Elit Politik Dan Kematangan Demokrasi

oleh -
Goris Lewoleba, Alumni KSA X LEMHANNAS RI, Direktur KISPOL Presidium Pengurus Pusat ISKA, dan Wakil Ketua Umum VOX POINT INDONESIA. (Foto: Ist)

Goris Lewoleba *)

Hari-hari belakangan ini,  kita semua sebagai warga masyarakat bangsa Indonesia sedang menanti dengan sabar akan mulai digelarnya  Sidang Perdana Mahkamah Konstitusi pada besok Hari Jumat,  Tanggal 14 Juni 2019 untuk memutuskan sengketa Politik Pemilu, baik Pemilu Presiden maupun Pemilu Legislatif.

Penantian itu telah menjadi semacam kerinduan untuk segera mengetahui hasil Pemilu yang sekian lama kita dambakan,  serta  relatif menyita banyak perhatian dari semua pihak, baik  di dalam negeri maupun di kalangan manca  negara, yang konon katanya  merupakan Pemilu yang paling rumit di dunia.

Meskipun demikian, sebagai warga negara, kita  telah dengan sangat  setia melaksanakanya secara lancar dan sukses melalui partisipasi politik di atas 80 %,  walau di sana sini  masih menyisakan beberapa persoalan yang mesti diselesaikan, termasuk pertikaian politik  sebagai konsekuensi dari sebuah  proses Demokrasi. Hasil dan proses seperti ini, dapat   sekaligus menjadi referensi yang elegan bagi   pelaksanaan Pemilu di masa mendatang.

 

Demokrasi, sebuah Sistem

Demokrasi sebagai  sebuah sistem, telah mengindikasikan bahwa, Pemilu bukan segalanya, meski ia amat diperlukan. Mustahil ada Demokrasi tanpa Pemilu, karena demokrasi mensyaratkan peranserta masyarakat yang menggunakan hak pilihnya  melalui perwakilan di Partai Politik yang difasilitasi oleh para Elit Politik dalam Pemilu. Hal ini dapat dipahami dalam sudut pandang yang lain seperti yang dikutip oleh Imam Subkhan (2004) bahwa, pelaksanaan pemilu bertumpu pada asumsi dimana,  demokrasi bukan hanya  berbicara tentang sebuah sistem dan prosedur pemerintahan, yang oleh Schumpeter dise but sebagai Motode Politik.

Berkenan dengan hal itu, ditegaskan pula  bahwa, metode  demokrasi tidak lebih dari pengaturan kelembagaan untuk mencapai aneka keputusan politik dimana individu melalui perjuangan memperebutkan  suara rakyat pemilih dalam  memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan politik  (Huntington, (1991).

Ditegaskan pula bahwa, sebuah gagasan yang meletakkan kesadaran dimana, kekalahan  dalam Pemilu tidak direspon dengan perlawanan atas rezim yang menang, namun menerima kenyataan dengan lapang dada,  dan menunggu pada  putaran Pemilu berikutnya. Demokrasi prosedural seperti ini diyakini sebagai jalan yang paling mungkin untuk menuju perbaikan dan kemajuan sebagaimana dicatat oleh Robert A Dahl dalam On Democracy (1999).

Meskipun demikian, kematangan demokrasi selalu diperhadapkan dengan sikap dan pandangan  Elit Politik yang tidak siap menerima kenyataan politik sebagai konsekuensi dari Demokrasi itu sendiri.

 

Kerukunan Elit Politik

Ada semacam adagium politik yang menegaskan bahwa, walaupun berbeda pandangan  politik, tetapi tidak melunturkan warna dasar dari persahabatan sebagai anak bangsa dan  sesama manusia;  demikian juga  sebagai figur tokoh politik.  Apalagi ada juga axioma politik  yang mengatakan bahwa di dalam politik,  tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan.

Sehubungan dengan hal  tersebut di atas, maka sebagai masyarakat bangsa Indonesia, kita tidak perlu terlalu kuatir secara berlebihan dalam menyikapi situasi menjelang Sidang Perdana Mahkamah Konstitusi, berikut  semua Sidang Mahkamah Konstitusi  selanjutnya untuk  memutuskan sengketa Pemilu, baik Pemilu Presiden maupun Pemilu Legislatif.  Kita semua percaya sepenuhnya kepada keputusan Sidang Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat.  Kita juga  percaya bahwa,  elit politik kita masih dan senantiasa memiliki hati nurani yang mengedepankan perdamaian, persatuan dan kesatuan  demi keutuhan  warga masyarakat,  sebagai anak kandung dari Ibu Pertiwi,  Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Oleh karena itu, dengan tetap menghormati Keputusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan siapapun yang akan menang, maka itulah kemenangan seluruh rakyat Indonesia. Demikianpun sebaliknya, siapapun yang dinyatakan oleh keputusan Sidang Mahkamah Konstitusi sebagai pihak yang kalah, maka hendaklah menerima kekalahan itu  dengan berbesar hati, karena sesungguhnya kemenanga yang paling besar dalam hidup adalah menerima kekalahan dengan lapang dada

Adalah sikap yang sangat terpuji yang telah  ditunjukkan oleh Prabowo Subianto yang menghimbau kepada seluruh pendukungnya,  melalui  salah satu saluran Media TV Swasta Nasional, bahwa tidak perlu datang ke Mahkamah Konstitusi ketika akan diadakan Sidang terkait dengan penyelesaian sengketa Pemilu. Sikap dan pandangan elit politik  seperti ini merupakan sikap elit politik yang sangat positip dan dapat  memberikan  kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan dan Kematangan Demokrasi di Indonesia. Jika ini didengar dan dilaksanakan dengan baik dan benar serta bertanggung jawab, maka hal tersebut akan dapat memberikan legacy kepada seluruh warga masyarakat bangsa Indonesia, terutama kepada lapisan  generasi mendatang,  bahwa kebijaksanaan elit politik telah memberikan jaminan bagi Kematangan Demokrasi di Indonesia, yang pada gilirannya akan dapat semakin mendewasakan masyarakat Indonesia dalam bidang sosial politik dan kemasyarakatan.

*) Goris Lewoleba, Alumni KSA X  LEMHANNAS RI, Direktur KISPOL Presidium Pengurus Pusat ISKA, Wakil Ketua Umum VOX POINT INDONESIA.