Implementasi Semangat Gotong Royong dalam Kehidupan Normal Baru

oleh -
Paroki Santu Stefanus Cilandak menggelar webinar bertajuk “Pancasila Filosofi Dasar Impelementasi Semangat Gotong Royong di Masa New Normal’ di Jakarta, Sabtu (20/6). (Foto: JN)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Paroki Santu Stefanus Cilandak menggelar webinar bertajuk “Pancasila Filosofi Dasar Impelementasi Semangat Gotong Royong di Masa New Normal’ di Jakarta, Sabtu (20/6).

Seminar yang diselenggarakan oleh Seksi Hubungan Antar Agama dan Kemasyarakatan (HAAK) Paroki Cilandak itu menghadirkan para pembicara yaitu Prof Hariyono, dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Romo Paulus Christian Siswantoko, Pr, dari Sekretaris Eksekutif Kerasulan Awam Konferensi Gereja Katolik Indonesia (KWI) dan Jaringan Katolik Melawan Covid-19 (JKMC), Irwan Hidayat, Pengusaha Sido Muncul, Joanes Joko, dari Kantor Staf Kepresidenan (KSP) dan Satgas Percepatan Penangangan Covid-19, dan Ahmad Nurcholis, Deputy Director Indonesia Conference on Religion and Peace, dan Koordinator Pelaksana Jaringan Lintas Iman Tanggap Covid-19 (JIC). Acara ini dipandu oleh Heru Krisna, Ketua Seksi HAAK Paroki Cilandak yang juga Ketua DPD Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) DKI Jabodetabek.

Acara ini dibuka oleh Romo Petrus Cipto Noegroho, SCJ, pastor di Paroki Cilandak.

Romo Petrus Cipto Noegroho, SCJ, pastor di Paroki Cilandak. (Foto: JN)

Romo Petrus mengatakan, sesuai dengan lagu Kebangsaan Indonesia Raya, maka yang harus pertama dibangunkan dari dalam diri manusia Indonesia adalah jiwa, dan baru raganya. Karena itu, kata Romo Petrus, dia sangat terharu ketika setiap kali mendengar lagu Kebangsaan Indonesi Raya tersebut.

Gotong royong di masa pandemi ini, kata Romo Petrus, sangat penting. Karena itu, dia mempertanyakan orang yang tidak mau bergotong royong di masa ini. “Jangan-jangan orang yang tidak mau bergotong royong tersebut karena jiwanya sakit. Mudah-mudahan kita membangun jiwa yang sehat, sehingga punyai semangat gotong royong,” ujarnya.

Prof. Haryono mengatakan bahwa Pancasila mempunya dua fungsi, yaitu sebagai pemersatu bangsa dan bintang penunjuk. Menurutnya, kita tidak bisa bicara tentang Pancasila tanpa bicara tentang cita-cita besar bangsa ini ke depan, tentang bangsa yang berdaulat, adil dan makmur.

Haryono mengatakan, Pancasila merupakan kebijaksaan hidup. Pancasila juga mengatur kebijakan negara ini. Kita juga membutuhkan persatuan. Karena tanpa persatuan maka bangsa kita akan terpecah belah.

“Semua itu hanya mungkin kita lakukan jika bangsa ini adil dan makmur. Dan itu kita butuh persatuan. Karena kalau tidak bersatu maka kita tinggal menunggu jatuhnya saja. Juga kalau bangsa ini tidak melakukan inovasi maka negara ini menjadi rapuh,” ujarnya.

Pancasila, kata Haryono, juga merupakan sumber insprasi. Dia mencontohkan dalam berita hoaks yang berseliweran, apakah kita mau berpikir mendalam terkait berita-berita tersebut, sehingga kita tidak ikut menyebarkannya?

Untuk kemajuan bangsa ini, maka diperlukan pikiran yang progresif. Menurutnya, Pancasila sebagai wacana harus dikaitkan dengan situasi dan kondisi kekinian. Kita perlu merawat jiwa bangsa dan negara bangsa Indonesia. “Jiwa yang tidak suka bersenang-senang di atas penderitaan orang lain. Agar mereka yang menggunakan dana Covid-19 untuk kepentingan dirinya sendiri itu harus dihukum seberat-beratnya. Kita harus merawat jiwa bangsa ini secara bersama-sama,” ujarnya.

