Dosen Atma Jaya Yeremias Jena Wafat, Selamat Jalan “Reuk Snaren”

oleh -
Yeremias Jena Langotukan, SS, M.Hum, M.Sc, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya Jakarta. (Foto: ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Yeremias Jena Langotukan, SS, M.Hum, M.Sc, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya Jakarta, Rabu (21/7) meninggal dunia akibat terpapar coronavirus diseas 2019 (Covid-19). Pria asal Lembata, Nusa Tenggara Timur, yang sehari-hari menjadi dosen tetap Bidang Etika, Bioetika, dan Filsafat Ilmu Unika Atma Jaya, meninggal akibat terpapar Covid-19 sejak 10 Juli lalu dan dirawat di Rumah Sakit Atma Jaya Pluit, Jakarta.

“Rabu (17/7) siang berita duka itu datang. Saya menerima kabar dari reu Kolonel TNI-AL Fidelis Betekeneng, kerabat Almahrum dari Ile Ape, Lembata yang berdinas di TNI-AL kalau reu Jena sudah kembali ke rumah-Nya. Kabar juga saya peroleh langsung dari ina Veronika Wangun Koban, isteri Almahrum. Ina Vero menyampaikan suaminya meninggal akibat terpapar Covid-19 sejak 10 Juli,” ujar Ansel Deri, admin grup Ata Lembata dalam keterangan yang diterima, Rabu (21/7).

Berita berpulangnya Jena, mengejutkan. Betapa tidak, kita tiba-tiba kehilangan seorang intelektual asal Lembata dan sahabat baik yang aktif berdiskusi terkait persoalan pembangunan Lembata selama 21 tahun terakhir di usia otonomi Lembata tersebut.

Almahrum Jena merupakan pribadi rendah hati, suka berbagi pengetahuan, dan peduli dengan isu-isu Nusa Tenggara Timur, termasuk kampung halaman Lembata. Beliau juga aktif dalam berkomunikasi dengan para donatur menyusul bencana yang melanda Ile Ape, Lembata pada 4 April 2021 dan merenggut belasan keluarganya di Atawatung, Ile Ape.

Dr Justin Laba Wejak mengaku pertama kali mengenal almahrum Yeremias Jena awal September 2019 di group yang beranggotakan warga Lembata yang berada di mana pun di seantero jagat. Jena, kata Justin, dikenalnya sebagai seorang yang cerdas dan kritis. Almahrum memiliki kepekaan sosial yang tinggi.

“Ini terlihat tatkala ia mengambil inisiatif membuatkan video protes terhadap tindakan pemerintah Kabupaten Lembata menggusur sejumlah tanaman Pandan di pantai Pasir Putih Mingar pada tahun 2020. Dari situ saya melihat bahwa dia punya kepedulian ekologis yang cukup tinggi untuk melindungi alam dan flora,” kata Justin Wejak, Justin, dosen Kajian Asia di The University of Melbourne, Australia, yang menulis tesis Etnografi Ketakutan 1965 dalam Terang Filsafat Ketakutan Heidegger.

Jena juga dikenal sebagai seorang yang lebih suka menyendiri, “a loner”. Maklum, sebagai seorang filsuf, pilihan gaya hidup menyendiri itu hal lumrah.

Suatu waktu almahrum mengatakan, ia ini tidak suka bising. Kebisingan membuatnya bisa jadi disfungsional. “Dengan nada celoteh, saya balik bertanya. ‘Lantas, bagaimana reu (saudara) bisa bertahan hidup dan bekerja di Jakarta, sebuah kota yang selalu bising?’ Dia cuma tersenyum sambil termenung, mungkin mencari jawaban,” ujar Justin.

“Reu Jena, saya mendengar kabar wafatmu dengan hati gundah dan pilu. Tak terbayang, Reu pergi demikian cepat untuk tidak kembali lagi. Namun sukmamu tidak ikut lenyap bersama ragamu. Thank you for all the thoughts, insights and experiences that we shared during our brief interactions since September 2019. You will be sorely and sadly missed. Selamat jalan, reu Jena,” lanjut Justin.

H. Sulaeman L Hamzah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indoensia Daerah Pemilihan (Dapil) Papua kelahiran Lewotolok, Ile Ape, Lembata juga menyatakan ungkapan duka atas berpulangnya Jena, seorang anak muda dan intelektual rendah hati.

Sulaeman, yang juga anggota tim penulis buku “Membangun Tanpa Sekat” merasa kehilangan Jena, seorang putera asli yang konsisten mendidik para mahasiswa dan berbakti bagi ribu ratu (orang banyak di rantau).

