Ferdy Sambo Dan Keadilan Sosial

oleh -
Ferlansius Pangalila adalah Mahasiswa Doktoral FISIP Universitas Indonesia, dan Wakil Sekretaris Jenderal PP ISKA.

Oleh: Ferlansius Pangalila*)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID – Apa hubungan Ferdy Sambo dengan keadilan sosial? Barangkali pertanyaan ini menjadi penting apabila sedikit refleksi mengenai perjalanan kasus ini yang syukur sudah ada langkah maju meski beberapa hal masih misteri. Tapi biarlah yang misterius itu menjadi urusan penegak hukum dalam sistem peradilan pidana. Dalam hal ini saya hanya mencoba menangkap ekspresi publik terhadap kasus ini dalam konteks keadilan sosial.

Keadilan sosial boleh dipahami atau kita batasi saja sebagai hak asasi yang diterima oleh semua orang, tentu hak asasi ini diberi atau setidaknya dijamin oleh negara melalui institusi-institusinya termasuk kepolisian. Memang berbeda pemahaman ini dengan keadilan pribadi yang dalam arti hak asasi pribadi yang mesti diterima oleh setiap warga negara, contohnya Brigadir J yang juga diperjuangkan hak asasinya meski Brigadir J telah meninggal dunia (tanpa mengurangi hak asasi Ferdy Sambo, istrinya dan semua orang yang terlibat dalam cerita-cerita berkaitan).

Dalam konteks keadilan pribadi Bripka J yang diperjuangkan oleh keluarganya juga berdimensi keadilan sosial yang diharapkan oleh masyarakat agar dapat segera terwujud. Memang hukum hukum pidana itu berdimensi publik/sosial meski berangkat dari kasus-kasus yang bersifat pribadi.

Keadilan pribadi ini dijamin juga oleh negara melalui institusi-institusinya, maka tidak salah jika keluarga Brigadir J atau siapa pun berhak memperoleh pelayanan yang baik termasuk pelayanan hukum dalam prinsip “Equality before the law”, semua orang diperlakukan sama di mata hukum, tidak peduli Perwira, Bintara maupun  Tamtama, bahkan rakyat jelata sekalipun harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah, pokoknya hukum tidak boleh hanya menguntungkan salah satu pihak saja tanpa ada alasan yang sah dan jelas secara hukum.

Kasus Ferdy Sambo mengingatkan kita pada prinsip “equality before the law” ini, pangkat dan jabatan sering membutakan penegak hukum dalam penanganan kasus. Kita masih ingat bahwa di awal kasus ini terbongkar ke publik, banyak cerita yang tidak jelas beredar dan tentu beberapa masih misteri hingga hari ini. Tetapi kasus ini tentu saja mengorek hati nurani kita sebagai masyarakat, terlepas bahwa peranan media telah membantu dalam menyita perhatian publik ini, penegak hukum sekelas Kapolri dan pemerintah seperti Menko hingga Presiden pun bereaksi.

Saya melihat reaksi sosial terhadap kasus Ferdy Sambo ini sebagai reaksi atas ketidakadilan sosial yang sebenarnya dialami oleh masyarakat. Boleh jadi kasus ini hanya sebagai pemicu dari rasa ketidakadilan sosial yang dialami oleh sebagian masyarakat yang berhadapan dengan sistem peradilan pidana. Apa yang dialami dalam kasus Ferdy Sambo secara hukum pidana tidak berbeda dengan kasus-kasus pidana yang terjadi selama ini, mestinya tidak ada yang istimewa baik dalam perlakuan terhadap “tersangka” maupun terhadap “korban”.

Memang penanganannya ini dinilai sebagian orang terlalu berlebihan dalam pemberitaan media, sehingga mengorek rasa keadilan sosial bagi masyarakat yang lain. Tentu ini harus dilihat secara positif bahwa reaksi yang sedemikian itu berdampak pada keadilan yang akan segera terwujud bagi setidaknya “korban” dan “tersangka”, dalam hal ini keluarga Brigadir J dan juga termasuk bagi Ferdy Sambo dan Keluarganya serta para pihak yang terkait dalam kasus ini dalam peran masing-masing.

Namun di sisi lain, ini harusnya juga menjadi alarm atau tanda awas bagi Penegak hukum dan pemerintah (dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana) bahwa masih banyak kasus-kasus yang dialami oleh masyarakat yang masih perlu ditangani serius oleh penegak hukum. Tidak sedikit kasus pidana yang masih mengendap atau terbengkalai di meja laporan para penyidik POLRI, entah karena kekurangan bukti, ketidakjelasan status “korban” maupun “tersangka” dan atau karena “pilih kasih” (tebang pilih) dalam memperlakukan korban maupun tersangka.

Mari kita lihat, berapa banyak kasus yang masih menjadi “pekerjaan rumah” di setiap tingkatan Penegak Hukum. Bukankah selain prinsip “cepat, sederhana dan berbiaya ringan” dalam hukum pidana, prinsip “equality before the law” berlaku bagi siapa saja. Adanya kejelasan status dan penanganan yang cepat, sederhana dan berbiaya ringan terhadap berbagai kasus pidana yang masih mengendap dan terbengkalai akan menjadi prestasi tersendiri dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semoga.

*) Ferlansius Pangalila adalah Mahasiswa Doktoral FISIP Universitas Indonesia, dan Wakil Sekretaris Jenderal PP ISKA.