Pancasila juga membutuhkan kontekstulisasi dalam kehidupan bersama. Butuh kontesktualisasi terhadap zaman maupun tempat. Karena itu, tatanan baru yang berlaku sekarang ini harus memposisikan kita untuk melihat kembali apakah hidup kita sudah sesuai dengan idealitas selama ini. “Apakah budaya cuci tangan dengan sabun itu telah menjadi kebudayaan kita atau belum,” ujarnya.

Mengakhiri pemaparannya, Prof Haryono mengutip kata-kata Driyarkara, yaitu Pancasila harus terus diperjuangkan, karena tanpa perjuangan tidak akan bisa diwariskan.

Romo Paulus Christian Siswantoko, Pr, dari Sekretaris Eksekutif Kerasulan Awam Konferensi Gereja Katolik Indonesia (KWI) dan Jaringan Katolik Melawan Covid-19 (JKMC). (Foto: JN)

Romo Paulus Christian Siswantoko mengatakan bahwa Indonesia yang tulen yaitu Indonesia yang bergotong royong. Dia menguraikan kehebatan gotong royong dalam kehidupan bersama. “Pancasila dan kegotongroyongan merupakan satu kesatuan,” ujar Siswantoko.

Dia mengartikan gotong royong sebagai pembantingtulangan, pemerasan keringat secara bersama untuk kepentingan semua dan kebahagiaan semua. Gotong royong adalah kerja keras bersama untuk kepentingan bersama, untuk kebaikan bersama.

Menurut Romo Siswantoko, Pancasila sudah diterima di dalam Gereja Katolik secara 100 persen. Karena itu ada ucapan menjadi “Warga Negara 100 persen dan menjadi Katolik 100 persen”.

Gereja Katolik telah mengakui bahwa Pancasila merupakan ideologi bangsa yang harus terus diisi dan diamalkan dalam kehidupan. “Jadi posisi gereja Kotolik telah mengakui bahwa Pancasila merupakan ideologi maupun falsafah bangsa dan negara ini,” ujarnya.

Gotong royong, katanya, adalah satu dari pengamalan Pancasila. Romo Siswantoko kemudian menguraikan nilai-nilai dari gotong royong tersebut.

Pertama, kerendahan hati untuk membantu. Orang bekerja sama bukan karena mendapat imbal, tapi karena ingin agar beban orang lain menjadi ringan, tanpa mau dibayar.

Kedua, kesetaraan. Semua sama, baik kaya maupun miskin sama-sama bekerja bergandengan tangan. Ketiga, ada nilai kerja sama, amal bersama untuk saling memperhatikan, saling menghargai dan meringankan. Keempat, kebaikan bersama.

Semangat gotong royong menurut, Romo Siswantoko sangat luar biasa bila dilakukan dalam masa-masa sulit seperti pandemi Virus Corona ini.

New normal merupakan sebuah kebiasaan baru, perilaku hidup yang baru, habitus baru. Ada berbagai perilaku atau kebiasaan baru dalam kehidupan new normal, misalnya menjaga jarak, mencuci tangan, dan mengenakan masker. Perilaku itu hanya akan menjadi kebiasaan baru atau habitus baru bila didukung oleh mental yang baru, dan baik. “Dia harus didukung oleh mental yang baik, mental baja, maupun bertahan dalam kesulitan, solidaritas dengan orang lain,” ujarnya.

Jika mental baru itu tidak terbentuk maka new normal hanya menjadi neraka. “Karena itu, perlu membuat gerakan new normal itu dengan gotong royong,” ujar Romo Siswantoko.

Menurut Siswantoko, dengan semangat gotong royong dalam masa new normal ini, maka kita sedang menjaga kehidupan bersama. Karena disiplin juga menyangkut saya dan orang lain.

Selai itu, akan terjalin solidaritas lintas batas. Relawan lintas batas, lintas suku, juga akan terbentuk dalam kondisi yang sulit ini, seperti yang terdapat di dalam Jaringan Katolik Melawan Covid (JKMC).