“Kami sekeluarga turut berdukacita mendalam atas berpulangnya ama Jena. Semoga Tuhan memberi tempat yang layak di sisi-Nya,” ujar H. Sulaeman L Hamzah, anggota Fraksi NasDem DPR yang juga Ketua Masyarakat Flobamora Papua.

“Ternyata bukan hanya jarak yang memisahkan kita, tetapi ruang dan waktu juga telah memisahkan kita untuk selamanya sejak detik ini. Mimpi-mimpi kita berdua, akhirnya tetap sebatas mimpi,” kata Dr Marselus Ruben Payong, anggota grup Ata Lembata yang juga dosen Unika Santu Paulus Ruteng, Flores, NTT.

Anggota grup Ata Lembata, Fransiskus Xaverius Berardus Limalaen Krova mengenang Alm Yeremias Jena sebagai figur dan pribadi yang sangat mengayomi keluarga dan para sahabatnya. Jena di mata Nar Krova, praktisi asuransi, adalah pribadi yang tegas seperti sang ayah. Almahrum juga adalah sosok kreatif yang selalu muncul dengan ide-ide bernas setiap diskusi seperti dalam grup Lembata diaspora.

“Beliau sangat terbuka dengan pemikiran-pemikiran demokratis meruntuhkan sekat-sekat primordial. Saya kerap merasa sungkan karena beliau adalah kerabat dekat ibu saya. Sebagai anak yang lahir dari rahim perempuan sekampung reu Jena, kadang saya sungkan bicara. Tetapi beliau menerima setiap kririk dalam diskusi secara terbuka. Kami juga sama-sama pernah sekolah calon pastor. Saya menggeluti profesi sebagai kernet bus Jakarta-Banda Aceh sebelum akhirnya menetap di asuransi. Beliau melangkah terus dan bertahan sebagai guru. Saya kehilangan teman diskusi dan opu lake (om) terkasih,” ujar Nar Krova.

Menurut Veronika Wagun Koban, isteri Almahrum, Yeremias sedang menyiapkan diri mengikuti ujian doktoral (S-3) di  STF Driyarkara Jakarta. Selama mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian disertasi tersebut, Cecilia Angelina de Urupia Langotukan, anaknya, merupakan teman diskusi.

“Saat mempersiapkan diri ujian disertasi, beliau asyik diskusi dengan nona Cecilia. Nona baru semester 5 di jurusan Media Fakultas Ilmu Komunikasi Unika Atma Jaya. Keduanya cocok sekali diskusi, apalagi bapanya juga suka menulis di koran dan jurnal internasional,” kata Vero Koban.

Yeremias Jena Langotukan lahir di Atawatung, Ile Ape Timur, 23 Agustus 1969. Belajar dua tahun di SDK Yos Sudarso Atawatung, kemudian lanjut di SD Inpres Lamahora dan tamat tahun 1983. Ia tamat SMP Negeri Lewoleba (1986) dan SMA Negeri Nubatukan (1989). Kemudian masuk Tahun Postulan Serikat Salesian Don Bosco (SDB) di Fuiloro, Lospalos (Timor Leste, 1990) dan Novisiat SDB di Fatumaca, Baucau (Timor Leste, 1991).

Studi Sarjana Filsafat ditempuh di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta selama 3 tahun (1991-1994), diikuti Tahun Orientasi Pastoral di SMA Seminari Don Bosco Fatumaca. Kembali ke STF Driyarkara untuk menyelesaikan Sarjana Filsafat (1996-1997) sebelum melanjutkan studi teologi di Don Bosco Center for Studies di Manila (Filipina, 1997-1999). Pendidikan Magister Filsafat diselesaikan di STF Driyarkara (2009), Master of Science bidang Bioetika di Universiteit Katholieke Leuven (Belgium, 2011).

Kini sedang menulis disertasi tentang etika kepedulian di STF Driyarkara Jakarta. Sejak 2009 menjadi dosen tetap bidang etika, bioetika, dan filsafat ilmu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya (Jakarta).

Jena sudah menulis empat buku masing-masing Santo Yohanes Bosco: Rasul Kaum Muda, 2009; Merajut Hidup Bermakna: Narasi Filosofis Pencerah Kehidupan, 2013; Wacana Tubuh dan Kedokteran: Sebuah Refleksi Filosofis, 2014), dan Filsafat Ilmu: Kajian Filosofis atas Sejarah dan Metodologi Ilmu Pengetahuan, 2015). Karya-karya ilmiah telah terbit di banyak jurnal ilmiah dalam dan luar negeri. Tulisan populer tersebar di Suara Pembaruan, Media Indonesia, Kompas, dan Mingguan Hidup. Selamat jalan, reuk snaren, saudara yang baik hati. (*)