Gubernur Kalteng Lempar Botol ke Stadion, Ini Kata Pakar Komunikasi Politik

oleh -
Gubernur Kalimantan Tengah, Sugianto Sabran melempar botol ke arah stadion saat pertandingan Kalteng Putra FC versus Persib Bandung. (Foto: ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Beredar video Gubernur Kalimantan Tengah, Sugianto Sabran melempar botol ke arah stadion saat pertandingan Kalteng Putra FC versus Persib Bandung.

Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing mengatakan, tindakan yang tampaknya kurang elok tersebut, dari aspek psikologi komunikasi, karena yang bersangkutan menangkap stimuli dari peristiwa pertandingan yang membuat situasi emosinya sedikit agak terganggu.

Hal tersebut bisa saja didorong oleh ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan pertandingan, sehingga menimbulkan keadaan perasaan yang tidak terkelolah dengan maksimal.

Dia mengatakan, melalui proses kognisi dan persepsi dalam diri yang bersangkutan, tentu dapat mendorong sebuah tindakan, seperti melempar botol ke arah stadion.

“Jadi,  perilaku tersebut hanya sebagai tindakan situasional yang bisa saja dilakukan oleh individu lain yang tidak bisa mengelola emosi dengan baik,” ujar Emrus yang juga Direktur Eksekutif Lembaga EmrusCorner itu.

Namun, katanya, seorang kepala daerah, sebagai orang nomor satu di daerah tersebut, sejatinya setiap ucapan dan perilakunya harus dipikirkan dulu. Sebaiknya “berhenti sejenak” sebagai suatu tindakan yang bagus, untuk merenungkan apakah ucapan dan tindakannya yang akan dilakukan wajar atau tidak wajar “diproduksi” dalam suatu situasi tertentu.

“Sebab, fungsi utama dan terutama seorang pemimpin adalah memberikan contoh,  teladan dan pendidikan bagi publik dalam bersikap dan bertindak,” ujarnya.

Merujuk pada peristiwa yang terjadi yang dimuat dalam berita berbagai media, tidak ada salahnya, menurut hemat saya SS menyampaikan kepada publik penjelasan apa yang sesungguhnya terjadi dan suasana perasaannya saat itu. Bila memungkinkan disertai penyesalan atas tindakannya yang disampaikan melalui sosial media dan media arus utama.

“Sebagai seorang panutan, sejatinya SS bisa saja menyerahkan hal tersebut kepada pihak kepolisian manakala kemungkinan ada aspek hukum yang perlu ditindaklanjuti. Hal ini perlu sebagai pendidikan hukum bagi masyarakat, agar ke depan tidak boleh terjadi hal serupa yang dilakukan oleh siapapun. Jangan sampai, kelak kemudian ada seseorang melakukan hal yang sama dengan disertai pembenaran dari perilaku SS tersebut. Ini tidak kita inginkan,” ujarnya.

Belajar dari kejadian di atas,  kita bisa ambil pelajaran yang baik. KPU bisa saja menambah syarat utama untuk menjadi bakal calon kepala daerah pada pilkada-pilkada ke depan harus dan mutlak memiliki kemampuan dan kedewasaan yang luar biasa mengelolah emosi sesuai dengan konteksnya. Mengukur kematangan emosi ini bisa dilakukan dengan meminta  bantuan dari para ahli psikologi dan pisikiater.

Selain itu, menurut Emrus, tidak ada salahnya juga kepolisian melakukan pendalaman terhadap terjadinya peristiwa tersebut secara objektif dari perspektif hukum dan sosiologi hukum untuk melakukan atau tidak melakukan langkah lajutan hukum.

Di sisi lain, teguran yang disampaikan Kapolres setempat, sekalipun SS orang nomor satu dan pejabat publik di daerah tersebut, menurut hemat saya,  akan memberikan simpati dan apresiasi yang luar biasa kepada Kapolres setempat dan jajarannya.

“Tindakan teguran tersebut sekaligus menunjukkan bahwa Kapolres setempat dan segenap jajarannya sebagai polisi penjaga dan pengelolah keamanan serta ketertiban di tengah masyarakat. Ia tidak ingin ada tindakan serupa dari siapapun yang bisa memicu kegaduhan di stadion, terutama di tengah lapangan. Kapolres, menurut saya, telah bertugas Promoter (profesional,  moderen,  dan terpercaya),” pungkas Emrus. (Ryman)