Guru Garda Terdepan Pembumian Pancasila Melalui Nilai-nilai Kearifan Lokal

oleh -
Seminar pendidikan bertajuk “Peran Pendidik dalam Penanaman Nilai Nilai Pancasila melalui Kearifan Lokal”. Acara diselenggarakan pada Selasa 11 Oktober 2022 di Aula SMK 3 Kupang, Nusa Tenggara Timur. (Foto: Ist)

Kupang, JENDELANASIONAL.ID – Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) melalui direktorat Evaluasi Kedeputian Pengendalian dan Evaluasi bekerja sama dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur menyelenggarakan seminar pendidikan bertajuk “Peran Pendidik dalam Penanaman Nilai Nilai Pancasila melalui Kearifan Lokal”.

Acara yang diselenggarakan pada Selasa 11 Oktober 2022 di Aula SMK 3 Kupang, Nusa Tenggara Timur ini menyasar para guru dan pendidik di lingkungan Provinsi Nusa Tenggara Timur dan dihadiri oleh 100 orang secara luring dan 1200 orang secara daring melalui aplikasi Zoom Meeting.

Acara ini dihadiri oleh narasumber Profesor Mien Ratoe Odjoe, Guru Besar Universitas Nusa Cendana dan Antonius Benny Susetyo sebagai Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.

Direktur Evaluasi BPIP Edi Subowo menyatakan bahwa pendidik memegang peranan yang sangat krusial dalam perkembangan masa depan bangsa.

“BPIP sangat mengapresiasi segala bentuk masukkan dan saran dari para guru khususnya terkait penanaman ideologi Pancasila melalui kearifan lokal dalam  proses pendidikan Indonesia,” ujarnya.

Karena itu, katanya, dalam seminar ini diharapkan terjadi dialog dan masukan masukan inovatif terkait penanaman nilai Pancasila pada generasi muda dengan cara-cara yang mengedepankan kearifan lokal dan nilai-nilai yang berkembang serta hidup nyata dalam masyarakat.

Selanjutnya dalam kesempatan pertama Prof Mien Ratoe Odjoe menyatakan bahwa kawasan Flobamora yang terdiri dari Flores, Sumba, Timor dan Alor merupakan kawasan yang sarat akan nilai dan budaya.

“Tidak kurang dari 16 etnis, 72 bahasa asli yang tersebar di 22 kabupaten. Hal ini membuktikan bahwa Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki nilai dan budaya yang beragam yang berkembang dengan penuh harmoni dan keselarasan,” katanya.

Guru sebagai pembimbing bagi peserta didik yang merupakan masa depan bangsa sudah seharusnya menuntun para murid untuk senantiasa dapat berkembang menjadi manusia yang tidak hanya cerdas namun juga selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara yang tercantum pada Pancasila.

Dia mengatakan, tantangan di era digital yang mengglobal ditambah dengan Pandemi Covid-19 membuat generasi muda cenderung melupakan nilai-nilai luhur yang tercipta dari kearifan lokal yang sudah ada sejak dulu.

“Generasi muda cenderung lebih individualistis, dangkal dalam menelaah fenomena-fenomena yang terjadi dalam masyarakat, serta cenderung lebih suka memperoleh segala sesuatu secara instan tanpa mau bekerja keras,” katanya.

Karena itu, guru masa kini dituntut untuk tidak hanya membuat pelajar berhasil secara akademis, namun juga menjadi manusia Indonesia yang cakap dalam segala aspek kehidupan.

Karena itu, hendaknya para guru mulai tidak saja menggali kembali namun juga menerapkan kearifan lokal seperti musyawarah, gotong royong dan saling bantu di lingkungan pendidikan, penanaman nilai-nilai kearifan lokal.

“Selain itu diharapkan mampu untuk membuat para peserta didik tidak kehilangan akarnya sebagai Pemuda Nusa Tenggara Timur dengan kebudayaannya yang ramah dan memikat, namun juga dapat menjadi manusia Indonesia seutuhnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila,” ujarnya.

Oleh karena itu diperlukan interaksi yang nyata dalam kehidupan sehari-hari  hingga pembumian Pancasila tidak hanya bersifat retorika namun nilai-nilai luhur yang bijaksana benar-benar dilaksanakan.

Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo mengatakan bahwa dalam era digital di saat ini, kearifan lokal mulai terlupakan bangsa yang dahulu amat menghormati kebudayaan dan keberagaman.

“Sekarang kita sering terjebak dalam politik identitas, berita bohong dan hoaks. Karenanya para guru memiliki beban berat dalam usaha tidak hanya mengajar namun dapat mendidik dan menjadi teman bagi para peserta didik yang merupakan generasi masa depan bangsa, untuk dapat mengembalikan masyarakat Indonesia kepada fitrahnya sebagai bangsa yang menghargai keanekaragaman suku, budaya dan bahasa sebagai anugrah dari Tuhan yang maha esa agar negara ini tidak berakhir terpecah belah dan musnah,” ujar Romo Benny.

Penulis buku “Politik, Pendidikan Penguasa” ini menyampaikan bahwa dalam era digital, internet dan media sosial memiliki nilai dan bagian luar biasa dalam kehidupan manusia. Keberadaannya yang tidak mengenal ruang dan waktu membuat masyarakat tak sadar makin tergantung kepada internet.

Karena itu, hal ini membuat terjadi pergeseran nilai dimasyarakat. Sekarang, kata Benny, masyarakat lebih mementingkan popularitas, kuantitas mengenai berapa like, view dan share yang menyebabkan terjadinya penyalahgunaan media sosial yang cenderung mengedepankan sensasi, konten nirfaedah dan berita bohong.

“Hal ini, sejalan dengan perumpamaan Plato tentang manusia yang masuk gua besar dan meraba-raba. Kebenaran di era digital ini cenderung mengedepankan persepsi, bukan kesadaran kritis dalam mengolah informasi,” kata Romo Benny.

Lebih lanjut Benny yang merupakan doktor Komunikasi Politik ini menyatakan bahwa saat ini setiap orang bisa menjadi berita dan news. Keterbukaan ruang publik di alam digital membuat siapa saja dapat menjadi sumber informasi hingga siapapun yang kreatif, berteknologi tinggi dengan konten yang dapat mempengaruhi masyarakat dialah yang paling unggul.

Hal ini menyebabkan ruang publik direduksi menjadi alat kepentingan, bukan menjadi ruang dialektika untuk memajukan masyarakat. “Ruang publik seharusnya menjadi ruang dialog multi arah bukan sekadar tempat bermonolog para individualis yang tidak menghargai perasaan orang lain dan nilai-nilai yang berkembang dalam Masyarakat,” imbuhnya.

Karena itu diharapkan para guru dapat terlibat secara aktif dengan mulai mengajak murid untuk memenuhi ruang digital dengan konten-konten positif yang penuh budaya dan kearifan lokal agar masyarakat dapat menyadari bahwa kebersatuan adalah hakekat berbangsa dan bernegara.

Lebih lanjut pemerhati pendidikan ini mengharapkan agar melalui konten konten ini diharapkan pembumian nilai-nilai luhur Pancasila tidak hanya dapat sampai dan terinformasikan kepada masyarakat, namun dapat menjadi habituasi dalam kehidupan masyarakat sehingga rasa persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini dapat terjaga.

“Guru sebagai panutan, sahabat dan pembimbing para peserta didik hendaknya menyadari peranannya dalam upaya merawat kemajemukan dan menjaga keutuhan bangsa” tutup Benny. ***