Hamdi Muluk: Butuh Kolaborasi dalam Memerangi Radikal-Terorisme

oleh -
Guru Besar Psikologi Politik dari Universitas Indonesia, Prof Dr. Hamdi Muluk, M.Si. (Foto: Ist)

Depok, JENDELANASIONAL.ID — Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terus berupaya mengembangkan kebijakan dan konsep serta strategi dalam menanggulangi permasalahan terorisme di Indonesia. Salah satunya yakni meluncurkan kebijakan Pentahelix dengan prinsip kerja sama dan kolaborasi secara multipihak.

Konsep Pentahelix ini menggunakan seluruh potensi nasional dalam membentuk kekuatan nasional melawan ideologi radikalisme dan terorisme. Pentahelix merangkul lima elemen bangsa, yakni Kementerian/Lembaga (Pusat dan Daerah), komunitas-komunitas (ormas, pelaku seni dan budaya), akademisi atau civitas Akademika, dunia usaha (BUMN/Badan Usaha Milik Negara maupun swasta) dan media.

“Konsep (Pentahelix) ini, saya optimistis itu akan berjalan dan berhasil. Gagasannya sudah cukup dan sudah sebagaimana yang seharusnya,” ujar Guru Besar Psikologi Politik dari Universitas Indonesia, Prof Dr. Hamdi Muluk, M.Si, di Depok, Kamis (24/2/2022).

Ia menilai, konsep Pentahelix memiliki banyak kelebihan. Di antaranya berperan menghubungkan kelima komponen penting tersebut di masyarakat dalam rangka pencegahan paham radikal terorisme. Hal tersebut diharapkan mampu mempersempit ruang gerak kelompok radikal terorisme.

“Jadi memang bagusnya lima komponen Pentahelix itu nyambung dan bisa bersinergi satu sama lain, sehingga ruang gerak dari kelompok radikal terorisme akan semakin sempit,” jelasnya seperti dikutip dari siaran pers Pusat Media Damai (PMD) BNPT.

Hamdi mengamati pola pergerakan kelompok radikal terorisme yang kian masif masuk ke dalam berbagai sektor vital seperti pemerintahan maupun lembaga pendidikan.

“Mereka ini militan, ekstrem dan totalitas selama 24 jam dalam seluruh aktivitasnya. Mereka menyusup dan berstrategi masuk ke berbagai lini, termasuk ke lembaga negara, organisasi masyarakat, Lembaga Pendidikan  dan sebagainya,” jelasnya.

Fakta bahwa kelompok radikal telah menyusup hingga ke lingkungan pendidikan, menurutnya juga bukan hal yang baru dalam dunia studi terorisme. Ia menuturkan, hal ini bekaitan dengan kondisi energi dari kelompok radikal yang besar secara psikologis, serta memiliki daya tahan dan resiliens yang tinggi dalam mewujudkan misi jangka panjangnya.

“Jadi, tidak usah heran kalau survei yang pernah dilakukan oleh BNPT ataupun survey yang dilakukan pihak lain terhadap masjid atau pesantren. Kalau orang yang sudah studi ke kelompok radikal atau ekstrem, tentunya (temuan) itu adalah hal yang biasa,” tuturnya.

Hamdi melanjutkan, meskipun berdasarkan data mengenai jumlah kelompok radikal ini masih minoritas, namun hal tersebut tetap penting untuk mewasapadai kelompok ‘sempalan’ tersebut.

“Meskipun mereka cuma kelompok sempalan, tapi kalau dibiarkan tentunya bisa membesar dan menjadi masalah serius yang dapat membahayakan keberlangsungan bangsa. Harus terus diwaspadai, jangan sampai dibiarkan,” ujar Hamdi.

 

Tiga Hal Harus Ditumbuhkan dalam Memerangi Terorisme

Untuk itu, dalam rangka mensukseskan kebijakan Pentahelix, menurutnya penting bagi BNPT untuk menyamakan persepsi bersama kelima komponen tersebut. Juga membangun kesadaran bersama terkait masalah radikal terorisme yang menjadi urgensi dan ancaman bersama.

“Konsep Pentahelix ini akan berhasil sepanjang persepsinya disamakan terlebih dahulu di antara lima komponen tersebut, termasuk juga sense of urgency-nya,” tegasnya.

Ia menilai, kesadaran itu tidak mungkin tumbuh di antara lima komponen tersebut jika pemahamannya tidak sama. Sehingga perlu penanaman pengetahuan terutama kepada para pimpinan ormas, lembaga dan stakeholder dari lima komponen Pentahelix tersebut.

“Pemahaman itu bermula dari pengetahuan. Jadi decision maker serta leader-leader di lima komponen itu harus tercerahkan. Diharapkan persepsinya sudah sama, pengetahuannya tercukupi dan punya kewaspadaan yang sama juga,” jelas Hamdi.

Ia menambahkan, setidaknya ada tiga hal yang harus ditumbuhkan oleh setiap stakeholder termasuk masyarakat dalam konteks semangat dalam upaya untuk memerangi terorisme melalui kolaborasi antar lapisan.

“Pertama, harus ditumbuhkan bahwa ini adalah tanggung jawab bersama. Kalau kita lalai bukan tidak mungkin negara kita yang beragam ini akan terpecah belah. Jadi urgency masalah ini harus ditingkatkan,” katanya.

Kedua, semangat untuk selalu mengingatkan kepada generasi muda kita untuk selalu waspada terhadap penyebaran paham-paham yang dilakukan oleh kelompok radikal dan terorisme. Pasalnya anak muda hingga saat ini masih menjadi kelompok yang rawan untuk dipengaruhi.

“Ketiga memahamkan kepada seluruh stakeholder Pentahelix ini terkait akibat dan dampak yang akan terjadi apabila agenda kelompok radikal itu bisa berhasil. Intinya kewaspadaan dari lima komponen Pentahelix itu adalah keniscayaan,” tuturnya.

Koordinator Program Master dan Doktoral di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini menuturkan, dalam perannya sebagai akademisi juga bertanggung jawab untuk ikut dalam upaya penguatan kebijakan Pentahelix dengan membangun kewaspadaan.

“Pucuk pimpinan perguruan tinggi harus punya kesadaran yang sama juga tentang pentingnya masalah ini. Membangun kewaspadaan dari berbagai lini di lingkup perguruan tinggi. Terus memantau dan melakukan pemetaan agar tidak mudah disusupi.” jelas Hamdi.

Ia menegaskan kembali akan pentingnya totalitas dalam upaya penanggulangan terorisme mengingat pergerakan kelompok radikal yang semakin massif dan militan.

“Kita butuh kolaborasi. Karena mereka ‘alot’ maka kita harus all out,” tandas Hamdi Muluk. ***