).

Menurut Hamdi, para politisi atau aktor-aktor yang punya kepentingan politik masih sering memobilisasi sentimen yang disebut dengan politik identitas. Mereka juga kerap tergoda untuk memenangkan Pemilu dengan menjadikan sentimen suku keagamaan untuk memenangkan kontestasi.

“Politik identitas memanipulasi identitas etnik dan keagamaan untuk kepentingan politik. Tentunya ini dalam hukum-hukum demokrasi memang dianggap melewati pagar-pagar demokrasi yang seharusnya tidak boleh diloncati. Dalam norma demokrasi, itu haram hukumnya,” ujarnya seperti dikutip dari siaran pers Pusat Media Damai (PMD) BNPT.

Ia menilai fenomena kontestasi politik di Indonesia dari tahun ke tahun kerap diwarnai nuansa permusuhan dan kebencian. Hal ini dapat semakin memperkeruh suasana demokrasi seakan sebuah ’peperangan’.

”Masyarakat harus punya literasi politik dan pendidikan yang cukup. Tidak banyak masyarakat yang bisa menilai calon kontestan politik baik partai ataupun perorangan dengan memakai kriteria-kriteria yang rasional seperti baik rekam jejak, program, visi misi politik,  program politik dan sebagainya,” jelasnya.

Kondisi demikian menurut Hamdi, justru menjadi salah satu pemicu terciptanya radikalisasi di tengah masyarakat. Apalagi jika kepentingan politik sudah dibumbui dengan narasi keagamaan yang keliru. Hal ini akan mendorong kelompok radikal atau kelompok ekstrimis kekerasan membajak ideologi agama.

“Kalau hal itu (praktik politik identitas) jumlahnya makin banyak di masyarakat tentunya akan semakin kuat intoleransi beragama, intoleransi politik. Sehingga masyarakat terbelah berdasarkan dukungan terhadap kandidat atau sesuatu yang ‘dibungkus’ memakai agama, tentunya itu berbahaya sekali,” ucapnya.

Ia menyerukan segenap masyarakat agar mampu membangun cara pandang baru dalam memaknai kontestasi politik. Itu penting agar tidak mudah terhasut atau bahkan menjadi pelaku pemecah belah persatuan bangsa yang memanfaatkan narasi politik.

“Konsepnya begini, kita harus menghimbau sajalah kepada para elit-elit, kalau di sosial media terutama influencer-influencer untuk tidak menciptakan narasi politik identitas seperti itu. Kedua, kita harus bisa memberikan imbauan kepada masyarakat bahwa itu pembodohan,” tegasnya.

Ketiga, Hamdi menekankan agar masyarakat mampu untuk lebih kritis. Paling tidak menurutnya, untuk cek dulu faktanya, jangan mudah percaya, apalagi kalau disangkutkan dengan agama, maka harus waspada.

Ia juga mendorong pemerintah untuk sama-sama berupaya untuk menekan maraknya praktik politik identitas menjelang pesta demokrasi 2024 guna menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dari nafsu politik para oknum pemecah belah.

”Kita sudah punya instrumen hukum tentang ujaran kebencian, lalu pendidikan politik dan literasi media untuk masyarakat. Tentunya mereka harus diajarkan bagaimana bermedia sosial yang positif,” tuturnya.

Hamdi Muluk berharap kontestasi politik yang akan datang dapat menjadi konstestasi positif tentang gagasan, rasional, serta tidak lagi membawa narasi politik identitas berlatar agama.

”Kita semua tentu ingin kontestasi Pemilu 2024 sebagai kontestasi adu gagasan, rasional, dan tidak usah membawa-bawa agama. Karena agama bagusnya membawa orang pada puncak kesadaran bahwa dia adalah makhluk Tuhan dan dia akan menjadi lebih baik. Bukan membawa konflik secara politik,” pungkasnya. ***