Gangguan Pelantikan Presiden, Upaya Mendelegitimasi Pemerintahan Jokowi

oleh -
Diskusi bertajuk “Menakar Situasi Polhukam Menjelang Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden” yang diselenggarakan oleh Indonesian Publik Institute (IPI) di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (15/10). Diskusi menghadirka para narasumber yaitu Dr. Tb. Ace Hasan Syadzily, Anggota DPR RI F-GOLKAR, Dr (kandidat) Stanislaus Riyanta, pengamat Intelijen dan Keamanan, Dr. Hendrasmo, MA, Tenaga Ahli Dirjen KIP Kemenkominfo, dan Karyono Wibowo, pengamat politik/Direktur IPI. (Foto: JN)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Beberapa kejadian selama ini seperti kasus Wamena, Papua, demonstrasi mahasiswa yang menolak pengesahan rancangan undang-undang, hingga penusukan Menkopolhukam Wiranto merupakan kasus yang berdiri sendiri. Kasus tersebut tak memiliki kaitannya dengan pelantikan Presiden/Wakil Presiden pada 20 Oktober 2019 mendatang.

Sejauh ini tidak ada indikasi kuat yang menunjukkan bahwa ada ancaman maupun gangguan terhadap pelantikan tersebut.

Demikian kesimpulan diskusi bertajuk “Menakar Situasi Polhukam Menjelang Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden” yang diselenggarakan oleh Indonesian Publik Institute (IPI) di kawasan Cikini,  Jakarta Pusat, Selasa (15/10). Diskusi menghadirka para narasumber yaitu Dr. Tb. Ace Hasan Syadzily, Anggota DPR RI F-GOLKAR, Dr (kandidat) Stanislaus Riyanta, pengamat Intelijen dan Keamanan, Dr. Hendrasmo, MA, Tenaga Ahli Dirjen KIP Kemenkominfo, dan Karyono Wibowo, pengamat politik/Direktur IPI.

“Ada beberapa peristiwa yang bisa memengaruhi pelantikan Presiden dan Wakil Presiden. Pertama yaitu kerusuhan Wamena, kedua penolakan terhadap pengesahan RUU, dan terakhir yaitu penusukan terhadap Wiranto. Pertanyaannya adalah apakah ada korelasi peristiwa itu dengan  pelantikan Presiden? Menurut saya tidak ada korelasi yang langsung terhadap pelantikan Presiden. Peristiwa itu berdiri sendiri, tidak ada korelasinya satu sama lain,” ujar Direktur IPI, Karyono Wibowo.

Namun, katanya, gangguan terhadap pelantikan presiden bukan terjadi pada saat ini saja. Pada tahun 2014 lalu, gangguan terhadap pelantikan Presiden Jokowi juga terjadi. Namun, gangguan itu kembali gagal atau digagalkan oleh aparat keamanan. “Jadi, sejauh ini belum ada indikator yang sangat kuat untuk menggagalkan pelantikan Presiden Jokowi, termasuk dari peristiwa penusukan Menkopolhukam, Wiranto,” ujarnya.

Karena itu, kata Karyono, tujuan dari gerakan tersebut sebenarnya bukan untuk menggagalkan pelantikan Presiden, tetapi hanya untuk mengganggu stabilitas negara, dan mendelegitimasi pemerintahan Presiden Jokowi. “Tujuan dari gerakan ini adalah untuk mengganggu stabilitas dan mendelegitimasi pemerintahan Jokowi,” ujarnya.

Sementara itu Ace Hasan Syadzily mengatakan, pelantikan Presiden dan Wakil Presiden seharusnya ditanggapi dengan kegembiraan dan bukan dengan ketakutan. Pasalnya, pelantikan merupakan puncak dari sebuah kemenangan yang dicapai dalam pemilihan umum. “Pelantikan merupakan sebuah perayaan kemenangan rakyat. Karena itu, proses pelantikan seharusnya dirayakan dengan penuh kegembiraan dan bukan dengan ketakutan,” ujarnya.

Menurut Ace, berbagai tuntutan menjelang pelantikan seperti penundaan terhadap pengesahan sejumah rancangan undang-undang dan penerbitan Perppu KPK tidak memiliki kaitan dengan proses pelantikan presiden. Ace mengatakan, tuntutan tersebut telah ditunggangi oleh sekelompok orang yang hendak mengacaukan keamanan. “Kelompok inilah sebenarnya para penumpang gelap demokrasi yang belum move on dari kekalahan dalam pilpres kemarin,” ujar Ace.