Menurut Romo Siswantoko, kita saat ini seperti berada di dalam sebuah rumah sakit besar, rumah sakit dunia. “Karena itu mari kita bergotong royong agar kita bersama-sama keluar dari rumah sakit tersebut,” ujarnya.

 

Jihad Kemanusiaan dan Jalan Salib Kemanusiaan

Joanes Joko mengemukan tiga tugas yang dilakukan pemerintah terkait penanganan pencegahan Covid-19. Ketiga tugas itu yakni penanganan COVID-19, pencegahan, dan penanganan masyarakat terdampak.

Pemerintah, katanya, terus melakukan upaya sistematis dan partisipatif dalam penanganan pencegahan virus Corona tersebut.

Ketika sekarang menghadapi kehidupan new normal, kata Joko, maka yang perlu dikakukan yaitu mengembalikan keadaan seperti semula, namun dengan tetap waspada terhadap timbulnya gelombang kedua penularan virus Corona.

Dia mengatakan, ada beberapa tantangan yang dihadapi pemerintah saat ini, antara lain bertambahnya jumlah orang miskin yang diperkirakan mencapai 3,78 juta orang. Selanjutnya, pertambahan jumlah pengangguran dan pola perubahan yang cepat.

Joanes Joko, dari Kantor Staf Kepresidenan (KSP) dan Satgas Percepatan Penangangan Covid-19. (Foto: JN)

Selanjutnya, Joko juga menyoroti ancaman kelangkaan pangan. Terkait kelangkaan pangan tersebut, katanya, sejumlah negara saat ini melakukan pengamanan pangan, seperti India. “Karena itu kita harus mengantisipasi hal ini. Juli-September jangan samapai terjadi gagal panen,” ujarnya.

“Karena itu, kita semua harus bisa menahan diri untuk tidak keluar rumah. Jika tidak penting maka tidak perlu keluar rumah,” lanjutnya.

Dia mengatakan, jika pandemi Covid ini dibiarkan, maka risiko tertular akan mencapai 30 persen dari penduduk Indonesia. Namun jika ditekan, maka risikonya bisa ditekan hingga 19,5 persen.

“Kalau menggunakan masker maka bisa ditekan menjadi 16,5 persen. Kalau mencuci tangan dan menggunakan masker maka risiko penularannya bisa ditekan menjadi 10,7 persen. Kalau ditambah dengan menjaga jarak, maka akan menjadi 4,5 persen. Kalau semuanya dilakukan secara bersamaan, mencuci tangan, menggunakan masker dan menjaga jarak, maka risiko tertularnya menjadi 1,6 persen,” ujarnya.

Karena itu, Joko mewaspadai situasi euforia yang terjadi akibat adanya dorongan keinginan dan kejenuhan masyarakat berada di rumah, dengan adanya kebijakan normal baru (New Normal) dari pemerintah saat ini. Jika dorongan keluar rumah tak terbendung, maka gelombang kedua penularan virus Corona itu akan terjadi.

Karena itu Gugus Tugas menekankan konsep Penthaheliks dalam pencegahan virus Corona tersebut yaitu pemerintah, dunia usaha, akademisi, organisasi kemasyarakatan, dan media massa.

“Pemerintah bertugas menciptakan protokol dan menginformasikannya kepada masyarakat. Akademisi melakukan kajian data sehingga melahirkan keputusan pemerintah yang tepat, komunitas dan ormas secara bersama-sama mendorong perubahan perilaku secara kolektif, termasuk pengusaha juga membantu. Media bertugas mengamplifkasi semua kebijakan pemerintah sehingga bisa muncul sikap positif masyarakat dalam menghadapi Covid-19,” ujarnya.

Sikap gotong royong masyarakat sangat penting dalam menanggulangi pandemi ini. Joko mencontohkan yang terjadi di Gunung Kidul, masyarakat secara bersama-sama membantu warga yang dilanda Covid-19. Ada yang memberi makan keluarga yang ditinggalkan di rumah, mengurus ternak, dan lain-lain.

