Gejolak Politik Negara Bagian Rakhine

oleh -

JAKARTA-Belantika Negara Bagian Rakhine tengah berada dalam situasi krusial. Ketegangan-ketegangan vertikal maupun horizontal yang terjadi di dalamnya merupakan kenyataan faktual yang tak bisa dipungkiri.

Di satu sisi, ketegangan vertikal yang tergambar dalam kontaksi antara pihak kekuasaan dan masyarakat biasa (pinggiran) sehubungan dengan pembangunan yang tidak merata di berbagai sektor dan wilayah negara bagian merupakan salah satu ihwal yang memantik api skeptisisme akan sebuah negara yang adil dan makmur.

Di sisi lain, ketegangan horizontal yang terejawantah dalam pertentangan interkomunitas, inter-sektarian, dan antar-agama (mayoritas-minoritas) merupakan kenyataan miris yang membuat Rakhine seolah berjalan di tempat tanpa arah dan tujuan yang jelas. Muslim sebagai agama minoritas sering menjadi sasaran kekerasan dari denominasi sektararian lainnya.

Situasi konstelasi politik ini semakin memanas dan meningkat dengan tajam ketika Myanmar hendak menghadapi perhelatan pemilu pada penghujung tahun 2015 lalu. Hal ini merupakan acaman serius bagi eksistensi konstelasi perpolitikan di Myanmark yang notabenenya sedang berada dalam masa transisi.

Bila ditelisiki, permasalahan yang dihadapi oleh negara bagian Rakhine berakar pada kekerasan berbasis senjata antara pemerintah yang otoriter dengan negara-masyarakat lebih khususnya mereka-mereka yang tidak medukung status quo pemerintahan selama beberapa dekade. Tak ayal krisis ini telah memengaruhi seluruh negara bagian dan seluruh lapisan masyarakat di dalamnya.

Tentunya krisis ini membutuhkan penanganan serius dan signifikan, mengingat Myanmar mendefinisikan dirinya sebagai masyarakat yang lebih terbuka akan kedamaian dan toleransi dengan kelomok minoritas, serta menjunjung tinggi nilai pluriformitas.

Mayoritas masyarakat Rakhine beragama Budha, sedangkan masyarakat sporadik kecil beragama muslim. Selain itu terdapat juga denominasi kecil masyarakat yang ditolak oleh pemerintahan Rakhine. Kelompok tersebut dikenal dengan sebutan Rohingya. A

gaknya Negara bagian Rakhine kurang berkaca pada fakta historis masa lalu bahwasannya mereka juga adalah minoritas yang pernah diperlakukan secara tidak adil sebelum terbentuk sebagai sebuah Negara bagian. Rakhine cenderung mengabaikan realitas kompleks dalam sebuah kehidupan bersama sehingga situasi mereka akan tetap stagnant jika ihwal dan mindset tersebut tetap dipertahankan.

Situasi yang dialami oleh masyarakat Rakhine juga acapkali dialami oleh kaum minoritas di negara bagian sekitar dalam konstelasi perpolitikan Myanmar. Umumnya semua mengeluhkan tentang diskriminasi dari pihak Negara (kekuasaan) terhadap rakyat, marginalisasi ekonomi, pelanggaran HAM, dan membatasan ekspresi bahasa dan budaya.

Sejak masa transisi dari pemerintahan lama ke pemerintahan yang baru, orang-orang Rakhine kemudian menyadari bahwa sebuah tantangan yang paling sulit bukanlah reformasi, melainkan membangun kembali konstelasi sosial, politik, dan budaya yang selama ini direperesi oleh pihak kekuasaan. Ada ketakutan bahwa orang-orang muslim dan orang Rohingya akan menjadi minoritas di negaranya sendiri; sebuah ketakutan yang telah menjadi kenyataan.

Berbicara soal solusi, tentunya hal ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan usaha dan upaya yang bersifat kontinuitas dan sustenebel. Rekonsiliasi politik hanya mungkin terjadi apabila pemerintah, masyarakat, dan semua entitas di dalamnya bersedia duduk bersama guna membicarakan tentang bagaimana kelangsungan dan eksistensi Rakhine ke depannya. Selain itu, toleransi dalam pluriformitas merupakan kunci utama dari sebuah konstelasi politik negara yang baik (good common), sejahtera, adil, dan makmur.

Sumber : International Crisis Group