Hak Prerogatif Dan Kultur Politik

oleh -
Goris Lewoleba, Alumni KSA X LEMHANNAS RI, Direktur KISPOL Presidium Pengurus Pusat ISKA, dan Wakil Ketua Umum VOX POINT INDONESIA. (Foto: Ist)

Oleh: Goris Lewoleba*)

SALAH satu Diksi Politik yang paling aktual dewasa ini pasca penetapan Presiden dan Wakil Presiden  terpilih Jokowi Widodo – KH Ma’ruf Amin  untuk Periode 2019-2024 adalah  Hak Prerogatif Presiden.

Sebagaimana diketahui bersama bahwa, Hak Prerogatif Presiden adalah hak  yang dimiliki oleh Presiden yang  tidak tergantung pada lembaga lain, dan diberikan secara langsung oleh UUD 1945.

Sesuai dengan ketentuan UUD 1945, Presiden Republik Indonesia memiliki  paling tidak  7 (tujuh)  Hak Prerogatif.

Adapun Hak Prerogatif dimaksud seperti dikutip dalam brainly.co.id (2019),  tertuang  dalam Pasal 10 UUD 1945 yang menyatakan bahwa,  Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Atas hak  ini, maka Presiden disebut sebagai Panglima Tertinggi TNI.

Demikian juga dengan Pasal 11 Ayat (1) UUD 1945 ditegaskan bahwa Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain; dan Pasal 12 UUD 1945, Presiden menyatakan keadaan bahaya atau darurat di Indonesia.

Sedangkan dalam  Pasal 13 UUD 1945 ditegaskan bahwa Presiden mengangkat Duta Besar dan Konsul sebagai Perwakilan Diplomatik Indonesia di Luar Negeri.

Kemudian, dalam Pasal 14 UUD 1945,  ditegaskan bahwa Presiden memberi Grasi dan Rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA). Dalam pasal ini,  ditegaskan juga bahwa, Presiden memberi Amnesti dan Abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Di samping itu, Pasal 15 UUD 1945, ditegaskan bahwa  Presiden memberi Gelar, Tanda Jasa, dan lain-lain Tanda Kehormatan yang diatur Undang-Undang.

Terkait dengan Penyusunan Kabinet dan Pengangkatan Menteri, maka berdasarkan Pasal 17 UUD 1945, dinyatakan bahwa, Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Dengan hak ini, maka Presiden akan membentuk Kabinet sebagai pembantu Presiden.

Adapun hal yang melatari maraknya Diksi Politik tersebut di atas,  adalah harapan akan adanya formasi baru Kabinet Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin sebelum pelantikan Kabinet  Tanggal 20 Oktober 2019.

Berkenaan dengan itu, maka  semua pihak tentu berharap akan adanya Postur Kabinet yang dapat menjadi semacam  representasi dari wajah politik dan kekuasaan rezim Joko Widodo- KH Ma’ruf Amin.

Kecuali itu, dibalik harapan yang demikian, tersirat juga kerinduan serupa  agar dapat kiranya memetik keuntungan politik sebagai balas jasa dari perjuangan bersama dalam menggapai kemenangan di Pemilu Presiden.

Oleh karena itu adalah merupakan suatu keniscayaan yang realistis bilamana belakangan ini  sudah mulai adanya wacana dan pembicaraan secara internal di Parpol Koalisi pendukung Joko Widodo- KH Ma’ruf Amin,  terkait dengan usulan nama-nama bagi para Calon Menteri di Kabinet Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin.

Sebut saja, Muhaimin Iskandar,  Ketua Umum PKB, telah mempersiapkan dan mengusulkan   10 nama untuk disodorkan sebagai Calon Menteri  kepada Presiden Jokowi; dan hal itu adalah wajar dan sah adanya. Toh, semuanya itu akan kembali kepada Hak Prerogatif Jokowi sebagai Presiden.

Dengan demikian, maka wajah kabinet Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin  itu diharapakan  akan  dapat menjadi nuansa baru bagi Politik dan  Pemerintahan Indonesia lima tahun ke depan.

 

Kabinet Presidensial

Sebagai wujud dari  obsesi politik yang resiprokal,  terutama bagi partai koalisi pendukung Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin,   maka partai-partai  koalisi tersebut telah menaruh harapan yang besar sebagai imbal balik  atas hasil keringat dari  perjuangan yang telah dicapai secara  bersama.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan   kalau sebelum keputusan penetapan pemenang Pilpres, semua pihak berharap akan adanya perubahan pemerintahan dan kabinet baru yang akan memberikan angin segar bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.

Apalagi setelah penetapan pemenang Pilpres yang dibacakan dalam Sidang MK Tanggal 27 Juni 2019 yang lalu,  yang  kemudian disahkan secara resmi oleh  Komisi Pemilihan Umum pada Tanggal 30 Juni 2019, maka semua pihak berharap akan adanya wajah baru Kabinet Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin sebagai pengemban Visi dan Misi Negara Kesatuan Republik Indonesia, untuk dapat mencapai cita-cita masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Seiring dengan itu, maka  telah beredar pula di Media Sosial  berbagai formasi Susunan Kabinet Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin dengan beragam  varian dan model kabinet yang ditampilkan.

Hal seperti itu dapat dipahami secara wajar dan masuk akal,  karena ada  preferensi dan partisipasi  politik yang mendasari sebelumnya.

Harapan itu sudah tentu  dilandasi dengan  Hak Moral dan Sosial, terutama bagi Partai Koalisi Pendukung Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin   karena memang sudah semestinya demikian.

Meskipun begitu,  semuanya ini akan  berpulang kepada  Hak Prerogatif  Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia.

