Evaluasi 2021, Kebijakan Pemerintah dan Ancaman Pandemi Gelombang Ketiga

oleh -
Diskusi Twitter Space Forum Ekonomi Politik Didik J Rachbini bertajuk “Pandemi dan Kebijakan Pemerintah : Evaluasi 2021”, pada Jumat malam (24/11). (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Semua negara terkejut dan tidak siap menghadapi pandemi Covid 19 yang merebak pada tahun 2020. Sikap pemerintah Indonesia waktu itu – yang sangat disayangkan berbagai kalangan – yaitu melakukan penyangkalan (denial) terhadap virus tersebut. Akibatnya suasana diskursus publik kacau dan tidak menemukan ke mana arah penanggulangan pandemi oleh pemerintah.

“Awalnya memang penangangan pandemi tak terkendali, namun setelah pergantian menteri, saat ini pandemi memang terkendali. Tentu kita harus beri apresiasi kepada pejabat dan kebijakan yang sukses,” ujar Rektor Universitas Paramadina, Prof Didik J. Rachbini dalam Diskusi Twitter Space Forum Ekonomi Politik Didik J Rachbini bertajuk “Pandemi dan Kebijakan Pemerintah : Evaluasi 2021”, pada Jumat malam (24/11). Diskusi itu menghadirkan pembicara yaitu Ekonom Senior Dr Bayu Krisnamurthi dan Dosen Paramadina Graduate School of Diplomacy, Managing Director Paramadina Public Policy Institute, Ahmad Khoirul Umam, Ph.D.

Didik mengatakan, di dalam negeri yang paling kentara terdampak serta agak kacau adalah sektor fiskal. Terjadi proses pengambilan keputusan yang tidak menentu. “Ada semacam ‘Politik Perbanditan’ karena semula pada 2020 direncanakan obligasi sejumlah Rp650 triliun untuk membayar pokok dan bunga utang serta operasi pembangunan. Lalu ketika terjadi pandemi tiba-tiba anggaran diubah menjadi Rp1220 triliun. Namun realisasinya sekarang menjadi Rp1500 triliun. Kiranya hal itu menjadi cukup berat bagi presiden mendatang,” ujarnya.

Namun, kata Didik, kita harus bersyukur karena covid 19 cukup terkendali di tengah babak belurnya sektor retail, sektor riil, UMKM dan lain-lain. Sementara retail perlahan sudah bertransfomasi ke e-commerce.

 

Berkat Kemajuan Teknologi

Bayu Krisnamurthi mengatakan, ketika covid 19 muncul, sebenarnya tidak ada negara yang siap. Karena itu pula pemerintah terkesan gagap mengatasinya, dan tidak tahu ke arah mana evolusi atau perkembangan wabah mematikan itu.

“Tetapi setelah berjalan hampir dua tahun, telah bisa dibuat potret atau gambaran tentang apa yang terjadi jika dilihat dari berbagai perspektif. Semua itu memang sangat erat kaitannya dengan kebijakan atau respon pemerintah,” kata Bayu.

Pada awal covid 19, wabah menyebar dengan sangat cepat. Pada tahap awal penanganannya atau pada fase pertama penanganan pandemi, pemerintah Indonesia, termasuk negara-negara terdampak, sibuk mencari cara menghadapi wabah covid 19. Misalnya muncul masalah terkait pengobatan, Alkes, tenaga medis dan lain-lain sementara vaksin belum ada.

Respon di seluruh negara waktu itu hampir seragam yakni melakukan lockdown dengan berbagai bentuk yang intinya mengisolasi atau menghentikan pergerakan manusia.

“Dampak dari terhentinya pergerakan manusia, terjadi krisis supply chain, krisis logistik, krisis pergerakan/pasokan barang. Tentu saja barang tidak akan bisa bergerak jika tidak ada manusia yang menggerakkan,” ujar Komisaris Utama merangkap Komisaris Independen PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) atau RNI ini.

Kemudian pada fase ke-2, ditandai dengan munculnya krisis ekonomi atau resesi karena tidak ada transaksi ekonomi. Pergerakan ekonomi hanya bersifat lokal, di toko-toko setempat, penjualan dilakukan secara online dan lain-lain. Ekonomi juga dilakukan dalam jarak pendek.

Untungnya, kata Bayu, berkat kemajuan teknologi, vaksin covid 19 segera tercipta. Kecepatan memproduksi vaksin juga ternyata dua kali lebih cepat ketimbang masa flu burung pada 2006-2007 lalu. Produksi dan logistik vaksin juga sangat cepat terjadi. Hal ini sangat luar biasa karena hanya dalam hitungan bulan di dunia ratusan juta orang telah divaksin.

Di Indonesia, katanya, saat ini sudah ada sekitar 150 juta orang yang telah divaksin. Kinerja masing-masing negara dalam melakukan vaksinasi dan kemampuan menghadapi covid 19 tentu berbeda-beda. Di USA dan Eropa telah beberapa bulan lalu menyatakan sudah bebas covid dan kegiatan ekonomi telah dibuka.

Saat lockdown dicabut, dan kegiatan ekonomi dibuka, terjadi respon cepat dari sisi demand side yang langsung naik. Orang mulai belanja dan mencari produk setelah tertahan selama dua tahun di berbagai sektor konsumsi.

