Diskusi LP3ES, Nasib Demokrasi di Tengah Himpitan Pandemi

oleh -
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) hari ini menggelar webinar bertajuk “Nasib Demokrasi Di Masa Pandemi”, di Jakarta, Selasa (17/11). (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) hari ini menggelar webinar bertajuk “Nasib Demokrasi Di Masa Pandemi”, di Jakarta, Selasa (17/11). Acara ini berkolaborasi dengan Yayasan Dandara Amal Indonesia, Institut Peradaban dan Magnum. Diskusi ini untuk menyoroti kondisi demokrasi Indonesia yang semakin memprihatinkan selama Pandemi ini.

Diskusi menghadirkan narasumber yakni Direktur Center for Media and Democracy, LP3ES Wijayanto, pengamat politik Facry Ali, intelektual NU, Ulil Abshar Abdallah, dan moderator yaitu Ichsan Leulembah.

Mengawali diskusi, Sekretaris Kabinet (Seskab) Republik Indonesia pada tahun 2010-2014, Dipo Alam menyampaikan kondisi oligarki yang semakin berkuasa di saat ini. Ia mengungkapkan bahwa oligarki oleh segelintir kaum minoritas tersebut juga terbukti dalam penyusunan undang-undang dan pengalokasian APBN. Sehingga bukan hal yang mengejutkan ketika kekuasaan oligarki terus bertumbuh subur di Indonesia.

Di sisi lain, kata Dipo, kekuasaan oligarki berdampak pula pada munculnya intoleransi ekonomi, seperti diungkapkan oleh ketua PBNU, Said Aqil Siradj.
“Ada ketimpangan ekonomi yang disebabkan oleh peranan oligarki yang dominan dalam suatu negara. Padahal, oligarki tersebut merupakan kelompok minoritas terbatas, sedangkan rakyat yang menjadi mayoritas dalam negara justru hanya menerima dampak dari ketimpangan yang dihasilkan dari para oligarch,” ujarnya.

Sementara itu Ulil Abshor Abdalla menyuguhkan perspektif demokrasi dalam konteks Keislaman dan Negara. Walaupun media-media barat cenderung mengklaim Islam tidak bisa berjalan beriringan dengan demokrasi, Indonesia menunjukkan hal yang sebaliknya.

Ulil mengatakan, pasca reformasi, tokoh-tokoh dan partai politik Islam terbukti mampu turut berkontribusi dalam dinamika demokrasi, baik di Indonesia maupun secara global. Ia juga menambahkan bahwa ada hubungan yang sangat erat antara pertumbuhan ekonomi dan demokrasi. “Pasca reformasi, Indonesia membuktikan tesis tersebut. Paling tidak hingga 10 tahun periode pemerintahan SBY, ketika pertumbuhan ekonomi bisa terjadi pada kisaran 5-6% tanpa harus mengorbankan kebebasan,” ujar Ulil yang juga intelektual NU itu.

Ironisnya, kata Ulil, yang terjadi sekarang di Indonesia yaitu ada perputaran kembali perspektif ke era orde baru yang menganggap kebebasan tidak memiliki relasi dengan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah, walaupun tidak diungkapkan secara verbal, justru merasa bahwa kebebasan yang terjadi masa kini dirasakan terlalu bebas dan karena itu butuh intervensi.

“Kondisi tersebut yang kemudian memunculkan kelompok yang skeptis terhadap demokrasi, utamanya dalam jajaran pejabat politik dan sebagian masyarakat sipil. Mereka mulai melirik bentuk pemerintahan China dan menganggap negara yang lebih otoriter menjadi lebih sukses dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penanganan Pandemi Covid-19. Apalagi setelah Amerika Serikat dan Italia, sebagai negara demokrasi barat, gagal dengan cara memalukan dalam menangani Covid-19,” ujarnya.

 

Empat Indikator Perilaku Otoriter

Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto menegaskan bahwa Indonesia saat ini telah memenuhi empat indikator perilaku otoriter yang meliputi: penolakan aturan main demokratis, menyangkal legitimasi lawan politik, toleransi/anjuran kekerasan dan kesediaan untuk membatasi kebebasan sipil dari kelompok oposisi.

