DPD, Senator Dengan Kekuasaan Setengah Hati

oleh -
Peneliti di Sabda Palon Institute, Ferlansius Pangalila

Oleh: Ferlansius Pangalila

“DPD rasa Partai Politik?” ungkapan yang sepertinya mengandung kebenaran. Hal ini bukan tanpa alasan, coba lihat DPD periode 2014-2019, seperti tidak betah disebut Senator, dan berbondong-bondong pindah ke kamar sebelah, masuk Partai Politik. Mulai Ketua sampai tidak sedikit anggota DPD saat ini ingin lanjut ke Senayan tetapi tidak lagi utusan daerah melainkan naik kendaraan Partai Politik. Mengapa demikian? Apa DPD tidak semanis seperti gula import?

Konstitusi kita mengatur bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota DPD adalah dari perseorangan bukanlah Partai Politik, sehingga kedudukan anggota DPD dalam lembaga perwakilan rakyat tesebut adalah sebagaimana utusan daerah dan bukanlah utusan Partai Politik. Tetapi apakah status ini masih kurang favorite sehingga terkesan kurang diminati secara serius oleh kebanyakan politisi.

Letak permasalahannya sejak dari awal ada dalam Konstitusi kita ini. Semangat bikameral dalam lembaga perwakilan rakyat yang diupayakan dengan amandemen UUD NRI 1945 menetapkan bahwa MPR terdiri dari DPR dan DPD, hanya saja kewenangan yang diberikan kepada DPD seperti setengah hati. Berbeda dengan saudara tuanya DPR, yang dengan bangga menyebut sebagai Anggota Legislatif, karena memang fungsi legislasi yang ada dalam diri DPR tidak dibatasi hanya untuk hal-hal tertentu saja.

Kewenangan DPD yang diatur dalam Pasal 22D UUD NRI 1945 tidak mencerminkan lembaga perwakilan bikameral sebagaimana mestinya. Teorinya dalam lembaga perwakilan terdapat dua unsur yang memiliki kewenangan yang sama terkait bidang legislasi dan pengawasan. Tetapi dalam praktek ketatanegaraan DPD kewenangannya hanya sebagai pelengkap prosedural saja. Anggota DPD adalah jabatan konstitusional tetapi kewenangannya terbatas juga secara konstitusional alias Senator dengan kekuasaan setengah hati.