Ery Seda: Bermisi di Tengah Masyarakat Terbelah Jadi Tantangan Gereja

oleh -
Sosiolog Universitas Indonesia, Dr. Fracisia Saveria Sika Seda atau biasa disapa dengan Ery Seda. (Foto: Kedermawanansosial.com).

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID –Indonesia saat ini belum selesai dengan ideologi kebangsaan, Pancasila. Yang menjadi permasalahan dalam pembangunan bukan saja program kerja, strategi pembangunan dan lain sebagainya, melainkan juga pertarungan ideologi negara ini.

Demikian dikatakan Sosiolog Universitas Indonesia, Dr. Fracisia Saveria Sika Seda atau biasa disapa dengan Ery Seda dalam Kongres Misi 2019 Komisi Karya Misioner KWI bersama dengan Karya Kepausan Indonesia di Jakarta beberapa waktu lalu.

“Indonesia belum selesai dengan ideologi kebangsaaannya,” ujar Ery Seda. Acara itu dimoderatori oleh Romo Paulus Christian Siswantoko, atau yang lebih dikenal dengan Romo Koko, Sekretaris Komisi Kerawam Konferensi Waligereja Indonesia (Kerawam-KWI).

Menurut Ery, pertarungan ideologi itu dipertegas dalam Pilkada DKI Jakarta pada 2017, serta Pilpres yang belum lama ini berakhir.

Dalam data yang dipaparkan, presiden terpilih memperoleh suara terbanyak dari daerah-daerah dengan agama minoritas, seperti Bali, Nusa Tenggara Timur, diikuti dengan Yogyakarta, Jawa Tengah, serta Jawa Timur. Sementara pesaingnya, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, memperoleh suara terbanyak dari daerah dengan agama mayoritas, seperti Aceh, Sumatera Barat, Banten, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, serta Sulawesi Tenggara.

Data ini menunjukkan bahwa masyarakat sekarang memilih pemimpin berdasarkan agama dan konstestasi ideologi.

“Kita tidak bisa mengganggap Pancasila itu taken for granted. Persoalannya sekarang adalah siapa pemimpin yang masih akan membawa kita ber-Pancasila dengan segala konsekuensinya,” ucap dosen yang mengajar di Universitas Indonesia sejak 1991 itu.

Ery mengatakan, keberagaman merupakan sebuah kekayaan. Namun, sangat disayangkan akhir-akhir ini keberagaman itu justru menjadi sumber konflik.

“Secara sosial-kultural, kita ini dalam kondisi yang tidak terlalu kohesif. Pembelahan di dalam masyarakat kita, kalau dulu pembelahannya berbasiskan stratifikasi sosial; lapisan bawah, menengah, dan atas; sekarang sayangnya, pembelahannya itu horizontal,” ujarnya.

Pembelahan masyarakat secara horizontal tersebut, katanya, berbasiskan agama, kepercayaan, ideologi, dan orientasi politik. Berangkat dari persoalan di atas, dia menyoroti apa yang dapat dilakukan oleh Gereja di tengah situasi masyarakat yang terbelah ini.

“Hal mengenai pembelahan masyarakat bukan hanya secara vertikal tapi juga horizontal ini, menjadi tantangan sekaligus kesempatan bagi kita yang memang sungguh-sungguh mau menjalankan dibaptis dan diutus,” ucapnya.

Dalam semangat misioner, dibaptis, dipanggil dan diutus, Gereja Katolik secara konsisten menyuarakan keberpihakan pada keberagaman serta inklusivitas Pancasila.

Dia mengambil contoh Keuskupan Agung Jakarta secara rutin setiap tahun, secara khusus mendalami setiap sila yang terdapat dalam Pancasila. Relasi antarkelompok keagamaan juga menjadi sarana bermisi di tengah masyarakat saat ini. Dialog masih tetap penting meskipun dirasa masih tidak cukup.

“Bermisi di Papua, bermisi di NTT, tentu berbeda dengan bermisi di Aceh, di Kalimantan, dan di Jawa,” ujarnya seperti dikutip Dokpenkwi.org.

Konteks lokal ini masih harus dicermati, karena kita hidup di dalam keberagaman, tapi keberagaman itu agak lebih kompleks.

Menurutnya, konteks lokal saat ini kadang menjadi lebih penting daripada konteks nasional. “Oleh karena itu, keberagaman itu, dalam konteks misi, perlu dikontekstualisasikan dalam konteks lokal, terutama dalam konteks keuskupan. Itu penting sekali,” pungkasnya. (Ryman)