“Namun hal itu tidak cepat direspon oleh supply side karena proses produksi/supply setelah terhenti pada masa lockdown dan resesi tidaklah secepat sisi permintaan. Terjadi semacam kemacetan supply chain, dan itu pasti tidak akan bisa kembali pada titik sebelum covid 19. Karena ketika lockdown terjadi penghentian supply yang amat drastis. Otomatis untuk naik kembali ke titik semula akan memakan waktu lama,” kata Wakil Menteri Pertanian Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II periode 2009-2011 ini.

Wakil Menteri Perdagangan KIB II periode 2011-2014 ini menambahkan, pertumbuhan e-commerce UMKM di Indonesia setelah kejatuhan akibat covid 19, hanya tumbuh 15-18 persen.

 

Ancaman Gelombang Ketiga

Sementara itu, Ahmad Khoirul Umam menyoroti struktur belanja pemerintah pada 2021 sangat merusak segala sektor. Dia mengatakan, belanja pemerintah tidak merepresentasikan apa yang disampaikan presiden kepada jurnalis di forum G20 bahwa akan dilakukan reformasi sektor kesehatan. Yang terjadi adalah komposisi anggaran kesehatan tetap terpaut jauh dengan anggaran untuk infrastruktur.

Anggaran infrastruktur 2021 mencapai Rp441 triliun sedangkan sektor kesehatan hanya mencapai Rp169 triliun. “Jelas terjadi inkonsistensi komitmen dengan implementasi kebijakan anggaran antar sektor,” ujarnya.

Ketika terjadi lonjakan luar biasa covid 19 varian delta pada Juli-Agustus 2021, dari hasil riset di 12 kota di seluruh provinsi Pulau Jawa, ditemukan proses kapasitas mendeteksi, maupun persepsi masyarakat terhadap covid 19 yang berbeda dengan visi yang disampaikan pemerintah. Dia mengatakan ada problem serius akibat ketidaksamaan visi  yang tidak nyambung dalam memandang penanganan wabah antara pemerintah dan masyakat.

Hal ini, katanya, bisa terjadi karena dua hal. Pertama, karena lemahnya literasi masyarakat. Kedua, karena lemahnya komunikasi kebijakan publik pemerintah. Sejumlah kebijakan terkesan membuat masyarakat bingung, tidak terjelaskan dengan baik. Dia mencontohkan himbauan masuk mall boleh, tapi masuk ke masjid tidak boleh. “Hal yang dipandang remeh, tapi sebenarnya mengandung substansi yang signifikan,” ujarnya.

Khoirul Umam mengatakan, sikap denial pemerintah sejak merebaknya covid 19 berimplikasi cukup serius terhadap strategi penanganan wabah. Baik dalam bentuk kebijakan dan pergantian rantai komando penanganan covid yang membuat masyarakat bingung karena beberapa kebijakan yang bertentangan satu dan lain hal.

Dia mengatakan, sejumlah masalah tetap belum terselesaikan hingga saat ini. Contohnya adalah masih tidak nyambungnya leadership dengan followership. Misalnya, banyak kepala daerah yang cenderung memanipulasi data korban wabah demi prestise agar terbebas dari tekanan politik.

“Hal ini adalah konteks kebijakan yang tidak didasarkan pada orientasi kebijakan itu sendiri. Tetapi menggunakan paradigma ‘politics base policy’ atau kebijakan yang lebih menitikberatkan pada kalkulasi kepentingan politik. Sehingga konteks problem solving dan public delivery service kurang nyambung. Hal itu perlu menjadi catatan agar ancaman gelombang ke-3 dapat diminimalisir,” tuturnya.

Yang juga penting diperhatikan, katanya, adalah perlunya transparansi, akuntabilitas dan ketepatan kebijakan terutama terkait konteks dana PEN (Penyelamatan Ekonomi Nasional) dan Bansos yang seharusnya tepat sasaran untuk menyelamatkan denyut ekonomi rakyat. Karena itu, perlu juga dilakukan pendampingan masif terkait teknologi digital/marketing, dan hal-hal teknis lain seperti packaging, kualitas produk dan yang lain-lain.

Kasus harga PCR juga mendapat sorotannya. Khoirul Umam mengatakan, kasus yang menimpa Lutfi Hasan Ishak (LHI) dalam kasus daging sapi impor beberapa waktu lalu bisa dijadikan perbandingan. Yang unik adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) waktu itu memutuskan terjadi trading of influence terkait kapasitas LHI sebagai pejabat tinggi yang dapat berimplikasi pada kepentingan umum sektor strategis yakni ketersediaan pangan nasional.

Karena itu, katanya, dalam kasus PCR yang semula berada pada kisaran tarif Rp700-800 ribu dan kemudian tiba-tiba turun sampai Rp200 ribu bisa memunculkan pertanyaan. Apalagi, terdapat gap harga yang begitu besar, yang jika dikalikan dengan sekian banyak konsumen, maka jumlahnya sangat fantastis.

“Amat sangat kasat mata adanya masalah. Hal itu juga harus disikapi oleh KPK – sama ketika menyidik kasus LHI – di mana KPK harus menuntut pihak-pihak yang seolah-olah ignorance (tidak mau tahu) padahal telah sangat merugikan kepentingan publik dalam konteks kesehatan nasional,” ujarnya.

Diskusi selama satu jam lebih tersebut berlangsung dengan santai, bahkan bisa mengenakan sarung atau bahkan bisa sambil tiduran. ***