Dendam Seorang Veteran Perang, Pengakuan Sang Kolonel

oleh -
Killing Season. (Foto: Tribunnews.com)

Oleh: Stefi Rengkuan*)

JENDELANASIONAL.ID – Saat menunggu laga “pertempuran” pasukan Argentina vs pasukan Kroatia memperebutlan Piala FIFA, saya masih sempat nonton film di bioskop TransTV tengah malam. Berjudul Killing Season dibintangi aktor Hollywood berkarakter kuat. Film ini sebenarnya sudah cukup lama, tapi sangat relevan untuk ditayangkan dan direfleksikan di tengah konflik dan perang masih berkecamuk di Ukraina dan Rusia, dan segala potensi varian dan eskalasi perang yang mengancam perdamaian dan keutuhan dunia ini.

Dalam sebuah bungalow di tengah hutan dan  sedang hujan bersalju tipis, dua orang pria dewasa mantan tentara veteran perang sedang bercengkrama mengenang masa lalu sambil menikmati makan dan minum mendengarkan lagu country khas Amerika tentang berhati-hati membawa dan menggunakan senapan.

Si tamu yang lebih muda memang berniat datang ke hutan itu dengan tujuan rahasia. Si tuan rumah yang menawarkan kepada pengelana itu tinggal sendirian di rumah hutan itu juga dengan memendam rahasia masa lalu sendiri.

Adegan di rumah kayu itu diawali dari perjumpaan tuan rumah dengan si pelancong di tengah jalan hutan. Tuan rumah itu membatalkan rencana untuk memeriksa sakit di tulang pahanya bekas terkena tembakan semasa perang. Dia memilih menjemput kembali si pengelana asing itu dan menjamunya sebagai tamu, karena berhutang budi telah dibantu memperbaiki mesin mobilnya yang mogok di tengah jalan pada sore hari itu juga.

Kebersamaan mereka malam itu diakhiri dengan ungkapan yang hemat saya berisi tema utama film ini yang dibintangi Robert de Niro (Kolonel Benjamin Ford, komandan pasukan perdamaian Amerika) dan John Travolta (Emil Covak, mantan anggota pasukan elit Serbia Scorpion).

Kira-kira berbunyi: “Kehormatan pemburu adalah menjaga dan melindungi buruannya. Kehormatan ciptaan adalah menghormati Pencipta dan ciptaannya.”

Ungkapan ini dibacakan oleh Emil Covak dari botol minuman alkohol yang dihadiahkannya sendiri untuk mereka minum bersama malam itu. Teks dalam bahasa Jerman dengan merek kepala rusa dan salib di atasnya.

Covak pamit meninggalkan bungalow itu dan berharap Benjamin menerima tawaran untuk berburu rusa besar di hutan.

Dan terjadilah keesokan paginya, walau masih terasa penggar di kepala, mereka berburu bersama dengan membawa busur dan anak panah masing2. Mereka masih berbicara asyik seperti teman berburu yang saling membutuhkan.

Pagi itu mereka berniat bisa mendapatkan buruan rusa besar, karena Benjamin mesti menghadiri undangan sang anak yang hendak membaptis cucu pertamanya yang belum pernah dia lihat langsung, walau dia ragu dan gelisah.

Lalu mereka berpisah untuk mencari buruannya, dan mereka berkomunikasi dengan handy talkie di gelombang yang sudah ditentukan. Menyusuri hutan dan rerumputan tinggi serta sungai deras.

Beberapa topik yang sempat diangkat di bungalow pada malam hari itu ditindaklanjuti lagi terkait perang Serbia Bosnia.

Nampak sekali si Kolonel enggan berkisah tentang masa lalunya. Tapi Covak selalu berusaha memancingnya ke arah sana. Kolonel hanya memberi jawaban2 simbolis yang bermakna reflektif supaya manusia siapapun bangsa tidak terjebak pada konflik dan kekerasan yang kejam dan sia-sia.

