Indonesia Bisa Manfaatkan Soft Power yang Dimiliki untuk Kerjasama dengan Negara Asia Tengah

oleh -
Webtalks ke-13 bertajuk “Diplomasi Indonesia di Asia Tengah“. Acara ini diselenggarakan oleh Universitas Paramadina bekerjasama dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial LP3ES, pada Selasa (15/6). (Foto; Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Keruntuhan Uni Soviet pada 1991 dan bermunculannya negara-negara baru di Asia Tengah dan juga pecahnya Yugoslavia dan Cekoslovakia menandai sebuah zaman baru yaitu berakhirnya era perang dingin. Muncul pula konsep baru dalam dunia hubungan internasional yaitu terkait pemahaman tentang kedaulatan, yang tidak hanya bicara tentang hak sebuah pemerintahan untuk memerintah satu populasi di sebuah wilayah, tapi juga melekat kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya.

Hal itu diungkapkan oleh Shiskha Prabawaningtyas, Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy (PGSD) Univesitas Paramadina dalam Webtalks ke-13 bertajuk “Diplomasi Indonesia di Asia Tengah“. Acara ini diselenggarakan oleh Universitas Paramadina bekerjasama dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial  LP3ES, pada Selasa (15/6).

Menurut Shiskha, beberapa engagement baru seperti instrumen diplomasi bahasa, menarik untuk dikembangkan dalam    hubungan strategis terkait kerjasama pengembangan SDM dengan negara-negara Asia Tengah. Ini merupakan peluang Indonesia karena Asia Tengah juga merupakan wilayah yang potensial.

Ia mengatakan bahwa aspek sejarah menjadi sesuatu yang bisa dielaborasi lebih jauh, khususnya sejarah hubungan abad ke-13 yaitu ketika dinasti Jengis Khan dan Kubilai Khan mengirim utusan dalam rangka invasi ke Nusantara. Interaksi Nusantara dan dinasti Kubilai Khan yang ketika itu juga menguasai Kazakhstan memunculkan teknologi mesiu yang baru dikenal.

“Dari perspektif geopolitik, Khazakhstan mempunyai posisi amat penting dalam konstelasi dunia. Selain menjadi pintu masuk strategis bagi Rusia di utara dan dengan China di selatan yang saat ini muncul sebagai superpower baru dunia. Kazakhstan juga menjadi kawasan strategis penting bagi Indonesia terkait potensi ekonomi pasar non tradisional dan energy security terutama sumber daya gas alam yang dimiliki Kazakhstan,” katanya.

Herdi Sahrasad, dosen Universitas Paramadina hadir sebagai pembicara  menyatakan bahwa Abad ke-21 adalah abad agama-agama. Dia mengatakan bahwa pecahnya Uni Soviet, negara-negara Eropa Timur menjadi penanda bahwa watak spiritual agama menjadi kekuatan untuk melakukan perubahan peradaban.

“Sekarang saatnya untuk kembali menjalin hubungan-hubungan lama dengan negara Asia Tengah. Namun masih terkendala hambatan bahasa dan budaya. Hal itu yang menyebabkan hubungan people to people relationship antara masyarakat Indonesia dengan Asia Tengah belum bisa optimal,” katanya.

Herdi mengatakan bahwa Indonesia punya social capital dan kekayaan destinasi wisata sebagai negara kepulauan yang bisa dijadikan titik tolak kerjasama ekonomi dan budaya, terutama kesamaan mazhab Syafii-Sunni dengan Kazakhstan. Peran agama menjadi begitu penting saat ini dalam membangun kerjasama budaya dan perdamaian dunia, dan kerjasama dialog peradaban, hal yang menjadi kekuatan utama dalam membangun kerjasama dengan negara-negara Asia Tengah.

Soft power yang dimiliki Indonesia dalam bidang agama, budaya dan bahasa bisa dimanfaatkan untuk kerjasama-kerjasama yang lebih luas. Ini bisa menjadi modal Indonesia untuk menjalankan kerjasama dan diplomasinya,” ujar Herdi.

Rahmat Pramono, Dubes RI untuk Kazakhstan dan sekitarnya menyatakan bahwa pemahaman dan kerjasama Indonesia dengan negara-negara Asia Tengah masih kurang. Padahal kawasan tersebut mempunyai potensi ekonomi, budaya dan kerjasama pendidikan yang luar biasa.

“Sudah saatnya Indonesia melakukan kajian-kajian secara mendalam tentang kawasan Asia Tengah. Khusus Kazakhstan dan Tajikistan, sektor perdagangan, investasi dan pariwisata perlu dijadikan titik tekan utama dalam kerjasama dengan kedua negara tersebut. Kazakhstan adalah negara terbesar ke-9 di dunia, dengan luas daratan 2,6 juta Km2, dan mempunyai ekonomi yang paling maju ketimbang negara-negara lain di Asia Tengah,” ujarnya.

Saat menyampaikan paparannya, Rahmat juga mengukapkan bahwa tren perdagangan Indonesia – Kazakhstan sebelum pandemi meningkat pesat. Perdagangan dari segi logistik cukup maju. Namun pintu masuk ke Kazakhstan dari Indonesia yaitu melalui pelabuhan khusus China yang berbatasan dengan Kazakhstan di pelabuhan Lianyungang karena lebih efisien.

“Ada kelemahan di Kazakhstan yakni sistem perbankan yang belum terbuka dan seringkali menjadi tantangan bagi Indonesia. Sehingga pembayaran kadang harus melalui negara ketiga,” ujarnya.

Bambang Susanto, Akademisi UPN Veteran Jakarta yang juga pemerhati masalah internasional menyebutkan bahwa tujuh negara di Asia Tengah, secara umum mempunyai postur politik tersendiri terkait stabilitas kawasan yang sarat ketegangan politik, terutama masalah terorisme. Ini mengemuka karena berbatasan langsung dengan titik api konflik seperti Afghanistan.

Dia mengatakan bahwa negara-negara Asia Tengah juga merupakan aset khusus bagi Rusia, yang menjadi bufferzone sebagai negara-negara eks Uni Soviet yang berhadapan langsung dengan garis perbatasan China dan Iran di Selatan.

“Secara geostrategic ekonomi, dengan kekayaan alam yang dimiliki terutama gas, uranium dan bahan tambang lain, negara-negara Asia Tengah seperti Tajikistan dan Kazakhstan tak pelak mempunyai nilai strategis penting bagi kestabilan kawasan. Terutama dalam hubungan perdagangannya dengan China dan Rusia. Terlebih China dengan konsep One Belt One Road yang tengah mencoba menguasai negara-negara Asia Tengah,” pungkasnya. (Ryman)