Dijajah Teknologi, Indonesia Butuh Pendidikan Karakter dan Etika

oleh -
Rapat Kerja Terbatas Dewan Ketahanan Nasional Republik Indonesia dengan tema "Pembudayaan Pancasila di Social Media Era Post Truth Guna Mencegah Disintegrasi Bangsa Dalam Rangka Ketahanan Nasional", di Jakarta, Selasa (07/02/2023). (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID – Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo, mengatakan bahwa bangsa Indonesia membutuhkan pendidikan moralitas dan etika yang berdasarkan kepada nilai-nilai Pancasila.

Hal itu dia sampaikan pada Rapat Kerja Terbatas Dewan Ketahanan Nasional Republik Indonesia dengan tema “Pembudayaan Pancasila di Social Media Era Post Truth Guna Mencegah Disintegrasi Bangsa Dalam Rangka Ketahanan Nasional”, di Jakarta, Selasa (07/02/2023).

Usulan dan hasil dari rapat ini akan menjadi rekomendasi kepada Presiden RI.

Benny, sapaan akrabnya, menyatakan bahwa dalam komunikasi melalui sosial media, teknologi informasi dan sosial media adalah sebuah sarana.

“Tetapi sekarang, dia (teknologi) didewakan dan menjadi bersifat materialistis. Teknologi menjadi barang dengan nilai ekonomi dan kita akhirnya dijajah oleh teknologi,” ujarnya.

Dia mengatakan bahwa rasionalitas manusia tereduksi dan dikendalikan oleh teknologi. “Yang penting menjadi populer di dunia media sosial, kontennya yang memberikan sensasi saja, tanpa terbuktikan kredibilitas dan kebenarannya. Ini kenyataan yang terjadi sekarang,” ujarnya.

Pengamat komunikasi politik ini pun menyebutkan dampak lanjutannya. “Hal ini memudahkan kebohongan, komunikasi elektronik untuk mengaduk-aduk emosi semata karena sensasional. Maka perdebatan soal SARA menjadi hal yang mudah digunakan, karena mudah dibakar dan menarik bagi masyarakat kita,” katanya.

Mengacu pada kebencian yang mudah disulut, rohaniwan Katolik ini pun memberikan pemikirannya.

“Kita harus jujur, ada perasaan jengkel dan dengki yang terjadi di bawah alam sadar masyarakat, terhadap etnis suku bangsa tertentu, terhadap agama tertentu. Selama kita berdiri, belum ada proses dan usaha rekonsiliasi atas perasaan yang tertanam ini. Dan ini yang dimanfaatkan pihak-pihak yang memiliki kepentingan (ekonomi),” jelasnya.

Dia pun menyayangkan pihak-pihak yang kurang didengar, atau memilih diam, padahal memiliki pengetahuan yang mumpuni.

“Narasi yang dibuat oleh mereka kurang populer karena narasinya kurang menarik untuk khayalak luas. Ini menunjukkan kegagalan kita sebagai sebuah negara melakukan pendidikan untuk berpikir kritis. Kita senangnya yang cepat, instan, dan tidak perlu berpikir,” sebutnya.

Salah satu pendiri Setarra Institute itu menyerukan agar pendidikan moralitas dan etika berdasarkan nilai-nilai Pancasila harus dilakukan untuk melakukan counter.

“Pendidikan adalah jangka panjang bagaimana kita melakukan counter serangan-serangan ini. BPIP sudah melakukan perumusan untuk mengembalikan pendidikan Pancasila kembali kepada masyarakat. Dengan nilai Pancasila diingatkan dan diimplementasikan kembali, semoga rekonsiliasi dan pelaksanaan nilai-nilai Pancasila berjalan dan menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” tutupnya.

Narasumber lainnya adalah Guru Besar Ilmu Filsafat UGM, Armaidy Armawi. Dia menyebutkan bahwa persoalan mendasar saat ini adalah persoalan karakter.

“Nilai disiplin, tanggung jawab, patriotisme, kerjasama, nasionalisme, kepemimpinan, kejujuran, rasa menghormati, dan kepedulian, itu karakter manusia dengan nilai Pancasila. Kurangnya semua nilai itu adalah persoalan kita bersama,” ujarnya.

Deputi Bidang Koordinasi Revolusi Mental, Pemajuan Kebudayaan dan Prestasi Olahraga Kemenko PMK, Didik Suhardi, menyatakan bahwa pemerintah, lewat program revolusi mental, akan terus membangun karakter bangsa berdasar nilai Pancasila.

“Bagaimana kita membangun Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian secara kebudayaan,” imbuhnya.

Achmed Sukendro dari Universitas Pertahanan Nasional memaparkan perihal karakteristik pengguna dan data pengguna internet di Indonesia.

“Bagaimana penanaman nilai Pancasila yang sesuai era post-truth sekarang; kita harus peka melihat bukti dan fakta yang ada. Konten nilai-nilai Pancasila yang baik perlu diberikan secara masif kepada masyarakat, untuk melakukan counter konten lainnya yang bertentangan,” ujarnya. ***