Elit Politik Tidak Dewasa dalam Berdemokrasi

oleh -
Dr. iur. Liona Nanang Supriatna,S.H., M.Hum. Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan.(Foto: Ist)

Bandung, JENDELANASIONAL.ID — Elit Politik harus memberikan contoh pendidikan politik dan komunikasi politik yang sesuai dengan etika politik Pancasila. Hal ini dikemukakan oleh Dr. iur. Liona Nanang Supriatna,S.H., M.Hum. Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan menanggapi situasi dan kondisi politik menjelang pengumuman resmi KPU tanggal 22 Mei 2019 yang semakin memanas.

Keadaan yang tidak sehat ini tidak hanya dialami oleh elit politik melainkan juga oleh seluruh lapisan masyarakat bahkan sampai berpengaruh pada hubungan kekeluargaan. Hal ini diakibatkan oleh tidak dewasanya elit politik di Indonesia dalam berdemokrasi yang berlawanan arah dengan tumbuhnya eforia kesadaran politik dalam masyarakat yang cukup tinggi.

Liona menegaskan bahwa bangsa Indonesia akan mengalami tamparan keras apabila ada pihak-pihak yang bertindak inkonstitusional, seperti people power. Selama ini Bangsa Indonesia dikenal memiliki nilai-nilai Pancasila yang sudah diakui di dunia. Rakyat Indonesia telah melaksanakan “kedaulatan rakyat“ melalui pemilihan umum serentak yang diselenggarakan pada tanggal 17 April 2019. Apabila ada pihak-pihak yang tidak puas maka semua pihak wajib menempuh penyelesaian sengketa tersebut sesuai dengan hukum positif Indonesia.

Sebagai dasar falsafah negara, Pancasila tidak hanya merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan, melainkan juga merupakan sumber moralitas terutama dalam hubunganya dengan legitimasi kekuasaan, hukum serta sebagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara termasuk mengikuti tahapan-tahapan Pemilu.

Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Pemilu, KPU sesuai dengan etika politik telah menjalankan tugas dan kewajibannya serta kekuasaan dalam dalam penyelenggaraan pemilu telah berdasarkan Asas legalitas (Legitimasi hukum), asas demokrasi (legitimasi demokrasi) dan dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral (legitimasi moral).

Oleh karena itu dia meminta semua pihak untuk mengamalkan sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. Indonesia, katanya, sesungguhnya bukanlah negara teokrasi dan bukan negara liberal. Indonesia mengakui nilai-nilai agama masuk ke dalam wilayah publik, termasuk politik. Namun tidak ada landasan hukum bahwa pemilu tahun 2019 merupakan kemenangan ataupun kekalahan satu agama apapun.

Kedua, terkait sila kedua yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, politik di Indonesia harus dijalankan dengan semangat keadaban dalam kerangka masyarakat demokratis yang menjunjung supremasi hukum.

Ketiga, Persatuan Indonesia, yaitu bahwa praktik politik di Indonesia harus diarahkan pada semangat menjaga kebhinnekaan dalam kerangka NKRI. Maka dari itu Polri harus secara konsisten melakukan penegakan hukum terhadap praktik politik yang mengancam kebhinnekaan.

Keempat, Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, yaitu menghendaki segala praktik penyelenggaraan negara termasuk apa yang dilakukan KPU telah mewakili kepentingan rakyat (legitimasi rakyat), dan berdasarkan prinsip-prinsip moralitas (legitimasi moral). Karena itu, segala keputusan KPU wajib kita hormati bersama.

Kelima, Sila Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, menghendaki penyelenggaraan Pemilu oleh KPU telah dilaksanakan dan diarahkan agar pemiu dapat terlaksana secara demokratis dan kelak akan terwujudnya pemerataan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. (Ryman)