Densus 88 Anti Teror Sangat Diperlukan Di Indonesia

oleh -
Stanislaus Riyanta. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.COM — Indonesia belum bisa bebas dari ancaman aksi teror. Keberadaan kelompok radikal yang menggunakan cara-cara kekerasan (teror) untuk memaksakan tujuannya di Indonesia masih signifikan. Keberadaan sel tidur di Indonesia yang jumlahnya tidak sedikit juga cukup mengkhawatirkan.

Kapolri Tito Karnavian dalam Middle East Special Operations Commanders Conference (MESOC) menyebutkan bahwa terdapat 2.000 orang militan alumni Afghanistan dan Filipina di Indonesia.

Sementara pakar terorisme Bruce Hoffman mengatakan bahwa terdapat kira-kira 3.000 orang anggota Al-Qaeda di Indonesia. Hal ini belum termasuk pendukung, simpatisan dan pengikut ISIS.  Sel-sel tidur tersebut untuk sementara waktu hidup biasa di tengah masyarakat, mereka akan bergerak jika ada pemicu dan momentum yang tepat.

“Hingga saat ini usaha yang dilakukan oleh pemerintah dalam penanggulangan terorisme cukup serius. Dari sisi penegakan hukum yang telah dilakukan oleh pemerintah pelaku tindak pidana terorisme, sejak 2000-2018 sejumlah 1.799 orang menjadi pelaku tindak pidana terorisme, sebanyak 906 orang sudah menjalani putusan hakim dan keluar dari lapas sebanyak 90, dan yang mengulangi perbuatannya melakukan tindak pidana terorisme sebanyak 52 orang (Juli 2018),” ujar pengamat terorisme, Stanislaus Riyanta, di Jakarta, Senin (17/12/2018).

Stanislaus mengatakan, melihat fenomena di atas maka UU Anti Teror dan keberadaan Densus 88 Anti Teror sebagai garda terdepan penanggulangan terorisme sangat diperlukan di Indonesia.

Ancaman teror tidak mengenal tempat, waktu dan korban. Hal ini terbukti dari aksi-aksi teror yang telah terjadi seperti pada aksi Bom Bali, Bom Thmarin, dan Bom Surabaya.

“Jaringan kelompok teror yang tidak hanya lokal tetapi merupakan jaringan kelompok trans nasional harus dihadapi dengan cara-cara khusus mengingat aksi teror adalah kejahatan luar biasa yang mengancam umat manusia,” ujarnya.

Tindakan pemerintah terhadap terduga teroris telah dilakukan secara terukur, terutama jika terduga teroris tersebut diketahui sudah membahayakan petugas atau orang disekitarnya. Tidak sedikit terduga teroris yang ketika ditindak diketahui membawa dan menguasai bahan peledak atau senjata api. “Jika terduga teroris tersebut tidak dilumpuhkan maka dapat menjalankan aksi teror dan masyarakat yang akan menjadi korban,” ujarnya.

Terkait dengan isu-isu rekayasa terorisme, masyarakat dan dunia dapat dengan bebas melihat proses penanganan terorisme yang menggunakan proses peradilan secara terbuka sehingga dapat dilihat oleh masyarakat luas.

Hal ini sangat tidak mudah ditemukan di negara lain, mengingat Indonesia saat ini diketahui sebagai satu-satunya negara yang menerapkan proses peradilan secara terbuka terhadap penanganan tindak pidana terorisme. “Hal ini menunjukkan bahwa kecurigaan terhadap kasus terorisme sangat berlebihan dan tidak masuk akal,” pungkasnya. (Ryman)