Dikatakan demikian, karena negara kita menganut sistem pemerintahan Presidensial berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Memperhatikan karakter dan watak politik Jokowi selama ini, tampak nyata terasa bahtwa Jokowi adalah seorang Presiden yang sangat impresif secara politik.

Label politik seperti itu, merupakan penegasan dan justifikasi yang telah diakui hampir oleh  semua pihak  di dunia; tidak terkecuali oleh  semua  lawan politiknya.

Jika diamati secara saksama, maka  corak dan cara serta  tipe leadership yang diperlihatkan Presiden Jokowi  selama ini, senantiasa diwarnai dengan sikap  tegas dengan disiplin yang tinggi sebagai seorang  pekerja keras, dengan mentalitas  pemberiani tanpa kompromi.

Meskipun demikian, setiap jejak langkahnya dalam mengambil keputusan penting,  terutama bagi kepentingan bangsa dan negara Indonesia,  Presiden Jokowi selalu berdiri  pada basis kultural khas Politik Indonesia.

 

Kultur Politik Indonesia

Sudah menjadi semacam common sense, bahwa basis Kultural Politik Indonesia adalah Politik Akomodasi untuk membangun bangsa dan negara  dengan landasan semangat  kebersamaan melalui filosofi Politik Gotong Royong.

Basis kultural politik yang demikian, kerap kali diterjemahkan sebagai Kompromi Politik untuk membagi-bagikan kue kekuasaan.

Situasi dan persepsi seperti itu,  rupanya bertolak dari suatu adagium politik populer yang mengatakan bahwa “di dalam politik,  tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada  hanyalah kepentingan”.

Oleh karena itu, demi kepentingan  tegaknya  eksistensi kekuasaan, maka para elit politik dan atau pemegang kekuasaan,  akan mengendalikan bandul politik atas dasar pertimbangan dan otoritas Hak  Prerogatif yang melekat pada dirinya.

Dengan berakhirnya kontestasi politik pada Pilpres yang lalu, maka berakhir pula polarisasi di masyarakat sebagai akibat dari adanya perbedaan dalam preferensi  pilihan  politik.

Kemudian, sebagai seorang negarawan besar, maka Jokowi telah membuka diri kepada siapapun,  bagi  yang ingin  bergabung bersama  guna membangun bangsa dan negara untuk lima tahun ke depan (Kompas, 2 Juli 2019).

Pernyataan dan tawaran Jokowi ini telah menimbulkan beragam penafsiran dan persepsi bahwa,  Jokowi seolah sedang membuka  kemungkinan untuk kompromi politik, terutama dengan pihak koalisi  lawan politik  dalam hajatan Pilpres kemarin.

Terkait dengan kompromi politik dimaksud,  maka dengan meminjam Riki Dharmawan Putra   (2019), dikatakan bahwa faktanya, Kompromi telah menjadi fakta dalam diri politik kita. Pada situasi ini Sistem Demokrasi telah diperalat  menjadi permainan elit politik dengan mengorbankan rasa keadilan masyarakat yang sebenarnya lebih menginginkan penegakan hukum ketimbang kompromi politik.

Dengan demikian, maka seluruh sistem nilai dalam hal ini terkait dengan tatanan, hukum, ideologi, kearifan, dan pengetahuan yang dijunjung masyarakat telah kehilangan dimensi kebenarannya dan menguap menjadi hanya  sekedar representasi yang diproduksi sebagai bagian dari permainan kepentingan elit.

 

Bukan Transaksi Politik

Dalam sudut pandang positive thinking, kompromi politik bukan merupakan transaksi politik.

Dikatakan demikian karena nomenklatur Transaksi Politik akan sarat dengan muatan terminologi politik dagang sapi; dan tampaknya Jokowi tidak sedang menganut pertimbangan politik yang demikian.

Untuk dapat menjalankan sistem pemerintahannya di Periode ke dua ini secara lebih  efektif, maka mungkin akan jauh lebih baik kalau Jokowi menerapkan sistem Pemerintahan  Presidensial melalui  Kabinet Politik dengan muatan “Zaken” Kabinet.

Zaken Kabinet dimaksud sebagai formasi kabinet yang dibangun dengan berbasis pada sumberdaya manusia yang berorientasi pada  keahlian Anggota Kabinetnya.

Hal itu selaras dengan  apa yang disinyalir oleh Samsudin Haris (Kompas, 11 Juni 2019), adalah  merupakan hal yang sulit dibantah bahwa, tak sedikit politisi yang memiliki keahlian dan kompetensi pada bidang-bidang tertentu dan tetap profesional dan berintegritas ketika dipercaya sebagai Menteri Negara. Mereka biasanya para profesional yang ahli di bidangnya yang kemudian  direkrut dan bergabung ke parpol, baik atas kemauan sendiri maupun  diajak oleh kalangan partai untuk meningkatkan kualitas sumberdaya di parpol yang bersangkutan.

Oleh karena itu, jika pun pola seperti ini dilakukan oleh Jokowi, maka hal yang demikian  merupakan diskresi politik dari Jokowi sebagai Presiden dengan Hak Prerogatif yang melekat pada dirinya sebagai amanat dari UUD 1945.

Diskresi dan Hak Prerogatif seperti ini selalu saja secara sosial politik akan tetap diwarnai oleh Kultur Politik dengan menganut tradisi politik yang bersumber dari tata nilai Gotong Royong dan kebersamaan bagi semua orang yang berkehendak baik untuk membangun bangsa dan negara ini.

*) Goris Lewoleba,  ALUMNI KSA X LEMHANNAS RI, Direktur KISPOL  Presidium Pengurus Pusat ISKA, Wakil Ketua Umum DPN VOX POINT INDONESIA