Benjamin berkisah bagaimana ayahnya suka dengan mata elang sebagai pemburu yang hebat. Pemburu sejati tak akan melepaskan buruannya itu. Namun selalu diingatkan untuk berlaku pantas pada calon buruannya.

Demikian, Covak terus berusaha memancing Benjamin yang sebenarnya sudah menjadi target buruannya. Intensinya datang ke Amerika adalah mencari sosok yang dianggapnya telah membuatnya menderita. File dokumen yang didapatkannya di awal kisah film menunjukkan bahwa target buruannya itu adalah seorang kolonel dari pasukan NATO.

“Mengapa kau tinggal seorang diri di rumah tengah hutan, di mana isteri dan anakmu?”

Ben rupanya hidup menyendiri bukan hanya karena trauma perang yang membuatnya mencari ketenangan batin dan pikiran di hutan.

Juga dia menanggung derita malu karena terlalu lama meninggalkan sang isteri dan anak masih kecil. Saat dia balik, isterinya sudah bersama dengan pria lain, yang ternyata adalah temannya sendiri yang menjadi saksi pernikahannya sendiri. Dan anaknya lebih mengenal temannya itu sebagai ayah daripada Benjamin sendiri.

Covak terus memancing si Benjamin untuk berkisah lebih banyak, untuk menguak pengalaman bersalah di masa lalu. Karena Kovak tahu dan yakin bahwa Benjamin ini bertanggungjawab atas kematian teman-temannya, termasuk semua kematian yang menimpa keluarga dan kampungnya di masa perang berkecamuk, dan tentu saja derita kelumpuhannya bertahun-tahun.

Benjamin belum tahu apa motif tamunya ini, dan dia pun berkisah lagi tentang seorang pastor yang datang mengaku dosa kepada teman pastor tua.

(Kisah ini juga adalah poin penting yang jelas bagi sutradara untuk menyampaikan pesan bermakna film ini kepada penonton. Apalagi kisah ini masih diulangi dan berlanjut di akhir kisah. Pastilah penting untuk diperhatikan.)

“Bapa ampuni saya karna saya telah berdosa. Dalam suatu perang yang dilancarkan Nazi, saya menampung seorang gadis di sebuah rumah.”

“Baguslah anakku engkau bisa berbuat baik bagi yang membutuhkan.”

“Tapi masalahnya gadis itu kemudian menyukaiku dan terus hidup bersamaku, bapa.”

“Ya, anakku, perang membuat kita berdosa, jangan takut anakku, engkau sudah diampuni.”

“Terimakasih bapa, saya merasa beban berat itu hilang sekarang. Tapi ada satu pertanyaanku,”…

Namun percakapan melalui alat genggam komunikasi itu terhenti karena tiba2 anak panah melesat hampir mengenai Benjamin, dan menempel ketat di batang pohon pinus yang keras.

Benjamin terjatuh dari pohon tempat pengintaiannya. Dan tersadar bahwa Kovak ternyata memang sedang mengincarnya untuk dibunuh.

 

***

Dalam keadaan pincang menahan sakit kaki kiri, terseok dia berjalan sambil berlari kecil, untuk menyingkir dari jangkauan anak panah si Covak yang tak sabar lagi untuk menyiksa dan mendapatkan pengakuan langsung dari si komandan perang itu.

“Hai Covak, aku sudah berdamai berdamai dengan dosaku di masa lampau, perang sudah berakhir. Apa maumu?”

“Perang tak akan pernah berakhir, Ben.” Dia mau menegaskan bahwa ide perang itu selalu ada dan akan datang dari pikiran manusia, juga kepada siapa saja yang percaya pada Tuhan Pencipta dan ciptaan, pemburu dan buruan, tergantung posisi masing-masing.

Lalu Ben makin terjepit ke pinggir sungai, dan Covak berhasil melesatkan anak panah mengenai kaki Ben, yang membuatnya jatuh dan mengalir melalui sungai itu menjauh dari kejaran Covak yang makin bersemangat itu.

