Gunakan Pasal Makar, Ketua GMKI: Aparat Hukum Semena-mena Terhadap Mahasiswa

oleh -
Ketum PP GMKI Korneles Galanjinjinay. (Foto: Ist)

Jayapura, JENDELANASIONAL.ID – Mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Cendrawasih (UNCEN) Ferry Kombo dituntut 10 tahun penjara. Dia didakwa dengan pasal makar dalam aksi unjuk rasa di Kota Jayapura, Papua pada Agustus 2019 lalu. Tuntutan tersebut adalah buntut dari tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.

Dalam perkara ini, Jaksa Penuntut Umum menuntut Ferry dan enam tahanan politik Papua lainnya dengan hukuman berbeda.

Menangapi tuntutan Jaksa Penuntut Umum tesebut, Ketum PP GMKI Korneles Galanjinjinay mengatakan negara telah gagal paham dalam penegakkan hukum terhadap mantan Ketua BEM Uncen dan mahasiswa lainnya.

“Seharusnya bukan pasal makar yang digunakan untuk menuntut mereka, karena tidak ada tindakan menyerang atau upayakan membunuh Kepala Negara atau tindakan memisahkan sebagian wilayah negara atau mempersiapkan serangan untuk menggulingkan Pemerintahan,” ujar Korneles melalui siaran pers di Jakarta, Senin (15/6).

Korneles meminta para penegak hukum agar tidak membabi buat dan semena-mena menggunakan pasal makar kepada aktivis mahasiswa yang berjuang membela keadilan dan diskriminasi.

Sesungguhnya, kata Korneles, yang diperjuangkan oleh mantan Ketua BEM UNCEN dan mahasiswa tapol Papua tersebut adalah aksi demonstrasi biasa sebagaimana yang terjadi dan sering dilakukan oleh aktivis mahasiswa di Indonesia. Mereka hendak menyuarakan keadilan dan diskriminasi atas tindakan rasisme yang dialami mahasiswa Papua di Surabaya.

“Penegak hukum perlu mempertimbangkan sebab musababnya aksi demostrasi yang dilakukan mantan Ketua BEM Uncen dan Mahasiswa Tapol Papua. Kami melihat ada kriminalisasi terhadap para mahasiswa dalam aksi rasisme di Surabaya tersebut. Para penegak hukum sengaja untuk mendiamkan suara keadilan dari Papua,” ujar Korneles.

Lebih lanjut Ketua Umum GMKI itu juga sangat menyayangkan tindakan penegak hukum yang tidak sebanding dengan negara yang menganut paham demokrasi. Jika Indonesia adalah negara demokrasi maka aksi yang dilakukan mantan Ketua BEM Uncen dan Tapol Mahasiswa Papua adalah bagian dari kebebasan menyampaikan pendapat sebagaimana amanat Pasal 28 UUD 1945 dan UU No 09 1998. Tapi sebaliknya justru Indonesia ibarat negara otoritarian-totalitarian karena tindakan penegak hukum sama sekali tidak mempertimbangkan nilai-nilai demokrasi yang dianut dalam negara Pancasila,” ujarnya.

Melihat tindakan penegak hukum atas tuntutan tersebut, Korneles meminta Presiden Joko Widodo untuk turun tangan langsung membebaskan mantan ketua BEM Uncen dan Mahasiswa Tapol Papua.

Menurut Korneles, para mahasiswa adalah kontrol sosial terhadap jalannya roda pemerintahan. “Mahasiswa adalah agen perubahan, mahasiswa adalah penegak moral, dan Mahasiswa adalah penyambung lidah rakyat. Oleh karena itu Pak Presiden jangan takut dengan aksi-aksi para mahasiswa karena sesungguhnya yang diperjuangkannya adalah nilai-nilai keadilan, kebenaran, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, Kami meminta Pak Presiden agar menindak tegas para aparat hukum yang bertindak sewenang-wenang terhadap para mahasiswa,” pungkasnya. (Ryman)