Hamdi Muluk: Ideologi Radikal Hasil dari Proses Indoktrinasi

oleh -
Guru Besar Psikologi Politik dari Universitas Indonesia Prof Dr. Hamdi Muluk, M.Si. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Ketika draft Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang mengarah ke terorisme (Perpres RAN PE) terbit, sempat menjadi perbincangan di masyarakat hingga menimbulkan pro dan kontra. Padahal sebetulnya hal ini memang penting untuk mencegah aksi teror daripada mengobati. Karena lebih mudah mencegah aksi teror daripada merehabilitasi pelaku teror ini.

Guru Besar Psikologi Politik dari Universitas Indonesia Prof Dr. Hamdi Muluk, M.Si, mengatakan bahwa merehabilitasi orang yang sudah menjadi teroris tentunya bukanlah pekerjaan mudah. Kemudian kalau aksi terornya juga tidak dicegah maka akan membuat kerusakan dan menimbulkan ketakutan di masyarakat. Menurutnya, banyak dampak yang ditimbulkan dari orang yang menjadi teroris.

”Maka kita mencegah supaya orang jangan sampai menjadi tertarik dengan ideologi radikal yang mengarah pada terorisme itu. Karena ideologi radikal tentu tidak datang begitu saja, ideologi radikal itu hasil dari proses yang namanya indoktrinasi,” ujar  Prof Dr. Hamdi Muluk, M.Si, di Jakarta, Kamis (28/01/2021).

Lebih lanjut, Hamdi menyebut bahwa indoktrinasi itu masuk dengan cara diajarkan, diceramahi, maupun lewat ’pengajian-pengajian’. Ia menyebut bahwa biasanya pengajian radikal itu memang tidak mau terang-terangan. Dimana aktivitas tersebut biasanya terlihat ekslusif, karena materi-materi pengajiannya untuk ideologi radikal.

”Dan memang ideologi yang keras-keras radikal itu tidak diterima oleh masyarakat secara umum. Karena kebanyakan mayoritas secara umum itu moderat sebenarnya. Makanya kelompok radikal itu biasanya bikin forum-forum yang eksklusif itu,” tutur Hamdi.

Oleh karena itu, pria kelahiran Padang Panjang, 31 Maret 1966 itu menyarankan agar mulai mengembangkan deteksi siaga dini di lingkungan sekitar. Menurutnya hal ini bisa dimulai dari lingkungan terkecil seperti Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW). Karena menurutnya kelompok masyarakat dalam RT/RW di kampung-kampung itu masih sangat guyub, yang mana di lingkungan RT/RW juga ada Sistem Keamanan Keliling (Siskamling).

”Dengan siskamling itu kan masyarakat keliling di kampung wilayahnya. Lalu misalnya warga melihat ada rumah yang terlihat tertutup, tetapi malam-malam datang 10-20 orang, lalu diam di dalam. Nah dengan adanya Siskamling maka itu bisa melapor ke RT dan RW-nya kalau ada yang mencurigakan seperti itu,” ucapnya.

Selanjutnya, menurut mantan anggota Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Koropsi (Pansel Capim KPK) periode 2019-2023 itu RT/RW setempat bisa melapor ke Lurah, lalu Lurah harus ada misalnya melapor ke Polsek terdekat atau hotline nomor telepon tertentu yang mudah diingat seperti layanan darurat 112 atau 119.

”Harusnya kita ada  nomor hotline seperti itu. Jadi kalau ada laporan tetantang aktivitas masyarakat yang mencurigakan karena terpantau oleh siskamling, oleh kemanana  lingkungan dan sebagainya nah itu bisa kita berdayakan,” jelas Kepala Laboratorium Psikologi Politik Universita Indonesia (UI) itu.

Terlebih ia menyebutkan bahwa hal itu merupakan program Kapolri baru bahwa Polsek sekarang harus banyak memantau di tingkat masyarakat dan menjalin kerjasama dengan masyarakat dalam siskamling atau Pam Swakarsa apapun namanya yang intinya adalah “Community Policing”. Menurutnya hal itu juga termasuk dalam rangka menangkal radikalisme ini dengan melapor dan sebagainya.

”Nah selain pengajian kumpul-kumpul di rumah, sekarang ini mereka kumpulnya secara online. Sistem radikalisasinya melalui online. Nah RAN PE ini sebenarnya membuka peluang kerjasama untuk menangkal itu. Maka selain BNPT juga harus melibatkan kominfo juga,” terangnya.

Menurutnya, BNPT melalui Pusat Media Damai (PMD) bersama para stakeholder dapat melakukan pemantauan konten-konten radikal di kanal-kanal sosial media dan internet. Ia menambahkan, selain itu  memburu konten juga harus membanjiri dengan konten-konten yang sebaliknya yaitu konten anti radikal  untuk meng-counter-nya seperti toleransi, harmoni kebangsaan, lalu mengajak dengan pelajaran-pelajaran Islam yang moderat, yang Rahmatan lil alamin.

”Karena memang saat ini banyak juga anak muda yang galau-galau dan bingung lalu mencari guru agamanya melalui internet. Yang ada malah dapat konten yang radikal, akhirnya mereka masuk dan gabung ke grup media sosial kelompok radikal tersebut, ini yang bahaya,” tuturnya.

Oleh karena itu, Koordinator Program Master dan Doktoral di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu menyarankan agar pihak berwajib lebih cerdas dari kelompok-kelompok tersebut. Misalnya dengan membanjiri dengan konten-konten yang anti radikal. Menurutnya, hal ini bisa saja dikerjasamakan antara BNPT sebagai leading sector penanggulangan terorisme dengan stakeholder yang lain.

”Dan bisa juga bekerjasama dengan LSM-LSM, di mana banyak juga LSM yang konsen ke situ. Selain itu juga bisa melibatkan ormas-ormas keagamaan. Karena kalau kita bicara RAN PE itu juga harus dilibatkan semua pihak dari semua lini di masyarakat,” pungkasnya. (Ryman)