 

***

Waktu terus berlalu dan jadwal undangan dari anaknya segera lewat, dan dia masih terperangkap oleh ancaman Covak.

Setelah berapa lama mengeringkan pakaian di tubuhnya, mengobati luka di betis yang kena pahanya. Ben mempersiapkan perkakas sederhana untuk menyerang balik, tak sudi menjadi korban perburuan Covak lagi. Dia mendekat terus ke arah rumahnya.

Handy talkie masih berfungsi dan percakapan saling menguji mental terus terjadi antara berdua yang sekarang saling berburu sendiri, bukan lagi bersama berburu rusa.

“Ben, katakan, aku mau kau mengaku dosa sekarang sebelum menjemput Penciptamu…Ungkapkan sepenuhnya apa saja dosamu itu.”

Covak terus memburu dan Ben juga sudah siap melawan balik. Covak jelas makin tak sabar dan penasaran mengapa Benjamin tak mau tegas berterus terang saja, toh dia nampak menyesali masa lalunya itu.

“Aku tak bisa menanggung bebanku, Benjamin, sampai kau mengatakan mengapa engkau menembakku dan membiarkan aku menggenaskan di lapangan eksekusi itu?

“Kau percaya Tuhan, Covak?

“Ya tentu saja, Ben. Aku juga percaya Tuhan, … sampai suatu hari saya pulang kampung dan melihat ada banyak orang berkumpul, dan aku lihat para tentara menyeret saudara perempuanku. Lebih menggenaskan lagi para lelaki, disirami bensin dan dibakar.”

Covak mengerang dengan penuh kemarahan yang terkontrol, “Saya bertanya adakah Tuhan? Dimanakah Dia?! Ya, benar, Tuhan ada, dan Dia membiarkan kekejian ini terjadi. Karena manusia tak mungkin bisa membiarkan manusia melakukan hal paling keji ini, Ben!”

Covak mempertanyakan Tuhan macam apa yang tak maha kuasa, Tuhan macam apa yang tak maha kasih, tak bisa berbuat apa-apa. Format logika teknis matematisnya membuat Covak meyakini dan menyimpulkan bahwa Tuhan itu lemah dan sekaligus kejam.

“Nah sekarang Ben, sekarang katakan, apa alasanmu percaya Tuhan ada?”

 

***

Ben tidak menjawab, dan terus berjalan mendekati rumahnya, apalagi dia melihat mobil anaknya sedang ke rumah.

“Covak, jangan kau apakan anakku. Ini urusan kita berdua!”

Ben berusaha untuk melindungi anaknya dari buruan si Covak. Untunglah tak lama kemudian putranya pergi lagi. Dia datang menengok ayahnya dengan membawa sebotol anggur, karena ayahnya tidak jadi datang di acara baptisan bayinya. Dia tidak tahu kalau ayahnya sedang menjadi target buruan. Dia mungkin sudah maklum sikap ayahnya yang tak mau menemui anaknya sejak lahir.

Pada saat itu, Covak mendatangi beranda rumah dan mengambil botol anggur yg baru saja ditinggalkan. Dan pada saat dia membuka dan menegak isi anggur ke mulutnya, lalu anak panah mendekati dengan  cepat, lebih cepat dari lirikan mata, yang tiba-tiba saja menembus kedua pipi dan menempelkannya di pintu kayu rumah tersebut tersebut.

Covak diikat dan dibaringkan tak berdaya. Ben menakut-nakutinya dengan membantingkan kapak di sisi kiri kanan kepala Covak. Saking kesel dan marahnya, Ben masih berusaha menyerang Covak dengan kata2 menuduh dan menghakimi.

“Hai Covak, kau adalah anggota pasukan Scorpions Serbia, ditangkap karena menghabisi orang muslim Boszia, anak2 dan perempuan!”

