Ide Gubernur NTT Angkat Ketua NU Jadi Ketua Panitia Pesparani Diapresiasi

oleh -
Pengamat politik Presiden University, Muhammad AS Hikam. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Ide Gubernur NTT, Viktor B. Laiskodat untuk mengusulkan Ketua Pengurus Wilayah NU (PWNU) NTT, Jamaludin Ahmad, sebagai Ketua Panitia Pesta Paduan Suara Gerejani (PESPARANI) Nasional Tahun 2020, cukup menarik untuk dicermati, kendati mungkin bukan hal yang perlu diperdebatkan.

“Menariknya adalah, setidaknya bagi saya, ide seperti ini dulu pernah diwujudkan dalam praktik, pada era Orba. Seingat saya, pelibatan dalam kepanitiaan acara-acara keagamaan, seperti Natalan, Maulud, Paskah, dll diusahakan dari pemeluk agama yang berbeda-beda,” ujar Pengamat Politik dari President Universtity yang juga intelektual Muslim, Muhammad AS Hikam, di Jakarta, Kamis (25/4).

Menurut Hikam, dalam perspektif demokrasi Pancasila, itulah salah satu perwujudan dari kebhinekaan dan toleransi ummat beragama. “Dalam praktik, upaya menjadikan kepanitiaan lintas-agama itu, ternyata tak dipertahankan atau diteruskan di era pasca-reformasi. Mungkin karena semangat penolakan terhadap rezim otoriter tersebut,” ujarnya.

Di era demokrasi setelah jatuhnya Orba, dinamika masyarakat dan perpolitikan di negeri ini, kata Hikam, mengalami perubahan yang, kadang-kadang, terkesan kontradiktif. Di satu pihak, kehendak berdemokrasi – yang berdasar nilai-nilai keterbukaan, toleransi, dan penghormatan terhadap HAM – merupakan salah satu pembeda dari sistem sebelumnya.

“Namun di pihak lain, praktik berdemokrasi juga membuka pintu bagi kembalinya kesadaran identitas primordial yang berdampak negatif berupa sektarianisme dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan politik, praktik demokrasi pun dimanfaatkan untuk menyemai dan mengembangkan apa yang kemudian dikenal sebagai politik identitas,” ujarnya.

Pergelutan dialektis antara kedua kecenderungan itulah, katanya, menghasilkan dinamika baru di Indonesia yang kadang dianggap begitu mengkhawatirkan sehingga godaan untuk kembali ke zaman “old” mendapat respon positif di sementara anggota masyarakat dan elite.

Bagi para pendukung demokrasi tentu dampak negatif dari fenomena politik identitas sangat disadari, tetapi dengan mencari solusi yang bukan kembali kepada masa lalu (yang berarti menggunakan model masyarakat otoriter).

Menurut Hikam, tantangan sektarianisme dan politik identitas dicarikan solusi melalui pendekatan multikuturalisme. Bukan saja pengakuan terhadap perbedaan identitas tetap dipertahankan, tetapi juga ikut merayakan perbedaan dari liyan dijadikan sebagai jawaban.

Dengan demikian, perbedaan bukan hanya diakui tetapi juga dialami secara empatik tanpa perlu merasa ada yang terkurangi atau terkorbankan identitas yang dimilikinya. “Praktik berdemokrasi, dengan demikian, diupayakan menjadi lebih substantif karena pengalaman merayakan perbedaan menjadi hal yang bukan hanya ditekankan oleh eksternalitas dari masyarakat, misalnya apa yang dilakukan rezim Orba di atas,” ujarnya.

Bila pandangan ini ada benarnya, maka upaya-upaya seperti di NTT, yaitu kerjasama antara pemerintah dan organisasi masyarakat sipil seperti NU dalam merayakan perbedaan budaya, dalam hal ini gelaran Pesparani, adalah eksperimentasi yang perlu diapresiasi.

“Tentu saja kritik bisa saja akan muncul, namun jika kesadaran membangun demokrasi substantif dan meredam sektarianisme cukup kuat dan berlanjut, saya kira hasilnya akan positif di masa depan,” ujarnya. (Ryman)