Kelompok penumpang gelap tersebut memiliki agenda tersendiri yang sesuai dengan kepentingan mereka. Mereka adalah kelompok yang anti demokrasi.

Ace mengaku tidak mengetahui persisnya kelompok tersebut. Tetapi dia mengatakan, bahwa kelompok tersebut adalah mereka yang tidak menginginkan demokrasi berjalan tegak di negara ini. “Mereka adalah para penumpang gelap demokrasi yang selama ini tidak menginginkan demokrasi tetap tegak di negara ini,” ujarnya.

 

Pertemuan Jokowi dan Prabowo

Stanislaus Riyanta mengatakan, potensi ancaman gangguan keamanan yang paling dikhawatirkan seperti aksi teror diprediksi akan sulit terjadi terutama pada ring 1 mengingat ketatnya sistem pengamanan yang ada. Selain itu pasca kejadian di Menes Pandeglang, Densus 88 AT melakukan pengejaran dan penangkapan terhadap anggota JAD yang merupakan kelompok pelaku aksi teror terhadap Menko Polhukam Wiranto.

“Langkah yang dilakukan oleh Densus 88 AT ini akan membuat anggota dan simpatisan JAD untuk bersembunyi atau menjadi sleeper cell agar tidak menarik perhatian Densus 88 AT atau justru jika sudah pada tahap putus asa akan melakukan aksi dengan serangan akhir. Namun dengan ketatnya sistem pengamanan dan terbatasnya sumber daya kelompok JAD maka aksi akhir tersebut akan sulit dilakukan di Jakarta,” ujarnya.

Apalagi, kata Stanislaus, Joko Widodo sudah melakukan pertemuan dengan rivalnya, Prabowo Subianto beberapa waktu lalu, yang telah ikut meredam suasana panas. “Hal ini membuat kelompok oposisi dengan basis ideologis cenderung menentang dengan adanya rekonsiliasi Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Hubungan baik antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto menjadi kunci utama stabilitas politik saat ini. Hubungan tersebut juga berhasil memisahkan kelompok oposisi berbasis politik dengan kelompok ideologi,” ujarnya.

Sikap kelompok ideologi yang menolak rekonsiliasi, menurut Stanislaus, dapat dianggap wajar, mengingat terdapat tuntutan kelompok oposisi ideologi yang tidak mungkin dapat diakomodasi oleh pemerintah dan perbedaan prinsip yang cukup kuat.

Untuk mengantisipasi gangguan keamanan dan untuk memastikan kelancaran acara Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, pasukan gabungan TNI dan Polri dengan jumlah 27 ribu personel juga telah disiapkan. Jumlah tersebut menggambarkan kesiapan dan jaminan TNI Polri atas suksesnya acara Pelantikan Presiden dan Wapres.

“Dari berbagai hal tersebut di atas maka prediksi situasi Polhukam pelantikan Presiden dan Wakil Presiden pada 20 Oktober 2019 diperkirakan akan berjalan dengan aman dan terkendali dengan tetap mewaspadai berbagai unjuk rasa mahasiswa yang kemungkinan menjadi kendaraan bagi kelompok yang mempunyai agenda tertentu,” ujarnya.

Hendrasmo secara khusus menyoroti percakapan di media sosial pasca-penyerangan terhadap Wiranto. Dia mengklasifikasi tiga jenis percakapan. Pertama, yang memberitakan perkembangan kesehatan Wiranto. Kedua, percakapan yang mengecam ISIS. Ketiga, percakapan bernada nyinyir, candaan atau rekayasa dalam penyerangan tersebut.

Menurutnya, sekitar 64,8 persen perbincangan itu diwarnai oleh aksi kecaman terhadap penusukan Wiranto. Sisanya yaitu percakapan bernada candaan atau nyinyir terhadap aksi penikaman tersebut. Karena itu, katanya, hal itu menunjukkan bahwa masyarakat kita belum membedakan antara fakta dan fiksi.

“Percakapan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat kita belum membedakan antara fakta dan fiksi,” pungkasnya. (Ryman)