“Itu adalah perang terbuka, Ben. Ini adalah karma, harus terjadi tak bisa ditolak.”

“Kau tahu Covak, cerita saya bersama ayah. Suatu kali kami berburu, mengejar dan membidik mengenai rusa, namun tapi tidak sampai mati. Kami terus mengejarnya dan setelah terkejar, ayah saya menyuruh saya untuk segera menghabisinya, dengan cepat mengambil hatinya supaya daging tidak cepat membusuk.”

“Saat itu, sepersekian detik, saya menyaksikan dan menyadari, meskipun dia seekor hewan, saya bisa melihat dan merasakan cahaya menghilang dari matanya.”

“Oya benar katamu, Covak. Karma orang Serbia menyerang Bosnia dan sebaliknya, demikian juga dengan tentara Nazi dan jutaan korbannya…. Kau menyiksaku dan saya menyiksamu. Dan kita sebenarnya bisa mundur 1000 tahun ke belakang dalam sejarah dimana kita umat manusia mulai saling menyakiti.”

Lalu tali pengikat Covak terputus karena kapak, dan Ben bisa dipukul tak berdaya jatuh di lantai. Giliran Covak menyandera si Ben.

Di hadapan tawanannya, Covak berkisah bagaimana pengalamannya sekarat terlantar karena dieksekusi oleh regu tembak yang dipimpin Benjamin. Dia mengalami kelumpuhan, tak bisa berbuat apapa, bertahun hanya terbaring dan dirawat.

“Kau menembakku Ben, lalu aku diselamatkan oleh orang, dirawat oleh perawat bernama Sophia, yang selalu berbaju putih. Dia membersihkan aku dan perlahan aku mulai bisa berjalan normal, … tapi tak punya orangtua lagi, tak punya saudara, tak punya anak dan isteri, tak punya asuransi…”

 

***

Dalam suatu duel terakhir Ford akhirnya mengaku kalah, karena kesakitan dan terjebak dengan senjata tak berpeluru di rumahnya sendiri. Mereka sepakat untuk menyudahi dan ada pengakuan, lalu eksekusi dan selesai.

“Kau tahu Ben, betapa beruntungnya dirimu punya tempat tinggal nyaman sendiri. Juga punya negeri yang elok nan indah, pegunungan dilapisi salju putih kemilau. Namun di negeriku sendiri, kemanapun kulihat adalah awan hitam dan gunung kegelapan.”

Kemudian Benjamin bisa lolos dan menuju ke gedung gereja tua di dalam hutan itu. Dia memasang jebakan kayu diikatkan dengan senar diambilnya dari piano tua. Tapi justru Ben yang kena masalah terperangkap.

Di gedung gereja tua terbuat dari kayu yang nampak reot itu, masih ada salib dengan corpus Almasih tergantung dalam wara keperakan dan buram.

Covak makin marah dan memberontak di hadapan simbol pengorbanan bahkan dengan mencurahkan darah sehabis-jabisnya, suatu tindakan dan misteri kasih terbesar bagi sahabat dan umat manusia.

“Oh Tuhan, aku sekarang mengaku tapi jangan ampuni dosaku,” dan sambil menatap korbannya itu, Covak berteriak: “tapi kau mengakulah, Benjamin Ford, hanya kita berdua dengan salib itu. Ya, hanya kau yg bisa mengaku!”

Tapi benjamin diam saja, membisu walau dengan mimik menahan sakit.

Akhirnya Covak melunak, entah mengapa dia berkata: “Baiklah kau menang aku kalah, Ben, saya segera menghabisimu dan nanti akan aku katakan saat bertemu dengan Tuhan.”

Kisah makin seru dan menengangkan. Ben berhasil membalikkan keadaan. Lalu kemudian ada adegan yang membuat Covak kembali memenangkan pertarungan. Eksekusi akan dilakukan di lereng landai bukit yang memutih karena salju tipis. Mereka berjalan mendaki, si eksekutor di belakang memegang senjata dan si calon korban di depan.