Terakhir, katanya, orang bisa memaknai pandemi virus ini dengan sikap manusia sebagai makhluk yang lemah di hadapan Tuhan. “Karena itu, bagi teman-teman di Gugus Tugas, orang yang beragama Islam memaknai perang terhadap pandemi Corona ini sebagai jihad kemanusiaan, dan orang Kristen memaknai sebagai Jalan Salib kemanusiaan,” ujarnya.

Irwan Hidayat lebih banyak menyoroti Pancasila dalam pengalaman hidup hariannya, selama 73 tahun. Dia mengatakan, sangat kagum terhadap Pancasila. Karena itu, bangsa Indonesia sangat bersyukur karena memilili Pancasila sebagai Dasar Negara dan Ideologi bangsa.

Irwan mengatakan, dia memandang Pancasila sebagai jalan Tuhan. “Saya memandang apa saja yang terjadi dalam hidup ini sebagai jalan Tuhan. Pasti keberadaan Pancasila juga ada maksud dari Tuhan. Saya melihat justru bersyukur kita memiliki Pancasila. Karena Pancasila itu bagus, dan jika diterapkan di negara ini maka kita akan menjadi negara maju. Asalkan bagaimana meyakinkan orang supaya mau mengikuti Pancasila dalam hidupnya,” ujarnya.

Irwan Hidayat, Pengusaha Sido Muncul. (Foto: JN)

Dia mengatakan karena itulah, pemerintahan dari masa ke masa dari Soekarno, hingga pemerintahan Jokowi saat ini berupaya agar masyarakat menyadari Pancasila itu secara baik.

Dikatakannya, sila pertama, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa dimaksudkan agar kita beragama. “Apa artinya beragama, yaitu agar kita berdoa. Karena doa itu menumbuhkan iman akan Tuhan. Kalau kita beriman, maka akan tumbuh belas kasih, cinta kasih dalam diri kita. Hasil dari belas kasih itu yakni kita akan mencintai sesama dan tanah air Indonesia,” ujarnya.

Mencintai itu sangat penting, karena menjadi pusat dari segala sesuatu. Kalau kita mencintai maka akan mendapat kedamaian dan buah kedamaian adalah surga.

Dia mengatakan kita sudah tiga bulan dikurung dalam rumah akibat pandemi virus Corona. Karena itu, sebenarnya kita sudah mempunyai kebersamaan, kita sudah sama-sama berbagi. Jadi cinta kasih itu sudah terbentuk.

“Pancasila kalau bisa dijabarkan dan mau dicintai luar biasa kekuatannya. Intinya yaitu mencintai sesama dan tanah air Indonesia. Itu inti dari Pancasila. Mudah-mudahan Pancasila itu dikemas, sehingga orang akan berdamai bila mengamalkannya,” ujarnya.

Sementara itu, Ahmad Nurcholis mengatakan bahwa gotong royong adalah berkerja sama, tolong-menolong dan bantu-membantu. Gotong royong, katanya, sudah ada dalam masyarakat kita. Dia mencontohkan gotong royong dalam masyarakat Gunung Kidul.

Gotong royong merupakan nilai tradisi yang mengakar kuat dalam masyarakat kita. Dia juga berisifat lintas agama.

Semangat gotong royong ini tampak pada saat bangsa kita menghadapi pandemi virus Corona. Orang misalnya berdoa dan mewujudkan solidaritas bersama.

Dia mengatakan, sejauh ini, komunitas JIC telah memiliki 28 posko dan telah membagikan sebanyak 10 ribuan bantuan. Ada juga pembagian makanan yang dilakukan secara rutin tiap pagi, yaitu kepada komunitas ojek online.

“Konsep JIC yaitu kami membagikannya secara merata. Karena  yang tertimpa pandemi ini semua orang, tidak melihat agamanya. Namun, bila di komunitas Gus Durian, kami membagikannya dengan sistem 60:40, yaitu 60 untuk umat Islam, dan 40 persen untuk umat beragama lain,” ujarnya.

Dia mengatakan, semangat gotong royong harus menjadi pola yang baru. “New normal ini harus menjadi momen untuk membangun gotong royong. Kita semua harus mengambil peran, baik pemerintah maupun para tokoh agama. Karena tokoh agama ini sangat berperan penting,” pungkasnya. (Ryman)