Diskriminasi Atas JAI Sintang, Pemerintah Pusat Diminta Ambil Langkah Tegas

oleh -
Polisi menyegel aktivitas Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Desa Balai Harapan Kecamatan Tempunak Kabupaten Sintang pada 14 Agustus 2021. (Foto: Liputan6.com)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID – Setelah melakukan penyegelan atas Masjid Ahmadiyah di Desa Balai Harapan Kecamatan Tempunak Kabupaten Sintang pada 14 Agustus 2021, Pemerintah Kabupaten Sintang menghentikan pemanfaatan masjid dan kegiatan operasional pembangunannya secara permanen.

Demikian rilis yang disampaikan oleh Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Sintang pada 31 Agustus 2021 lalu.

Berkaitan dengan perkembangan terbaru kasus diskriminasi terhadap Jemaat Ahmadyah Indonesia (JAI) Kabupaten Sintang, SETARA Institute mengutuk keras perintah penghentian secara tetap aktivitas operasional masjid yang dibangun dan digunakan sebagai tempat beribadah komunitas Ahmadiyah di Desa Balai Harapan Tempunak Sintang.

“Pemerintah Kabupaten telah melakukan pembangkangan atas jaminan konstitusional yang termuat dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, khususnya Pasal 29 ayat (2) yang menegaskan bahwa ‘Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing’,” demikian siaran pers SETARA Insitute di Jakarta, Rabu (1/9).

Dalam siaran pers yang disampaikan oleh Halili Hasan, Direktur Riset SETARA Institute, dan Syera Anggreini Buntara, Peneliti KBB SETARA Institute menyatakan bahwa salah satu faktor pemicu utama memburuknya diskriminasi atas JAI Sintang adalah sikap diam Pemerintah Pusat.

“Seharusnya Pemerintah Pusat mengambil langkah yang memadai sesuai dengan otoritas yang dimiliki, sebab kewenangan utama pengaturan mengenai agama dan urusan keagamaan dalam konstruksi sistem pemerintahan Indonesia berada di tangan pusat. Urusan agama bukanlah urusan yang didesentralisasi,” ujar siaran pers tersebut.

Pemerintah Pusat, menurut SETARA, sejauh ini mendiamkan diskriminasi yang menimpa kelompok minoritas Ahmadiyah di daerah tersebut. Sebagaimana pada beberapa kasus yang mengorbankan atau memviktimisasi kelompok minoritas, Pemerintah selalu bersembunyi di balik alasan keamanan, ketentraman, ketertiban, kerukunan, dan kondusivitas masyarakat.

“Alasan semacam itu selalu didasarkan pada cara pandang mayoritarianisme yang mengabaikan jaminan hak dan keamanan dasar kelompok minoritas. Sayangnya, narasi keamanan, ketentraman, ketertiban, kerukunan, dan kondusivitas hampir selalu didasarkan pada sikap dan tuntutan kelompok intoleran yang acapkali mengatasnamakan mayoritas setempat,” ujar siaran pers tersebut.

Karena itu, berkaitan dengan hal tersebut, SETARA Institute mendesak Pemerintah Pusat untuk segera turun tangan. Menteri Dalam Negeri hendaknya melakukan tindakan memadai atas Pemerintah Kalimantan Barat dan Pemerintah Kabupaten Sintang untuk memastikan Pemerintah Kabupaten menjamin hak-hak dasar setiap warga negara, berapapun jumlah komunal mereka, untuk memeluk agama dan beribadah secara merdeka, sesuai jaminan UUD 1945.

Menteri Agama juga hendaknya melakukan tindakan yang dibutuhkan melalui Kantor Wilayah Kementerian Agama setempat untuk menjamin dan memfasilitasi penikmatan hak-hak keagamaan komunitas Ahmadiyah disana.

Selanjutnya, secara khusus SETARA Institute mendorong Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk memerintahkan anggota kepolisian di daerah agar menjamin keamanan individu dan kelompok minoritas Ahmadiyah di Sintang.

“Berkenaan dengan itu, aparat keamanan harus menegakkan hukum secara tegas terhadap kelompok intoleran, perusak kehidupan damai dalam kebinekaan, yang mengancam dan mengintimidasi kelompok minoritas serta sering mempropagandakan potensi konflik horizontal jika tuntutan kelompok mereka tidak dipenuhi,” pungkas siaran pers tersebut. ***