Lalu dalam situasi genting, Ben kembali menjatuhkan si Covak, yang juga makin melemah secara fisik dan mental, karena si kolonel tua ini tak kunjung mau mengaku.

Dalam hening di tengah alam luas itu, di kemiringan bukit bersalju tipis itu di bentang awan putih dan langit biru tua di tengah hari, akhirnya kolonel mulai membuka pengakuannya.

 

***

“Oktober 1995 pasukan pertama NATO tiba di Manjaca. Saat kami tiba di sana sepi dan tercium bau menyengat bercampur kimia aneh dari gudang-gudang penyimpanan di kampung itu. Kami mendapati mayat bergelimpangan, seolah ada yang menatap dengan mata redup menahan derita dan ada yang memancarkan ketakutan.”

“Kami mendapati pasukan Scorpions Serbia yg melakukakannya, dan karena itu kami segera menyerang dan menangkapi mereka yang sudah siap menyerah. Walau mereka menyerah tapi kami mengangap mereka bertanggungjawab atas semua kekejaman itu. Di tanah lapang kami deretkan para tentara dan milisi itu lalu mengeksekusi tembak mati mereka.”

“Dalam pada itu untuk pertama kali saya mengalami dilema untuk mengeksekusi segera manusia. Saya jadi teringat rusa malang itu. Dan untuk sesaat saya sempat terbayang seperti dahulu pengalaman berburu bersama ayah.”

Dan sejak itu Ben mengaku sangat menyesal, tak bisa memaafkan diri sendiri, tak bisa membayangkan diri saya di hadapan orang lain, tak bisa menatap mata anak satu-satunya, bahkan tak bisa lagi mampu melihat wajahnya sendiri dalam cermin.

 

***

Covak sangat terharu dan menangis, dan dengan mata nanar, bibir tegar pelan dia mengeluarkan suara berat dialek asalnya sendiri.

“Tadinya aku tak siap mati, sekarang aku siap. Bukankah kita layak menerima perbuatan kita. Kita sama hanya manusia bisasa, bebaskanlah saya dari penderitaan ini. Tariklah pelatuknya.”

Dan Benjamin pun menarik pelatuk senjata laras panjang itu, namun diarahkan ke atas. Pas rajawali melintas, tapi itupun tidak dikenainya.

Lalu segera dipotongnya tali pengikat kedua tangan tawanannya itu, dan senjata pun dibuangnya ke tebing yang dalam.

Epilog film menyambung cerita pengakuan dosa dari pastor muda itu di atas.

Berdua duduk di atas altar alam di batu yang keras dengan udara dingin dan cakrawala yg ditutupi awan putih dan abu-abu.

Ben mengulangi kisah di kamar pengakuan itu.

“Jadi, ada seorang Pastor Italia. Dia mengaku dosa kepada teman pastor tua: ‘Ampuni saya, Bapa, karena saya tlah berdosa. Dalam suatu perang saya menerima seorang gadis yang dikejar oleh tentara Nazi.’

‘Baguslah anakku berbuat baik menolong orang yang susah.’

‘Tapi masalahnya gadis itu mulai menyukaiku dan terus hidup bersamaku.’…

Sejenak pastor pengakuan dosa itu terdiam, lalu menasihati, ‘Ya, perang membuat kita berdosa, jangan takut, anakku. Dosamu sudah diampuni!’

‘Terimakasih, bapa, beban berat saya sudah lepas.’ Pastor muda itu masih melanjutkan, tapi satu pertanyaan lagi: ‘Bapa, apakah boleh saya terus bersamanya bila perang sudah berakhir?’***

(Sumber: Film Killing Season yang diputar di Channel Trans TV, tengah malam, 13 Desember 2022)

Selamat menyongsong Natal.

*) Stefi Rengkuan, Presidium Riset dan Pengabdian Masyarakat ISKA