Ia juga menyoroti betapa krusial kondisi kebebasan sipil Indonesia saat ini. Berdasarkan Economic Intelligence Unit (EIU), angka kebebasan sipil di Indonesia berada pada skor 5,59. Angka tersebut turun pada tahun 2017 dari akor sebelumnya yang sebesar 7,06 pada tahun 2016 dan sama sekali tidak membaik hingga tahun 2019. Skor itu pun jauh di bawah Singapura (7,06), Thailand (6,47) dan bahkan Malaysia (5,88).

Senada dengan temuan EUI, IDEA juga mengklaim bahwa kondisi demokrasi di Indonesia tengah mengalami kemunduran. Hasil survey Indikator pada September 2020 juga menunjukkan bahwa sebanyak lebih dari 50% masyarakat cenderung takut untuk menyatakan pendapat.

Temuan-temuan tersebut merupakan refleksi dari penangan pandemi yang menempatkan jiwa bukan sebagai persoalan utama. Hal itu dapat diketahui dengan sangat jelas dari blunder pejabat-pejabat nasional sebelum Coronavirus masuk ke Indonesia dan juga penanganan yang tidak serius ketika pandemi semakin meluas. Bahkan, ada upaya untuk mendapat dukungan melalui strategi digital di Twitter yang sudah dianalisis dengan Social Network Analysis.

Strategi digital untuk memanipulasi opini publik juga tidak berhenti pada isu Coronavirus. Hal tersebut juga terjadi untuk isu Pilkada 2020 yang semakin lama semakin tinggi narasi dukungannya dengan memanfaatkan buzzer dan juga influencer.

Terkait dengan RUU KPK dan Omnibus Law, ada upaya represi terhadap aktor-aktor masyarakat sipil kontra pemerintah dengan menggunakan cyber troops dan propaganda komputasi untuk dapat memanipulasi opini publik. Terkait dengan Omnibus Law, berdasarkan analisis bot, akun-akun yang terlibat dalam kampanye RUU tersebut mendapatkan skor 3.02. Dengan kata lain, hal itu menunjukkan bahwa akun yang digunakan sebagian besar bukan akun natural.

Terakhir, Fachry Ali mengulik sejarah oligarki Indonesia dan peranan NU dalam  perkembangan demokrasi negara. Ia memaparkan pula bahwa oligarki itu bersifat struktural dan historis.

Terkait Pandemi Covid-19, Fachry berargumen bahwa Covid lebih merupakan sebuah kekuatan politik yang mampu melakukan intervensi terhadap struktur dan sistem politik modern dan mendesak mereka menyesuaikan sistem dan struktur politik sebagai sesuatu yang besifat adaptif terhadap Covid.

Karena itu, kata Fachry, dia pernah mengusulkan bahwa Menteri Pertahanan dan Menteri Kesehatan berada di dalam satu badan dengan pemerintahan berbasis data, karena Covid tidak bisa dilawan oleh peluru. Kegagalan Amerika adalah karena mereka tidak adaptif terhadap virus, implikasinya Trump harus kalah dengan Biden.

Di Indonesia, ketika Covid menyerbu, perekonomian kita belum pulih karena pada tahun 2019 pertumbuhan ekonomi kita tidak sesuai dengan apa yang direncanakan. Pada saat yang bersamaan, struktur kekuasaan sudah terlanjur bersifat horizontal.

Pada akhirnya, diskusi ini semakin menerangkan bahwa kondisi demokrasi Indonesia saat ini sedang dalam kepungan ketidakpastian ekonomi, bahkan sebelum Coronavirus dan semakin parah ketika terdampak Pandemi Covid-19. Pada saat yang sama, kekuasaan harus dibagi bersama-sama dan regulasi yang diharapkan mampu memperbaiki ekonomi itu ditentang oleh masyarakat di dalam situasi pandemi.

“Di tengah situasi yang begitu memprihatinkan, LP3ES terus mengisi ruang diskursus publik dengan diskusi-diskusi ilmiah terkait demokrasi dari berbagai sudut pandang permasalahan untuk memperluas pemahaman masyarakat,” ujarnya. (Ryman)