Dosen Universitas Nahdlatul Ulama: Membela Agama Tidak Bertentangan dengan Membela Negara

oleh -
Dosen Pascasarjana bidang Program Studi Magister Pendidikan Agama Islam dari Universitas Nahdatul Ulama (UNU) Surakarta, Dr. H. Amir Mahmud, M. Ag. (Foto: Ist)

Surakarta, JENDELANASIONAL.ID — Memasuki tahun 2021, sudah saatnya bangsa ini menyudahi eksploitasi agama sebagai komoditas politik melalui maraknya politik identitas di ruang publik. Masyarakat harus memahami bahwa membela agama bukanlah sesuatu yang berseberangan dengan membela negara. Begitu pun sebaliknya. Menegakkan ajaran Nabi juga bukan halangan untuk menegakkan NKRI.

Dosen Pascasarjana bidang Program Studi Magister Pendidikan Agama Islam dari Universitas Nahdatul Ulama (UNU) Surakarta, Dr. H. Amir Mahmud, M. Ag. mengatakan bahwa memang harus dipahamkan kepada masyarakat bahwa wawasan kebangsaan yang religius, agama tidak bertentangan dengan negara ini yang sedang kita bangun. Ia mengungkapkan bahwa hal itulah yang sedang ia lakukan saat ini dalam berbagai kesempatan, tentang bagaimana membangun masyarakat yang berwawasan kebangsaan religius.

”Karena saya melihat memang ada kecenderungan dari beberapa tokoh agama yang menjadikan agama sebagai kendaraan untuk melegitimate tindakannya, seolah-olah ini adalah perintah dari agama. Inilah yang harus kita sudahi,” ujar Dr. Amir Mahmud, di Surakarta, Jumat (15/1/2021).

Pria kelahiran Jakarta 1 Desember 1965 ini menjelaskan, mereka-mereka ini memiliki kepentingan mereka sendiri tetapi menggunakan dalih agama. Maka menurutnya para tokoh nasional dan agama harusnya memberikan suatu pernyataan atau sikap wawasan kebangsaan yang religius sehingga tidak selalu menjadikan perbedaan yang ada ini sebagai alat untuk melakukan perlawanan.

”Apalagi hal ini selalu terjadi dalam konteks politik. Karena memang dalam yang namanya teori poltik, pemerintah dan rakyat ini memang selalu ada yang miss. Tinggal tergantung bagaimana kita membangun komunikasinya,” tutur Direktur Amir Mahmud Center yang bergerak dalam bidang kajian Kontra Narasi dan Idiologi dari paham Radikal Terorisme ini.

Oleh sebab itu ia berharap agar para tokoh di Indonesia ini dan para pemimpinnya memahami wawasan kebangsaan yang religius. Karena menurutnya kalau soal perbedaan, memang harusnya ada yang namanya perbedaan, tetapi perbedaan tidak seharusnya sampai menyulut kepada hal-hal yang sifatnya chaos dan lain sebagainya.

”Justru perbedaan ini harusnya memberikan warna dalam demokrasi kita. Dan sudah ada aturan dan tempatnya untuk menyalurkan perbedaan-perbedaan itu. Jadi tinggal bagaimana masyarakat dan para tokoh ini menyikapi hal tersebut,” ucap mantan anggota Pelajar Islam Indonesia itu.

Lebih lanjut, Amir Mahmud mengungkapkan bahwa para tokoh tersebut harus betul-betul memahami ideologi Pancasila, khususnya sila pertama. Karena disitulah letak wawasan kebangsaan yang religius yang sebetulnya berada.

”Jangan malah mengatakan NKRI bersyariah, padahal di sila 1 Pancasila itu ketuhanan yang maha esa, itu sudah bertentangan,” jelas peraih Doktoral bidang Studi Islam dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.

Untuk menanggulangi hal tersebut, menurutnya pemerintah perlu memberikan semacam tekanan untuk memperkecil ruang gerak mereka. Maka dari itu dirinya menyebut bahwa dalam hal ini diperlukan peran daripada aparat keamanan jika terjadi tindakan-tindakan yang melawan hukum. Dan menurutnya sejauh ini langkah yang dilakukan oleh pemerintah sudah tepat.

”Karena sebetulnya pemerintah sudah memberikan ruang kepada mereka-mereka ini untuk berkomunikasi, berdialog. Tetapi mereka tidak mengikuti mekanisme yang sudah disediakan tersebut maka memang perlu dilakukan tindakan sesuai dengan kondisi yang ada,” ujar lulusan S2 bidang Sosiologi Agama dari Universitas Muhamadiyah Surakarta.

Lebih lanjut, pria yang juga alumni Akademi Militer Afghanistan tahun 1985 ini juga berpesan kepada para generasi muda untuk melakukan evaluasi diri yang kemudian berperan lebih kepada bangsa. Apalagi menurutnya di era teknologi jangan sampai generasi muda justru terbawa arus global yang meninggalkan nilai-nilai dasar falsafah Pancasila.

”Sebab dengan percepatan teknologi informasi yang  ada, maka kalau kita meninggalkan Pancasila bisa jadi masalah bagi bangsa ini ke depan. Bisa kita lihat saat ini sudah ada pemuda-pemuda yang tergiur dengan ideologi-ideologi yang bertentangan dengan pancasila atau tidak sesuai dan harus kita cegah hal itu,” pungkasnya. (Ryman)